Gado-gado Diplomasi Kuliner
Jean Couteau ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 05 Mei 2016
Jika
ingin damai, bangsa-bangsa harus berdiplomasi. Betul, kan? Bahkan terdapat
bahasa serta kode kesopanan tertentu yang menjadi sarana diplomasi tersebut.
Namun, hingga baru-baru ini belum pernah kepikir bahwa makanan bisa pula
menjadi sarana diplomasi.
Yang
mencerahkan saya dalam hal ini ialah seorang William Wongso, dedengkot koki
Indonesia, pada peluncuran buku terbarunya di Ubud, Bali, bertajuk Flavors of Indonesia, Minggu (29/5).
Tentu saja dia menyanjung keberanekaan masakan Indonesia. Tetapi, seusai itu,
dia tidak segan-segan mendamprat birokrasi. "Mungkin kalian mengira bahwa tamu negara kita dijamu di meja
kepresidenan dengan masakan Indonesia. Itu keliru! Yang disajikan adalah
hidangan dari negara mereka sendiri. Bahkan, konon, tamu Uruguay disajikan
steik, tapi sialan benar, steiknya dingin," ujarnya gusar.
Bisa
jadi Wongso benar menjadi kesal seperti itu, tetapi tidak semudah itu bersikap
nasionalis dalam bidang makanan. Di situ pun terjadi pertarungan antara
keekaan dan kebinekaan. Cobalah kita mencari hidangan yang bisa mewakili
seluruh bangsa Indonesia, bisa menjadi panji keekaan kulinernya. Sulit, kan?
Apakah soto? Mungkin cukup umum, tetapi soto yang mana? Seandainya gudeg?
Bukan nasional, tetapi dari Yogya. Kalau memilih masakan terkenal di kalangan
asing, lebih repot lagi. Babi guling gianyar mewakili masakan khas Indonesia
di mata orang Australia, tetapi sulit membayangkan bagaimana hidangan yang
konon lezat itu bisa mewakili keindonesiaan kuliner di mata orang Aceh. Jadi
rumit! Jangan-jangan satu-satunya ragam masakan yang memang benar-benar
ditemukan dari Sabang sampai Merauke adalah ragam masakan nyonya alias china.
Namun, ini sulit diterima pesan etnisnya, dong. Ada juga solusi Belanda-nya:
rijsttafel. Tetapi, mustahil hidangan kolonial ini dapat diangkat mewakili
keindonesiaan. Maka, kesimpulannya, jangan menjamu tamu dengan hidangan yang
mewakili keekaan Indonesia. Terlalu peka.
Ya,
lebih baik mengadaptasi hidangan kepresidenan pada setiap tamu dengan
mempertimbangkan seleranya, kebutuhannya, atau kenapa tidak mood diplomatik
yang berlaku. Jika mood diplomatik pada keakraban, misalnya, sang tamu bisa
kita sajikan gudeg atau rendang biasa, tetapi jika kita marah atau ingin dia
cepat mengangkat kaki, rasanya campuran terasi dan cabai merah akan lebih
ampuh. Saya menganjurkan agar Ibu Susi Pudjiastuti menerapkan diplomasi
kuliner macam ini ketika menjamu para menteri urusan kelautan dari
negara-negara tetangga. Mungkin lebih efisien daripada membakar kapalnya.
Semestinya
diplomasi kuliner ini menjadi paradigma baru bagi seluruh jajaran Kementerian
Luar Negeri dengan mempertimbangkan, selain tujuan diplomatik kita, karakter
dan mood orangnya. Misalnya, kapan Putin harus dijamu dengan ulat sebatah
dari Bali dan kapan dengan anjing ala Manado. Kapan Obama harus diberikan
sagu ala Papua dan kapan ayam goreng ala Menteng Dalam.
Siapa
di antara keduanya harus paling dulu diminta mencicipi capung goreng. Pasti
pilihan makanan-makanan itu akan ditafsir tujuannya oleh tim ahli mereka.
Tetapi, melihat cara kedua presiden negara adikuasa itu menghadapi
masalah-masalah dunia, kemungkinan besar mereka akan gagal menanggap
isyaratnya. Namun, yang lebih pelik pasti pemimpin Tiongkok: kemungkinan
presidennya tidak mau menerima bahwa bakso betul-betul merupakan hidangan
Jawa. Dikhawatirkan dia mengklaim bakso asli dari Tiongkok. Dengan presiden
tertentu harus juga berhati-hati. Misalnya, jika Duterte disajikan anjing ala
Manado, pasti dia akan menggonggong.
Jika
perlu diplomasi kuliner bisa memperhitungkan kebutuhan khusus dari tamu
asing. Misalnya, harus mempertimbangkan sejauh mana para emir yang poligami
dari Timur Tengah membutuhkan sate kambing bagi yang tua atau sebaliknya
hidangan dari terung untuk yang lebih muda.
Cuma,
perihal kedua hidangan terakhir ini jangan salah sasaran. Lain Timur Tengah,
lain Amerika Serikat. Seusai pemilu di Amerika Serikat tahun depan, jangan
kita sajikan sate klathak kepada Hillary Clinton (jika menang) dan sepiring
terung kepada suaminya. Bisa-bisa Amerika Serikat tidak mau lagi mendukung
posisi Indonesia di seputar kedaulatan wilayah lautan Natuna. Repot, kan?
Untung ada Presiden India. Dia adalah vegetarian dan seorang Hindu yang taat.
Maka, cukup disajikan gado-gado. Pasti puas dan pas. Memang, jika ada yang
mewakili keekaan dan sekaligus kebinekaan Indonesia, itulah gado-gado, bahkan
dalam segala bidang. He-he-he. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar