Pembinaan Perguruan Tinggi Swasta
A Ilyas Ismail ;
Dosen UIN Syarif Hidayatullah
Dekan FAI UIA Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
02 Mei 2016
BERBEDA dengan di
negeri-negeri lain, di Indonesia jumlah perguruan tinggi swasta (PTS)
sangatlah besar, mencapai angka tidak kurang dari 3.385 dan menampung 70%
lebih dari jumlah mahasiswa, sedangkan perguruan tinggi negeri (PTN) tidak
lebih dari 100 buah, menampung tidak lebih dari 30% mahasiswa. Itu menandakan
peran dan partisipasi masyarakat dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan
bangsa amatlah besar.
Keberadaan dan kondisi
PTS amatlah beragam, mulai dari papan atas (kuat), tengah (sedang), hingga
PTS yang sakit dan bermasalah.
Berdasarkan data dari
Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABP PTSI),
dalam satu Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) dengan sekitar 340
PTS, ternyata hanya 20,83% berkategori sehat murni, kemudian 2,38% sehat, dan
4,17% hampir sehat, serta 64,88% belum sehat alias sakit.
Kalau ukuran yang dipakai
ialah akreditasi, data terbaru menunjukkan dari 3.385 PTS, baru 111 PTS yang
sudah mengajukan akreditasi institusi. Itu pun hanya beberapa PTS yang mampu
meraih akreditasi A. Sebagian besar hanya mampu mendapat nilai B atau C. Ini
berarti masih ribuan PTS yang belum mengajukan proses akreditasi, lantaran
mengalami sakit atau melakukan praktik penyelenggaraan pendidikan menyimpang.
Bagaimana sebaiknya
pembinaan terhadap PTS dilakukan?
Pembinaan bukan pembinasaan
Beberapa waktu lalu,
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti)
sempat membuat gebrakan dengan melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke
beberapa PTS. Sidak dipimpin langsung Menteri Mohammad Nasir. Hasilnya,
sebanyak 243 kampus dibekukan (baca: dinonaktifkan). Kebijakan ini sempat
menimbulkan 'perlawanan keras' dari kalangan PTS.
Prof Edy Suandi Hamid,
Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) kala itu,
mengkritik keras kebijakan pembekuan PTS ini.
Alasannya; 1)
Kebijakan ini seperti unjuk kekuasaan (show
of force), 2) Terkesan mendadak dan tiba-tiba. Ini menimbulkan pertanyaan
tentang pembinaan yang dilakukan Kemenristek-Dikti selama ini, 3) Jumlah PTS
yang dinonaktifkan sangat besar, bukan satu atau dua PTS, melainkan ratusan. Alasan
lain, pemerintah dalam hal ini, Kemenristek-Dikti seolah tak berubah, masih
menggunakan paradigma lama, yaitu lebih mementingkan pengawasan (hukuman)
ketimbang pembinaan (solusi perbaikan) sehingga muncul komentar miring dari
masyarakat, langkah itu merupakan pembinasaan bukan pembinaan.
Karena banyak disorot
masyarakat dan juga kalangan DPR, dikabarkan Kemenristek-Dikti terus
melakukan pembinaan dengan berbagai program, antara lain program pendampingan
terhadap PTS bermasalah, juga diterbitkan SK Menteri Ristek Dikti Nomor 19
Tahun 2015 tentang Program Pembinaan PTS (disingkat PP PTS). Hasilnya, dari
243 PTS yang dinonaktifkan, kini hanya menyisakan 23 PTS, 11 PTS terpaksa
ditutup, dan 12 PTS sisanya diserahkan pada ranah hukum karena konflik
internal Yayasan.
Pembinaan yang
dilakukan Kemenristek-Dikti, hemat penulis, tidak boleh berhenti sampai di
sini. Pembinaan harus dimulai dengan mengubah paradigma pemerintah terhadap
PTS. Selama ini ada kesan pemerintah tidak memandang PTS sebagai 'anak tiri'
sehingga kurang mendapat perhatian atau diperlakukan secara berbeda dan
diskriminatif.
Dalam hubungan ini,
kita dapat belajar dari negara-negara yang sudah lebih maju. Di Inggris,
boleh dikatakan tak ada PTS. Semua perguruan tinggi (PT) dikelola dan didanai
pemerintah. Di Amerika Serikat, dukungan pemerintah dan masyarakat amat kuat
terhadap PTS sehingga banyak PTS yang unggul, bahkan beberapa di antaranya
melampaui PTN.
Di Negeri Jiran,
Malaysia, jumlah PTS relatif besar, hampir separuh dari PTN. Namun, di negeri
tersebut, perguruan tinggi tak dibeda-bedakan karena 'warna kulitnya' sebagai
PTN atau PTS, tetapi kualitas dan program studi yang ditawarkan. Di
Singapura, PTS baru muncul sekitar 5-10 tahun terakhir. Namun, karena
dukungan pemerintah yang amat kuat, SIM University, misalnya salah satu PTS
yang belum terlalu lama berdiri, berhasil mendapat predikat sebagai sekolah
hukum terbaik ke-3 di 'Negeri Singa' itu.
Pada hemat penulis,
ada tiga hal yang harus menjadi prioritas pembinaan.
Pertama, penguatan
dosen. Ini ialah masalah paling krusial di PTS. Seperti diketahui, beberapa
PTS tidak memiliki dosen tetap yang dipersyaratkan pemerintah, yaitu enam
dosen berpendidikan magister (S-2) di setiap program studi (prodi) atau tidak
memenuhi jumlah kecukupan nisbah (rasio) antara dosen dan mahasiswa, seperti
berulang kali dikeluhkan Kemenristek-Dikti.
Belum ideal
Diakui, sudah ada
kebijakan tentang dosen dengan Nomor Induk Dosen Khusus (NIDK) yang bisa
direkrut dari pensiunan dosen negeri bahkan guru besar, seperti diatur dalam
Peraturan Menteri Ristek Dikti Nomor 26 Tahun 2015. Kebijakan ini cukup
menolong, tetapi belum cukup ideal untuk menyehatkan PTS karena masalahnya
bukan soal kelangkaan dosen, melainkan kemampuan PTS merekrut dosen yang
diperlukan.
Itu sebabnya, jika pemerintah
serius membina PTS, diusulkan agar kebutuhan enam dosen setiap prodi yang
dipersyaratkan bisa disubsidi atau disediakan pemerintah. Selebihnya,
kebutuhan dosen yang lain mesti disiapkan badan penyelenggara/yayasan
tiap-tiap PTS.
Kedua, dukungan pendanaan
(funding). Bukan cerita baru banyak
PTS yang kesulitan dalam pendanaan, bahkan hidup kembang kempis lantaran
prodi-prodi yang ditawarkan kurang diminati dan kalah bersaing dengan PTN. Bantuan
pendanaan bagi PTS, hemat penulis, perlu terus diperkuat sejalan dengan
kemampuan keuangan negara.
Belajar dari
negara-negara yang lebih maju, bantuan itu diberikan dalam berbagai bentuk,
seperti grant, hibah, pinjaman lunak (soft
loan), beasiswa, dana penelitian, pengabdian, bantuan sarana prasarana,
dan lain-lain.
Bahkan, di Australia
ada bantuan yang amat menarik disebut graduate
tax, yaitu skema pembayaran yang dilakukan setelah mahasiswa lulus
kuliah. Itu pun masih harus mempertimbangkan gaji atau pendapatan yang
diterima pihak yang bersangkutan setelah bekerja (post graduate income).
Ketiga, meningkatkan
mutu dan kualitas PTS. Dalam hal ini, pemerintah bisa memperhatikan saran
dari John Brennan dkk agar di era kompetisi saat ini, setiap perguruan tinggi
mesti melakukan beberapa hal penting, di antaranya menaikkan standar mutu
penyelenggaraan pendidikan tinggi baik akademik, tata kelola (governance), maupun keuangan. Kemudian,
melakukan internasionalisasi perguruan tinggi, meningkatkan kerja sama baik
regional dan internasional, serta memperkuat program penelitian, (research excellence). (The Role of Universities in the
Transformation of Societies: 2004).
Di luar itu, PTS mesti
cerdas melihat dan menangkap peluang, termasuk harus lebih cekatan dalam
melakukan inovasi-inovasi dalam pembukaan prodi dan juga penelitian. PTS
seperti diingatkan Daniel Rodas (Resource
Allocation in Private University: 2014), tidak boleh terjebak dalam
rutinitas pengajaran semata tanpa spirit keilmuan dan juga pengabdian
(sosial).
PTS diharapkan agar
lebih aktif dan inovatif dalam pengembangan ilmu dan merespons
persoalan-persoalan sosial budaya dengan menerapkan prinsip baru, putting theories into practice dan
prinsip seeing result, bukan
elitisasi dengan hanya duduk diam di menara gading, seperti dalam paradigma
lama.
Dengan demikian, PTS
tidak hanya menjadi rumah produksi ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi
pusat pengembangan ekonomi kreatif yang populer dengan terma knowledge based economy dan ikut serta
dalam memajukan dan mengembangkan masyarakat madani (civilized society), serta ikut mengawal moral masyarakat dan
bangsa yang makin ke sini semakin keropos. Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar