Hormatilah Anak Perempuanmu
Herry Tjahjono ;
Terapis Budaya Perusahaan,
Jakarta
|
KOMPAS, 16 Mei 2016
Tragedi
Yuyun masih menyisakan kemarahan publik, namun hari-hari ini kita sudah
dikejutkan lagi oleh berita pemerkosaan dan pembunuhan Mistianah (10 tahun)
yang diperkirakan terjadi pada 14 April 2016 di Lampung Timur-yang nyaris
luput dari perhatian. Namun, perlu disadari bahwa kemarahan belaka tak akan menyelesaikan
masalah.
Memang
secara aktual, kita sangat marah ketika membaca berita bahwa sebagian pelaku
yang masih di bawah umur itu sudah
sedemikian rusak pribadinya-ketika mereka berlagak ikut menggali kubur dan
sebagainya. Kemarahan memuncak ketika tanpa rasa bersalah mereka cengengesan
menghadapi penyelidikan polisi.
Demikian
juga kita marah kepada dua pemuda yang menculik Mistianah, lalu memerkosa dan
membunuhnya.
Khususnya
kasus Yuyun, kemarahan kita bereskalasi ketika ada anggota DPR yang sekilas
mengecam keras para pelaku, tetapi pesan utamanya justru
"menyalahkan" korban: kenapa berjalan sendirian di pinggir kebun
yang sangat sepi dan membuka ruang bagi para pelaku untuk berbuat jahat. Tanpa menunggu waktu lebih lama, anggota
DPR itu di-bully habis-habisan di media sosial.
Terlepas
masih ada anggota DPR yang baik dan punya integritas, tetapi siapa yang bisa
membantah bahwa legitimasi moral DPR berada di titik nadir di mata
masyarakat? Apa yang bisa diharapkan dari anggota DPR jika integritas mereka
secara umum remuk-redam.
DPR-di
mata rakyat-sudah tak punya legitimasi moral.
Konsep psikologi dan spiritualisme mempertanyakan: dari pohon yang buruk mana mungkin
diharapkan buah yang baik? Legitimasi moral mereka terkait perilaku seksual
juga dipertanyakan mengingat berbagai kasus penyimpangan seksual yang
dilakukan oknum-oknum anggota DPR sering menjadi buah bibir masyarakat. Jadi,
bagaimana bisa diharapkan mereka menghasilkan sikap dan kinerja (produk UU) yang baik terkait
seksualitas? (Logika ini juga berlaku
untuk kasus-kasus lain, termasuk korupsi).
Kita
juga marah dengan kemungkinan hukuman yang tidak akan maksimal bagi para
pelaku. Kita maunya hukuman itu maksimal-kalau perlu super-maksimal-apa pun
bentuknya. Sebab, secara psikologis, kita semua bergidik membayangkan penderitaan mereka (baik
Yuyun maupun Mistianah)-sebelum meninggal sampai dia meninggal
serta dibuang begitu saja. Dan jangan
lupa, kasus Yuyun dan Mistianah ini hanya puncak gunung es.
Secara
prinsip-kalau mau jujur-kita semua agak pesimistis dengan upaya-upaya yang
bersifat sistemik dan struktural selama ini. Baik itu dari sisi perbaikan
regulasinya, eksekusinya, maupun lainnya. Namun, berhenti pada kemarahan dan
apalagi pesimisme juga tak berguna. Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Bagi saya,
jika kita belum bisa berkontribusi
langsung untuk menyelesaikan kasus Yuyun, menghentikan kasus-kasus serupa di masa mendatang,
memperbaiki atau bahkan merombak DPR,
menyempurnakan pranata hukum, termasuk eksekusinya, maka marilah kita
berkontribusi secara tidak langsung.
Jika
cara-cara sistemik-struktural belum bisa efektif secara cepat, maka dalam
perilaku psikologi massa: cara mobilisasi sosial (horizontal) adalah yang
efektif untuk diupayakan. Yang perlu kita bangun adalah "budaya
menghormati perempuan". Semua wacana yang bermunculan atas kasus Yuyun (dan
Mistianah)-secara tidak sadar-bermuara pada budaya yang kurang atau tidak
menghormati perempuan.
Pada
dasarnya, perempuan masih ditempatkan sebagai "obyek" secara
sosial. Tajuk Rencana Kompas (7/5/2016) menyebutkan hasil survei menguatkan
keyakinan selama ini bahwa kekerasan seksual atau pemerkosaan merupakan wujud
subordinasi dan relasi tidak setara perempuan dan laki-laki.
Pemerkosaan
adalah bentuk kontrol laki-laki terhadap perempuan; laki-laki merasa berhak
pada tubuh perempuan. Dan kekerasan bisa terjadi di mana-mana, di ruang
publik atau ruang privat. Belum lagi cara pandang sebagian masyarakat yang
justru menyalahkan perempuan, misalnya ungkapan soal cara berpakaian, riasan,
atau perilaku perempuan yang menggoda. Sikap permisif masyarakat terhadap
lunaknya hukuman bagi pelaku juga berperan.
Budaya keluarga
Prinsipnya,
semua berhubungan dengan "tata nilai" (values system) dalam
masyarakat. Dan pada dasarnya, membangun budaya adalah membangun serta
mengelola nilai-nilai. Maka ada dua hal penting yang mendesak perlu
dimobilisasikan bersama: (1) membangun budaya keluarga (family culture).
Secara praksis, budaya diartikan sebagai values in action. Budaya adalah
nilai-nilai yang mewujud dalam tindakan keseharian.
Maka
yang perlu kita bangun lebih dulu adalah budaya keluarga-sebagai upaya
mobilisasi sosial paling dekat dan cepat. Budaya keluarga: bagaimana kita
mewujudkan nilai-nilai keluarga itu dalam perilaku keseharian setiap anggota
keluarga.
Dan
keluarga sebagai sebuah organisasi
sosial terkecil dalam masyarakat-perlu memiliki core value (nilai
inti)-yang dalam konteks ini adalah nilai untuk menghormati perempuan. Ucapan
Malala Yousafzai, aktivis muda pendidikan perempuan dan pemenang Nobel bidang
perdamaian 2014 dari Pakistan , berikut ini akan menggetarkan kita semua:
"Honor your daughters. They are honorable."
Secara
esensial, ungkapan itu sesungguhnya bicara tentang nilai-nilai untuk
menghormati perempuan, yang dimulai dengan penghormatan kepada anak perempuan
kita. Jadikan nilai "penghormatan terhadap (anak) perempuan"
sebagai salah satu nilai inti keluarga, yang terus-menerus diejawantahkan
dalam berbagai perilaku serta interaksi keluarga sehari-hari.
(2)
Secara konseptual diyakini, pembangunan budaya organisasi (termasuk keluarga)
yang paling efektif adalah melalui eksekusi kepemimpinan-terlebih lagi jika
konteksnya adalah mobilisasi sosial. Lalu, siapakah pemimpinnya? Jawabannya
sederhana: setiap kepala keluarga (orangtua) merupakan pemimpin. Merekalah
yang wajib membangun dan mengelola nilai inti penghormatan kepada (anak)
perempuan ini-yang pada gilirannya adalah penghormatan pada istri, ibu,
saudari, sahabat perempuan, dan semua perempuan.
Merekalah
yang berdiri sebagai garda depan dengan menyosialisasikan, mengampanyekan,
menjalankan, dan memberikan teladan bagaimana nilai-nilai penghormatan kepada
"anak perempuan" itu diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pembahasan
ini adalah soal pembangunan peradaban jangka panjang, melalui nilai-nilai
kehidupan yang menghormati perempuan-siapa pun mereka. Ada dikatakan bahwa
perempuan adalah tiang negara. Bahkan, Napoleon Bonaparte mengatakan:"Seorang Ibu menggoyang
ayunan dengan tangan kanannya dan dunia dengan tangan kirinya."
Negara,
dunia, dan peradaban sangat membutuhkan perempuan-dan betapa jahatnya kita
jika pada saat yang sama budaya kita sangat merendahkan, mengobyekkan, dan
menghancurkan perempuan?
Kitalah
sesungguhnya penghancur peradaban masa depan itu ketika kita permisif, pasif,
dan hanya bisa reaktif-setiap kali kejahatan (seksual) terhadap perempuan
terjadi. Bangunlah budaya menghormati perempuan itu sejak sekarang, dimulai
dari diri dan keluarga masing-masing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar