2.400 Tahun Aristoteles (Persembahan 80 Tahun Profesor
Franz Magnis Suseno, SJ)
Max Regus ;
PhD Candidate di School of
Humanities,
University of Tilburg, the
Netherlands
|
MEDIA INDONESIA,
03 Juni 2016
UNESCO,
pada sesi ke-38 dari Konferensi Umum 2015 menetapkan 2016 sebagai perayaan
‘2.400 tahun Aristoteles’. Ini menandai kelahiran salah satu dari ‘trio’
filsuf terkemuka Yunani bersama Socrates dan Plato. Disepakati, The Interdisciplinary Center for Aristotle
Studies di The Aristotle University, Yunani, menyelenggarakan konferensi
internasional pada Mei. Para filsuf serta pengajar filsafat dari seluruh
penjuru dunia akan diundang untuk menghadiri konferensi ini. Sejumlah kampus
terkemuka bahkan secara khusus menyelenggarakan serial seminar dan diskusi
yang didedikasikan secara khusus untuk momentum ini.
Penopang sejarah
Aristoteles
lahir di Stagira, Yunani Utara, pada 384 SM. Nicomachus, ayahnya, ialah
seorang dokter pribadi keluarga Raja Philip, ayah Alexander Agung, di
Masedonia. Pada 367 SM, Aristoteles pindah ke Athena sebagai pusat
intelektual dan kebudayaan Yunani masa itu. Untuk beberapa tahun, dia belajar
di Akademi Plato (427–347 SM). Di sana, dia dikelilingi banyak filsuf,
ilmuwan, dan ahli matematika.
Aristoteles
meninggalkan Akademi Plato pada 347 SM ketika Plato meninggal dunia. Ada
spekulasi bahwa ia meninggalkan akademi karena Plato tidak memilih dia
sebagai penggantinya. Namun, rumor lain berhubungan dengan sentimen
‘anti-Masedonia’ di Athena saat itu. Aristoteles meninggalkan Athena karena
kedekatan keluarganya dengan Kerajaan Masedonia. Pada 343 SM, ia dipanggil
untuk menjadi guru pribadi Alexander Muda (Agung) di Masedonia. Hubungan
keduanya diceritakan dalam banyak ‘mitologi historis’.
Aristoteles
kembali ke Athena ketika Masedonia memperpanjang pengaruh politik ke Yunani.
Pada 334 SM, ia mendirikan sekolah filsafat sendiri di Lyceum. Di sana, dia
mengajar selama 11 tahun. Kuliahnya mencakup banyak bidang studi, seperti
fisika, metafisika, etika, psikologi, politik, dan puisi. Pada 323 SM,
Alexander Agung wafat. Aristoteles kemudian meninggalkan Athena. Dia takut
akan kebangkitan kedua sentimen anti-Masedonia. Di samping itu, ada catatan
yang menyebutkan bahwa Aristoteles tidak menginginkan warga Athena jatuh ke
dalam ‘dosa kedua’ atas ‘pembunuhan filsuf’ sesudah kematian Socrates 70
tahun sebelumnya. Setahun kemudian, 322 SM, Aristoteles meninggal di Chalcis,
Euboea. Sejak itu, pemikiran filosofis Aristoteles turut menopang sejarah
pencaharian tatanan politik bagi kebaikan warga negara.
Etika nicomachean
Sementara
ada pengaruh ‘pra-Socrates’ dalam karya Aristoteles, tak diragukan lagi,
secara signifikan pemikiran Plato menentukan filsafatnya. Meski demikian,
keduanya memiliki pandangan yang bertolak belakang. Bagi Plato, filsafat
adalah latihan pikiran untuk melihat kebenaran di balik selubung pengalaman.
Berbeda dengan Plato, Aristoteles sendiri ialah seorang ilmuwan empiris. Dia
menekankan pengalaman empiris sebagai sumber hikmat sejati. Dia menolak
pandangan Plato yang menjadikan pengalaman sekadar ‘alat’ bagi pikiran
manusia untuk mencapai kesejatian makna hidup.
Etika
Nicomachean (EN) selalu dipadankan dengan keberadaan Aristoteles. Memang
kebanyakan sarjana setuju bahwa EN merupakan pandangan yang kurang matang.
Namun, bagaimanapun EN tetap dianggap sebagai karya terpenting Aristoteles.
EN kemungkinan diedit para muridnya karena tidak pernah dimaksudkan untuk
publikasi. Aristoteles, berkaitan dengan etika, menolak form tunggal
kebaikan. Dia, sebaliknya, membahas panjang lebar ‘multiplisitas’ dari
berbagai kebajikan.
Gagasan
etika Aristoteles mengacu ke pertanyaan tentang kandungan ‘tujuan akhir’
(telos/teleologi) dari tindakan dan keberadaan. Pada aras pemikiran ini, dia
membuat klasifikasi antara yang ‘human’ dan ‘nonhuman’ berdasarkan tujuan
keberadaan masing-masing. Dia mengklasifikasikan manusia sebagai ‘hewan
rasional’. Berarti, ‘telos’ dari keberadaan manusia ialah ‘makhluk rasional’.
Makhluk yang berakal budi. Dengan kata lain, fungsi kita dalam hidup ialah
untuk menyadari potensi penuh kita sebagai ‘makhluk rasional’.
Telos dari negara
Dalam
filsafat Aristoteles, teori politik berhubungan dengan teori etika. Politik
sangat bersifat etis, menjunjung prinsip-prinsip etis/moral, mengejar
nilai-nilai etis/moral, dan membelanya. Jika dalam pemikiran etikanya
kebaikan ialah tujuan atau keterarahan dari segala aktivitas manusia, dalam
gagasan filsafat politiknya, polis adalah cetusan paling tinggi dari
kehidupan hidup manusia dalam menggapai kebajikan.
Hubungan
antara politik dan etika bersifat timbal balik. Etika terarah ke pembentukan
tata kehidupan bersama yang baik dalam politik. Sementara itu, politik
mengandaikan pijakan etis yang kuat.
Aristoteles
menekankan ‘tujuan akhir’ (telos) etis dari politik (negara). Tujuan etika
ialah membimbing manusia untuk mencapai sifat sejati sebagai makhluk
rasional. Sementara itu, tujuan akhir dari politik (negara) ialah mewujudkan
kebaikan etis bagi semua warga.
Tujuan
etika dan politik (negara) mengajari manusia (warga polis) bagaimana menjadi
sangat rasional dan kebal terhadap godaan kebinatangan yang merusak tata
hidup bersama.
Etika
dan politik (negara) dalam pandangan Aristoteles merupakan bagian ‘ilmu
pengetahuan praktis’. Berbeda dengan ilmu alam, yang meneliti dunia di
sekitar kita, etika dan politik berurusan dengan aspek-aspek praktis dari masyarakat
manusia dan cara terbaik untuk mengatur masyarakat. Aristoteles menguraikan
hubungan antara kehidupan yang baik antarindividu dan masyarakat serta
mencari ‘jenis negara’ yang bisa membuat hidup yang baik ini menjadi mungkin.
Di
Indonesia, Pastor Franz Magnis Suseno, SJ, Guru Besar Filsafat STF
Driyarkara, yang merayakan ulang tahun ke-80, beberapa hari lalu, seperti
‘Aristoteles’ di Yunani. Ia tiada henti mempelajari, mendalami, dan mengalami
kebajikan, lalu tanpa lelah dan tanpa takut ia mengingatkan publik dan negara
tentang betapa esensialnya pengelolaan kekuasaan (politik) secara etis.
Profesor Franz Magnis Suseno senantiasa mendedahkan pentingnya menaruh
‘kemanusiaan’ sebagai nilai etis tertinggi pada setiap laku politik dan
kekuasaan. Ini sebuah ‘cara abadi’ filsafat untuk meluputkan negara dari
kecenderungan menjadi ‘mesin pemberangus’ kehidupan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar