Memudarnya Imaji Reformasi
Saldi Isra ;
Profesor Hukum Tata Negara dan
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas,
Padang
|
KOMPAS, 21 Mei
2016
Salah satu agenda
sentral reformasi adalah terwujudnya penyelenggara negara yang bersih dan
bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Alasannya amat sederhana, bilamana
penyelenggara negara terjangkit tiga penyakit kronis penyalahgunaan kuasa
tersebut, tujuan pembangunan nasional tidak akan pernah terwujud.
Karena itu, pada
tahun-tahun awal reformasi disahkan sejumlah produk hukum yang dapat
mewujudkan pemerintahan yang bebas dan bersih dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN). Dimulai dengan Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, Undang-Undang No 28/1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, dan dikuatkan
lagi oleh Tap MPR No VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan
Pemberantasan dan Pencegahan KKN.
Tak berhenti di sana,
kemudian disahkan UU No 31/1999 (sebagaimana telah diubah dengan UU No
20/2001) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan, untuk mengatasi
problem pemberantasan korupsi yang terjadi di lembaga penegak hukum
konvensional (seperti kepolisian dan kejaksaan), disahkan pula UU No 30/2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Semua rangkaian produk
hukum yang lahir di awal reformasi tersebut memberi penjelasan dan gambaran
lebih utuh betapa sesungguhnya kuatnya kemauan politik untuk memberantas
penyakit akut penyalahgunaan kekuasaan.
Semuanya itu terjadi
karena hadirnya kesadaran kolektif bahwa praktik KKN telah merusak
sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta
membahayakan eksistensi negara. Tak hanya itu, dalam kehidupan bernegara, praktik
serupa telah melemahkan institusi dan nilai-nilai demokrasi serta institusi
penegakan hukum.
Namun, setelah berlalu
18 tahun, trilogi pemberantasan agenda penyalahgunaan kuasa berupa KKN tidak
pernah sepenuhnya terwujud sebagaimana imaji awal gerakan reformasi. Bahkan,
pemberantasan korupsi sebagai salah satu dari trilogi tersebut yang bisa
dilaksanakan mulai memudar seiring dengan perjalanan waktu. Banyak kalangan
khawatir, makin jauh dari peristiwa 1998, imaji reformasi akan kian
tenggelam, termasuk dalam agenda pemberantasan KKN.
Tidak utuh
Dengan membaca semua
produk hukum yang disahkan di tahun-tahun awal reformasi, sebetulnya hanya
satu dari trilogi tersebut yang dilaksanakan, yaitu agenda pemberantasan
korupsi. Sementara itu, ”kolusi” dan ”nepotisme” tidak pernah menjadi
perhatian serius sebagaimana halnya dengan ”korupsi”. Padahal, ketiganya
sama-sama ancaman serius dalam pencapaian kehidupan bernegara yang harus
diberantas dengan serius.
Penilaian ihwal
keseriusan tersebut dapat dilacak dari pengaturan dalam UU No 28/1999 yang
menyatakan bahwa kolusi adalah pemufakatan atau kerja sama secara melawan
hukum antarpenyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak
lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara.
Begitu pula dengan
nepotisme, UU No 28/1999 menyatakan setiap perbuatan penyelenggara negara
secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau
kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Sampai saat ini tidak
terdapat penjelasan yang memadai alasan para pembentuk UU tidak pernah
memberikan perhatian terhadap ancaman praktik kolusi dan nepotisme tersebut.
Secara kasatmata,
sangat mungkin, pemberantasan korupsi sulit didorong bergerak lebih cepat
karena mengentalnya praktik kolusi dan nepotisme yang menghinggapi
penyelenggara negara. Padahal, menyadari bahaya praktik KKN ini, Tap MPR No
XI/1998 meletakkan fokus pemberantasannya di tiga aras penyelenggara negara:
eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Boleh jadi, terkuaknya
beberapa praktik suap di lingkungan peradilan beberapa waktu terakhir di
antaranya disebabkan gagalnya tindak pidana korupsi menjangkau perilaku
menyimpang di internal birokrasi peradilan. Begitu pula dengan legislatif,
bisa jadi kian kuatnya cengkeraman elite menguasai dan mengendalikan lembaga
perwakilan rakyat disebabkan sebagian partai politik dibangun dengan
kentalnya praktik kolusi dan nepotisme. Begitu pula jajaran eksekutif, kedua
penyakit tersebut masih menjadi virus yang berbahaya.
Padahal, jika sebagaimana
halnya korupsi, bilamana kolusi dan nepotisme diberi porsi dan perhatian yang
tidak berbeda dalam menuangkannya dalam produk hukum, sangat mungkin situasi
setelah 18 tahun reformasi akan menjadi jauh lebih baik.
Ketika pengaturan
ihwal kolusi dan nepotisme tak diberikan porsi memadai, pemberantasan praktik
penyalahgunaan kuasa yang ditempatkan sebagai salah satu ancaman serius di
dalam penyelenggaraan bernegara pada awal reformasi, sampai sejauh tidak
mampu bergerak lebih cepat. Bahkan, di titik tertentu, praktik KKN masih
menjangkiti wilayah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Mengingat kembali
Dalam batas penalaran
yang wajar, meski trilogi penyalahgunaan kuasa yang menjadi salah satu
imajinasi reformasi untuk diberantas hanya bertumpu pada pemberantasan
korupsi, masih bisa dioptimalkan. Namun, seiring dengan perjalanan waktu yang
makin menjauh meninggalkan tahun 1998, komitmen memberantas korupsi pun makin
memudar. Paling tidak, bentangan empirik yang dapat dikemukakan adalah
meluruhnya dukungan politik terhadap agenda pemberantasan korupsi.
Contoh yang paling
nyata, memudarnya dukungan lembaga legislatif terhadap keberlanjutan KPK
sebagai institusi yang diberikan posisi extra-ordinary dalam memberantas
korupsi. Misalnya, bentangan empirik dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah
kekuatan politik di Senayan berupaya menggunakan otoritas legislasi mereka
untuk memangkas wewenang KPK dalam menelusuri praktik korupsi. Yang paling
menonjol, kuatnya keinginan untuk melumpuhkan kewenangan penyadapan KPK.
Banyak pihak
berpendapat, mengatur sedemikian rupa wewenang penyadapan menjadi tujuan
utama revisi UU KPK. Sebagaimana dikemukakan dalam ”Memperkuat Pelemahan KPK”
(Kompas, 15/2/2016), bilamana rencana pembatasan tetap diteruskan, KPK tidak
hanya akan mengalami kelumpuhan, tetapi juga kehilangan mahkotanya sebagai
institusi extra-ordinary dalam desain besar pemberantasan korupsi. Sadar atau
tidak, dengan keinginan membatasi wewenang penyadapan KPK, beberapa kekuatan
politik di DPR sedang memorak-porandakan imaji antikorupsi yang merupakan
salah satu roh sentral reformasi.
Tak hanya beberapa
kekuatan politik di DPR, institusi negara lain yang mestinya memberikan
dukungan terhadap pemberantasan korupsi harusnya melakukan langkah serupa.
Faktanya, di banyak kejadian, pemberantasan korupsi sepertinya tidak menjadi
agenda bersama. Banyak bentangan fakta membuktikan, sebagian penegak hukum
”menggoreng” agenda pemberantasan korupsi sebagai kesempatan untuk
mendapatkan keuntungan di luar tujuan penegakan hukum. Buktinya, banyaknya
terungkap praktik suap yang dilakukan penegak hukum di balik selubung
pemberantasan korupsi.
Di tengah situasi
begitu, asa besar untuk menyelamatkan imaji reformasi dalam pemberantasan
korupsi diharapkan dari Presiden Joko Widodo. Misalnya, dalam Nawacita secara
eksplisit dinyatakan akan berpihak kepada agenda pemberantasan korupsi dengan
memperkuat KPK. Selain itu, Jokowi berkomitmen untuk mereformasi lembaga
penegak hukum.
Kalau semua itu
dilakukan dalam memenuhi imaji reformasi dalam memberantas korupsi, para
penegak hukum tidak perlu terjebak dalam silang-sengkarut penegakan hukum.
Pada titik itulah,
saya sepakat dengan penilaian banyak kalangan bahwa Presiden Jokowi tidak
memberikan perhatian yang memadai terhadap masalah penegakan hukum. Sikap
begitu tentu saja memberikan kontribusi terhadap memudarnya imaji
pemberantasan korupsi sebagai salah satu roh reformasi.
Dalam suasana
memperingati peristiwa reformasi 1998, kita mengajak semua pihak kembali
mengingat imaji reformasi terutama dalam pemberantasan korupsi. Apabila
amanah reformasi tersebut diabaikan, bersiaplah memberi tempat kepada para
bandit menguasai negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar