Islam Nusantara untuk Perdamaian Dunia
A Helmy Faishal Zaini ;
Sekretaris Jenderal Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama
|
KOMPAS, 10 Mei 2016
Dalam perbincangan dan
diskusi beberapa waktu lalu dengan Sheikh Taufiq Ramadhan Al-Buthi, ada yang menarik
perhatian dari yang dipaparkan oleh Dekan Fakultas Syariah Universitas
Damaskus tersebut. Hal tersebut adalah soal pandangannya sebagai ”lingkaran
Muslim” memandang cara beragama orang Islam di Indonesia.
Selain keberhasilan
memadukan Islam dengan demokrasi, Taufiq memuji terutama keberhasilan
bertoleransi dan hidup damai dalam pluralitas. Lingkaran Muslim, meminjam
istilah Taufiq, adalah terma yang disematkan untuk penduduk Muslim Barat Daya
(atau Timur Tengah dalam perspektif orang Barat). Artinya yang dimaksud
dengan lingkaran Muslim adalah penduduk negara-negara Islam yang berada di
negara-negara Teluk.
Terma lingkaran Muslim
tampaknya semakna dengan Arab Spring yang sempat digagas sekitar tahun 2011
lalu. Banyak kalangan menilai bahwa Arab Spring adalah tonggak revolusi
negara-negara Arab. Apa tujuannya? Tujuannya adalah ingin mewujudkan tatanan
negara kehidupan yang adil dan makmur. Naif memang, keadilan dan kemakmuran
harus dibayar dengan pertumpahan darah dan juga korban.
Di hadapan realitas
yang demikian tersebut, Taufiq, menaruh rasa optimisme bahwa Islam bisa
menyajikan wajah damai, dan itu contohnya ada di Indonesia. Islam bisa tidak
saja berdampingan, tetapi juga melebur, memeluk, dan bersenyawa dengan
budaya, nilai-nilai keluhuran dan kearifan, serta sistem pemerintahan yang
demokratis.
Dunia hari ini, diakui
atau tidak, masih menjadikan Islam model negara Barat daya sebagai
representasi wajah Islam itu sendiri. Hal ini memang bisa dimaklumi, sebab
Islam bertumbuh dan berkembang di kawasan negara-negara Teluk tersebut.
Namun, bukan berarti pemakluman tersebut membenarkan. Sebab, pada
kenyataannya Islam juga bertumbuh jauh melampaui sekat-sekat geografis,
teritorial, dan demografis negara-negara Teluk tersebut. Dan, salah satunya
di Indonesia.
Kiblat keislaman
Indonesia saat ini
memiliki peluang besar untuk menjadi kiblat keislaman dunia. Di saat negara
lain sibuk dengan konflik horizontal, sektarian, dan pemerintahannya,
Indonesia justru sudah jauh melesat menyuguhkan sebuah cara beragama yang
damai, saling menghormati, saling tepa selira, bertoleransi, dan juga saling
mengisi.
Pada etape ini saya
teringat dengan KH Mustofa Bisri (2015) yang mengatakan bahwa yang paling
utama harus diperbaiki sebagai seorang yang beragama adalah kesadaran dan
keyakinan diri. Artinya, kita sebagai seorang yang berkeyakinan harus bisa
menyelesaikan ”keyakinan” dalam diri kita sendiri sehingga tidak mudah
ketakutan akan ancaman-ancaman atau segala sesuatu yang akhirnya dinamakan
dengan gejala ”fobia” itu.
Di Indonesia, banyak
peristiwa sehari-hari yang bisa dijadikan rujukan untuk membuktikan kerukunan
antarkeyakinan. Di Malang, kita masih ingat ada sebuah gereja yang
meminjamkan lahan parkir dan pelatarannya untuk menampung membeludaknya
jemaah shalat Idul Fitri. Ini contoh nyata toleransi di Indonesia tidak hanya
berhenti pada konsep saling menghargai, tetapi lebih dari itu makna toleransi
secara praksis adalah tindakan saling mengisi.
Pada tataran inilah
hemat saya Indonesia layak menjadi kiblat model keberislaman dunia. Islam
yang sejuk dan mendamaikan sesama. Islam yang memahami makna berbeda untuk
saling mengisi dan hidup mesra berdampingan bersama.
Dalam pada itu,
sepenuturan Presiden Joko Widodo seusai kunjungannya ke negara-negara Eropa
(23/4), banyak negara mengapresiasi peran Indonesia dalam membangun
perdamaian dunia melalui pengembangan Islam yang moderat, toleran,
demokratis, serta tidak ekstrem.
Nasionalisme ulama
Senyampang dengan hal
itu, kekuatan besar dalam menyuguhkan Islam yang damai dan harmonis, meminjam
analisis Said Aqil Siroj (2015), terletak pada kepahaman sekaligus kesadaran
transendental dari ulama-ulama Indonesia akan pentingnya berbangsa dan bernegara.
Konsep Hubbul wathon minal iman
(mencintai tanah air adalah sebagian dari iman) yang digagas oleh KH A Wahab
Hasbullah adalah bukti nyata bahwa nasionalisme itu menjadi isu penting yang
harus diperhatikan. Dan, di negara-negara Teluk tampaknya hal ini tidak kita
temui.
Dua kutub tersebut,
yakni Islam yang damai dan toleran dengan semangat nasionalisme yang lahir
dari konsepsi ulama- ulamanya, menjadi alas dasar mengapa Islam model
Indonesia laik untuk diangkat dan ditawarkan kepada dunia sebagai wajah Islam
alternatif. Pola keberislaman semacam itu di kalangan Nahdlatul Ulama (NU)
diistilahkan dengan Islam Nusantara. Sebuah keberislaman model masyarakat
Islam yang ada di gugusan pulau Nusantara.
Salah satu usaha
otentik yang diusung NU guna menawarkan sebuah keberislaman yang sejuk dan
damai itu dituangkan dalam perhelatan International
Summit of the Moderate Islamic Leaders (Isomil) yang digelar di Jakarta
9-11 Mei ini. Tema yang diangkat dalam perhelatan tersebut adalah ”Islam
Nusantara: Inspirasi dan Solusi untuk Peradaban Dunia”. Tidak kurang dari 40
pemimpin negara-negara Muslim dijadwalkan ikut aktif berdialog, berdiskusi
serta merumuskan langkah konkret dan solutif untuk mengusung wajah Islam yang
damai guna menciptakan tatanan kehidupan yang memayu hayuning bawana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar