Kemanusiaan yang Robek
Indra Tranggono ;
Pemerhati Kebudayaan dan
Sastrawan
|
KOMPAS, 17 Mei 2016
Bahkan
umpatan paling sarkastik pun tak cukup untuk mengecam perbuatan 14 anak muda
yang memerkosa dan membunuh gadis 14 tahun, Yy, di Rejang Lebong, Bengkulu.
Kemanusiaan pun robek. Peradaban diludahi. Hukum gagap dan gugup.
Pengadilan
setempat menghukum tujuh terdakwa berusia di bawah 18 tahun, dengan 10 tahun
penjara. Tentu hal ini menimbulkan protes keras, baik dari keluarga maupun
masyarakat. Para pembela kemanusiaan, para pembela Yy, menuntut para bedebah
itu dihukum seumur hidup. Presiden Joko Widodo prihatin. Ketua DPR Zulkifli
Hasan menyatakan, kejahatan seksual telah mencapai titik mengkhawatirkan.
Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, pada 2010 terdapat 105.103 kasus
kekerasan terhadap perempuan. Jumlah itu melonjak tiga kali lipat menjadi
321.752, pada 2015 (Koran Tempo, 7/5).
Hancurnya nilai komunal
Setiap
tindak kriminal, termasuk kekerasan seksual, tak pernah berangkat dari ruang hampa.
Ada gagasan yang menuntun dan mengarahkan. Ada pula kondisi yang memungkinkan
tindakan dilakukan. Gagasan bisa bersumber dari realitas virtual yang
disajikan berbagai media, termasuk media konvensional dan media sosial.
Kejahatan
selalu punya cara untuk hadir. Meski pemerintah mengaku telah melakukan
pemblokiran,pornografi tetap bisa diakses di internet. Mata dan batin anak
muda yang ”lapar” itu rakus melahap berbagai citraan pornografi yang kemudian
mengendap bawah sadar dan menuntun perilaku.
Situasi
dan kondisi yang memungkinkan terjadinya tindak kekerasan seksual bisa berupa
hancurnya nilai-nilai komunal baik pada levelkeluarga maupun masyarakat.
Keguyuban dan kerukunan (soliditas sosial) terurai dan mencair akibat
menguatnya individualisme dan liberalisme. Orang-orang pun masuk dalam koloni
keterasingan dan mengabaikan liyan, entitas sosial lain yang semestinya
secara integral menjadi bagian dirinya. Dalam kondisi terasing, orang
mendapatkan teman bahkan guru berupa media sosial yang hadir melalui
pirantigadget (gawai).
Episode
auditif-visual sesungguhnya merupakan loncatan kebudayaan. Masyarakat yang
belum matang dalam peradaban tulis/baca (dunia nilai, gagasan, dan konsep)
mendadak dipaksa meloncat ke budaya audio-visual. Sementara itu, kultur yang
masih dominan adalah kultur lisan. Gawai dan media sosial hanya
menjadiperpanjangan dari budaya lisan.
Di
dalamkultur gawai/media sosial ini setiap orang membocorkan dirinya, baik
dalam konteks narsisme maupun snobisme. Kenikmatan ”bermedia” pun semakin
menegaskan keterasingan individual.Komunalitas sebagai dunia yang hidup penuh
kebersamaan, empati, solidaritas, dan toleransi akhirnya menguap. Prinsip
yang belaku adalah: aku bebas dan karena itu aku ada.
Karena
itu, liyan dianggap sebagai entitas nonsense, kecuali memberikan keuntungan
material dan nonmaterial. Di luar kepentingan itu, liyan sah untuk dijadikan
obyek eksploitasi dengan kekerasan simbolik dan fisik. Kondisi ini diperparah
semakin sulitnya mencari penghidupan: pengangguran menganga dan kemiskinan
menyeringai.
Aktor-aktor negara
Nilai
kemanusiaan tidak hanya dilumat dan dihancurkan kekuatan politik danekonomi
yang mengatasnamakan kuasa modal dankuasa negara. Pada tataran realitas,
nilai kemanusiaan juga merangsang bagi para predator yang bertopeng
kepentingan personal dan kelompok untuk melampiaskan niat busuknya. Para
predator itu bisa ditandai sebagai hedonis-kriminal, yakni para pemburu
kenikmatan dengan modus kejahatan. Kepuasan seks, hanyalah salah satu target
yang diburu.
Nilai-nilai
kemanusiaan tak berarti apa-apa jika hanya membeku dalam simbolisme, baik
dalamideologi negara maupun kearifan budaya. Nilai-nilai kemanusiaan harus
dirinci ke dalam sistem gagasan dan sistem perilaku yang memiliki kaki
sehingga bisamewujud menjadi realitas kehidupan. Kebaikan (etika), kebenaran
(logika), dan keindahan (estetika) merupakan pilar kehidupan bersama yang
membutuhkan basis kekuasaan negaradan lembaga sosial (institusi
pendidikan/kampus, parpol, pers, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga sosial-keagmaan)
yang kuat dan operasional.
Suka
tidak suka, harus diakui liberalisme ekonomi, politik, sosial, dan budaya
yang dipompa kuasa kapital punya andil besar bagi munculnya turbulensi etik,
moral, norma, dan hukum di negeri ini. Dekadensi moral menjadi
implikasinya.Celakanya, negara tak kuasa menjalani kewajibannya sebagai
lembaga nilai yang menjadi orientasi kolektif rakyat. Aktor-aktor negara
asyik bermain di panggungnya sendiri untuk berebut kekuasaan.
Tidak
banyak muncul banyak pemimpin kecuali penguasa. Tak muncul kearifan
politik-kekuasaan yang menumbuhkan harapan bagi rakyat. Nilai-nilai ideal
membeku dalam simbolisme yang diaktualisasi dalam upacara-upacara semu. Di
luar itu, kemanusiaan dan peradaban dibiarkan hancur secara sistemik. Orientasi
kolektif lenyap, dan rakyat hidup dalam ”gelap”. Berbagai kekerasan hadir
dalam ”festival hipokrisi” para aktor negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar