Mobilitas Antaruniversitas
Fuad Rakhman ;
Dosen Fakultas Ekonomi dan
Bisnis UGM
|
KOMPAS, 17 Mei 2016
Di
Indonesia, dosen biasanya memulai dan mengakhiri kariernya di universitas
yang sama. Jarang sekali dosen—terutama di universitas besar—berpindah ke
universitas lain di tengah-tengah kariernya. Tidak seperti guru yang kadang
dimutasi ke sekolah lain.
Dosen
merupakan salah satu aset yang paling berharga bagi sebuah universitas. Dalam
teori kepemilikan, pemanfaatan aset akan efisien dan optimal jika aset bisa
ditransfer, yaitu kepada pihak lain yang paling bisa memanfaatkannya. Dengan
kultur dosen di Indonesia yang tidak terbiasa berpindah universitas,
distribusi keahlian dosen di masing-masing universitas kemungkinan tidak
optimal.
Sebagai
ilustrasi, univeritas A dan universitas B masing-masing mengajarkan materi
keuangan dan materi perpajakan. Universitas A memiliki dua dosen yang
semuanya ahli perpajakan dan universitas B memiliki dua dosen yang semuanya
ahli keuangan. Yang biasanya terjadi, salah satu dosen di univesitas A
dipaksa mengajar keuangan, meskipun keahliannya di bidang perpajakan.
Sebaliknya, salah satu dosen di universitas B dipaksa mengajar perpajakan
sementara keahliannya di bidang keuangan. Hal ini mengakibatkan utilitas
marjinal dosen tak optimal karena mengajar tak sesuai keahliannya.
Secara
teori, adalah lebih efisien jika salah satu dosen di universitas A berpindah
ke universitas B, dan sebaliknya, sehingga masing-masing dosen bisa tetap
mengajar sesuai keahliannya. Namun, hal ini tidak terjadi di Indonesia karena
sistem kepegawaian kita kurang memungkinkan untuk dosen pindah dari
universitas satu ke lainnya.
Perlunya mobilitas dosen
Pemerintah
perlu menciptakan ruang bagi mobilitas dosen dari satu universitas ke
universitas lain, baik untuk efisiensi distribusi dosen maupun untuk
situasi-situasi di mana dosen sebaiknya memang pindah ke institusi lain.
Misalnya, seorang dosen bergelar S-3 memiliki keahlian luar biasa dalam
melakukan riset.Namun, dia bekerja di universitas yang relatif kecil dan
tidak mengutamakan riset serta tak memiliki fasilitas pendukung riset.
Keahlian dosen tersebut tidak akan termanfaatkan dan pelan-pelan akan hilang.
Akan lebih baik jika sang dosen dimudahkan pindah ke universitas yang mendukung
riset sehingga keahliannya bisa memberi manfaat bagi masyarakat.
Pada
situasi lain, kadang seorang dosen memiliki visi yang tidak sejalan dengan
visi institusinya sehingga sering tidak mendukung, bahkan mengganggu,
program-program yang dijalankan institusi. Untuk dosen semacam ini, solusinya
adalah mempersilakan dosen bersangkutan berpindah ke institusi yang satu visi
dengannya.
Adakalanya
juga seorang dosen melakukan ”dosa” yang tidak bisa diterima institusi dan
koleganya. Adalah lebih manusiawi jika dosen tersebut diberi kesempatan
pindah ke universitas lain yang mau menerimanya dan memulai karier baru di
sana daripada mendapat hukuman sosial sampai datang masa pensiunnya.
Mobilitas
dosen akan membuat institusi pendidikan tinggi memiliki portofolio SDM yang
lebih kaya. Hal ini karena institusi memiliki dosen dengan latar belakang
universitas berbeda. Setiap dosen dari universitas berbeda akan membawa gaya,
pola pikir, dan pengalamannya masing-masing dan memberi warna bagi perbaikan
pendidikan di institusi tersebut.
Manfaat
lain dari mobilitas dosen adalah terbentuknya kultur yang lebih egaliter di
mana kultur akademis, argumen, dan wisdom menjadi dasar bagi arah
perkembangan institusi. Sementara itu, jika hampir semua dosen adalah lulusan
universitas itu sendiri (biasanya S-1-nya), senioritas akan terasa kental.
Dampaknya
adalah bahwa beberapa individu kadang lebih powerful dari institusi, sehingga
argumen dan keputusan institusi dikalahkan oleh rasa ewuh pekewuh. Hal ini
tidak sehat bagi perkembangan institusi pendidikan.
Menengok negara
Di
negara lain, terutama negara maju, jarang sekali ada dosen yang menghabiskan
kariernya hanya di satu institusi saja, apalagi di universitas papan atas.
Dosen muda biasanya direkrut dengan masa percobaan (kadang lima tahun). Masa
percobaan ini adalah untuk memastikan bahwa yang bersangkutan memiliki visi
yang sama dengan institusi, bisa bekerja sama dengan kolega, dan memenuhi
syarat akademis dan keahlian untuk menjadi dosen tetap. Mereka yang tidak
lolos percobaan diberi waktu satu tahun untuk mencari kerja di universitas
lain.
Meskipun
telah diangkat menjadi dosen tetap, seorang dosen bisa pindah ke universitas
lain apabila menemukan institusi yang bisa lebih mendukung kariernya, atau
lebih memerlukan keahliannya, selain faktor kompensasi. Hal ini akan
memungkinkan kerja dosen menjadi lebih efektif dan efisien sehingga dosen
bisa berkontribusi lebih banyak bagi dunia pendidikan.
Dengan
sistem yang mendukung mobilitas dosen antaruniversitas, akan mudah bagi sebuah
institusi mendapatkan dosen dengan keahlian yang dibutuhkan. Distribusi
keahlian dosen akan lebih optimal. Selain itu manajemen sumber daya manusia
di perguruan tinggi akan lebih efektif.
Salah
satu kekhawatiran jika sebuah institusi merekrut dosen ”pindahan” dari
universitas lain adalah kemungkinan dosen baru tersebut akan ”merusak
tatanan” yang sudah ada. Kekhawatiran ini bisa diminimalisir dengan sistem
probation atau percobaan untuk memastikan bahwa dosen baru tersebut akan bisa
menyesuaikan dengan sistem yang ada, sebelum diangkat menjadi dosen tetap
universitas.
Penutup
Pemerintah
perlu menciptakan kebijakan agar dosen bisa dengan mudah berpindah dari
universitas satu ke universitas lainnya. Secara teori, keahlian dosen bisa
terdistribusi lebih optimal dan dinamis bila institusi diberi ruang untuk
merekrut dosen dari universitas lain.
Utilitas
marjinal dosen bisa ditingkatkan jika dia diberi ruang untuk pindah dari
unversitas yang tidak membutuhkan keahliannya ke universitas lain yang sangat
memerlukan keahlian tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar