Revitalisasi Pendidikan Kejuruan
Satryo Soemantri Brodjonegoro ;
Dirjen Dikti (1999-2007);
Guru Besar Emeritus ITB, Wakil Ketua AIPI
|
KOMPAS, 10 Mei 2016
Pemerintah saat ini
sedang menyiapkan Instruksi Presiden tentang Revitalisasi Sekolah Menengah
Kejuruan dalam peningkatan kualitas dan daya saing sumber daya manusia
Indonesia dengan melibatkan sejumlah kementerian dan pemerintah daerah.
Rupanya kebutuhan akan
tenaga terampil tingkat menengah oleh industri dan proyek pembangunan sektoral
sangat tinggi. Pendidikan kejuruan saat ini masih jauh dari ideal bahkan
cenderung makin jauh dari harapan masyarakat. Revitalisasi ini diharapkan
dapat mengatasi permasalahan di atas.
Pendidikan kejuruan
memerlukan investasi yang sangat mahal karena memerlukan guru atau instruktur
yang mempunyai keahlian tinggi dan memerlukan peralatan yang selalu mutakhir
sesuai dengan perkembangan industri. Untuk menghindari pemborosan investasi,
perlu ditemukenali penyebab masih rendahnya mutu dan relevansi pendidikan
kejuruan di Indonesia. Penambahan fasilitas praktik berupa penambahan
peralatan dan penambahan jumlah guru belum tentu mampu meningkatkan mutu dan
relevansi karena faktor utama justru terletak pada kemampuan murid sekolah
menengah kejuruan (SMK).
Lulusan SMA lebih disukai
Hasil survei penulis
pada 2015 terhadap 460 perusahaan tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan
Sulawesi, dengan beragam bidang usaha dan beragam ukuran, menunjukkan bahwa
pada umumnya perusahaan cukup puas dengan lulusan SMK yang telah mereka
rekrut meski tingkat keahliannya belum sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
Pendidikan kejuruan bertujuan menyiapkan generasi muda yang siap latih untuk
memasuki dunia kerja formal sesuai bidang keahlian yang dipelajarinya.
Hasil survei juga
menunjukkan bahwa separuh populasi lulusan SMK tidak memperoleh pekerjaan
formal, artinya terjadi ketidaksesuaian antara keahlian yang dipelajari di
SMK dan harapan dan kebutuhan perusahaan. Hal ini perlu jadi perhatian
pembuat kebijakan agar program revitalisasi efektif dan tidak justru menjadi
suatu pemborosan investasi. Hal lain yang mengemuka dari hasil survei adalah
bahwa perusahaan lebih memilih lulusan sekolah menengah atas (SMA) daripada
lulusan SMK. Perusahaan lebih memilih mereka yang siap latih karena dinamika
pekerjaan yang demikian cepat dalam era persaingan global sehingga diperlukan
calon pekerja yang adaptif mampu mengikuti perkembangan.
Dengan kondisi faktual
seperti itu, keberadaan atau peran SMK perlu ditinjau kembali supaya
cita-cita SMK dapat terwujud. Reformasi total pendidikan kejuruan perlu
dilakukan agar eksistensi SMK tetap terjaga melalui upaya bagaimana
menjadikan SMK sebagai pilihan oleh masyarakat (orangtua dan murid) karena
SMK menjanjikan suatu prospek masa depan generasi muda dengan keahlian
tertentu.
Selama ini SMK hampir
selalu jadi pilihan kedua setelah SMA. Artinya, orangtua dan murid pada
umumnya ingin masuk SMA, tetapi karena daya tampung SMA terbatas, mereka yang
nilainya lebih rendah terpaksa harus masuk SMK daripada tidak bersekolah.
Tentu saja tak sedikit mereka yang menjadikan SMK sebagai pilihan pertama
karena berbagai pertimbangan dan mereka umumnya adalah outlayer (kelompok di atas rata rata).
SMK harus unik
Adanya dikotomi antara
pendidikan umum dengan pendidikan kejuruan juga memicu orangtua dan murid
lebih memilih SMA karena prospek masa depannya yang lebih terbuka. Pendidikan
kejuruan memberikan kemampuan khusus bagi murid sehingga prospek masa
depannya memang lebih terbatas. Di samping itu pendefinisian pendidikan
kejuruan oleh pemerintah terkesan melemahkan SMK di mana keterampilan lebih
diutamakan ketimbang pengetahuan, padahal untuk mempunyai keterampilan yang
tinggi dibutuhkan pengetahuan yang tinggi.
Tantangan global saat
ini sudah tak lagi terlalu membedakan antara pengetahuan dan keterampilan,
bahkan sudah terjadi komplemen antara keduanya. Dengan demikian, antara
pendidikan umum dan pendidikan kejuruan sudah tidak perlu dipisahkan atau
dibedakan, keduanya dapat dilaksanakan dalam satu lembaga di mana peserta
didik dapat memilih bidang keahlian yang diminatinya setelah memenuhi
kecukupan pengetahuan, minimal pengetahuan dasar.
Idealnya di SMA ada
peminatan bagi murid sesuai dengan bakat dan kapasitasnya, penjurusan di SMA
sebaiknya ditiadakan karena pada usia semuda itu para murid belum dapat
menentukan masa depannya, terlalu dini mereka membuat keputusan. Dengan
demikian, tak ada lagi SMK dan tak akan ada perbedaan antara lulusan SMA dan
SMK.
Seandainya SMK tetap
dipertahankan keberadaannya, harus ada reformasi total di mana SMK harus
betul-betul spesifik dan unik dan menjanjikan keahlian khusus yang dibutuhkan
masyarakat. Karena keunikannya, SMK yang demikian sangat sedikit jumlahnya
dan tiap SMK itu punya keluwesan mengikuti perkembangan yang ada di
masyarakat.
Di Jepang hanya ada
lima technical college (semacam SMK) dan seluruhnya terintegrasi dengan
industri besar, seperti Toyota dan lainnya. Kita di Indonesia dapat membuat
SMK yang menarik karena keunikannya, misalnya, SMK untuk fashion design, SMK
untuk menyiapkan master chef, dan lainnya. SMK seperti itu kalau ditangani
tenaga profesional dan ditangani secara profesional, bukan birokrasi, pasti
akan menjadi unggulan dan diminati para orangtua dan murid dari kalangan
mampu.
Tantangan ke depan
dalam revitalisasi pendidikan kejuruan adalah bagaimana agar SMK diminati
kalangan mampu, bukan sekadar tempat bersekolah demi status sosial dan bukan
sekadar upaya untuk peningkatan angka partisipasi kasar pendidikan menengah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar