Badan Usaha Milik Desa Mengapitalisasi Dana Desa
Ivanovich Agusta ;
Sosiolog Pedesaan Institut
Pertanian Bogor
|
KOMPAS, 16 Mei 2016
Sebanyak
89,5 persen dana desa dibelanjakan secara konvensional bagi pembangunan
infrastruktur. Konsekuensinya, Rp 17 triliun kucuran negara sekadar berperan
sebagai tambahan pemasukan senilai Rp 24 triliun pendapatan desa tahun 2015.
Sayang,
hingga sejauh ini dana desa belum dikapitalisasi untuk meningkatkan aset
pemerintah desa dan kesejahteraan warga. Indikasinya, dana desa memenuhi 40
persen anggaran pendapatan desa, tetapi menurunkan pendapatan asli desa (PAD)
dari 15 persen menjadi 9 persen.
Sebenarnya,
UU No 6/2014 tentang Desa menyediakan badan usaha milik desa (bumdes) sebagai
instrumen pemerintah desa guna mengelola pendapatan secara produktif.
Becermin pada masa keemasan PAD rata-rata 80 persen pada 1970-an, tidak
berlebihan untuk berharap kucuran lengkap dana desa tahun 2017 sebesar Rp 1,4
miliar per desa akan mengembangkan PAD sampai Rp 6 miliar di setiap desa pada
tahun berikutnya.
Menata bumdes
Diinisiasi
melalui Peraturan Mendagri No 39/2010, dasar legal penyusunan bumdes kini
didasarkan pada Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi No 4/2015. Namun, yang menggelitik, redaksi pada Pasal 34
peraturan menteri ini sampai menghapus peraturan mendagri sebelumnya.
Padahal, kedua peraturan tersebut setara secara hukum.
Sementara
peraturan lama mengharuskan pendirian bumdes berbasis peraturan daerah, pada
aturan terkini cukup didasarkan pada peraturan desa (perdes). Di satu sisi,
kemudahan pendirian berpotensi menyuburkan bumdes. Namun, perdes bukanlah
basis legalitas badan hukum untuk berbisnis sehingga menyulitkan
akuntabilitas kerja sama dengan pihak ketiga, termasuk kala badan usaha milik
negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD) dan swasta berminat
menyertakan modal ke dalamnya.
Beranalogi
BUMD sebagai instrumen pemerintah daerah dan BUMN sebagai perangkat
pemerintah pusat, bumdes diarahkan menjadi tangan korporasi bagi pemerintah
desa. UU No 6/2014 menuliskan, bumdes milik pemerintah desa karena didirikan
melalui peraturan desa dan dimodali dari APB Desa. PP No 43/2014 juga
menempatkan kepala desa sebagai pembina bumdes, sementara pengelolanya wajib berada
di luar pemerintahan agar terhindar dari kolusi otokratif.
Undang-undang
mewajibkan bumdes menyerahkan keuntungan sebagai PAD ke dalam APB Desa.
Dengan begitu, pemerintah desa dapat menggunakan profit badan usaha bagi
pembangunan, pemberdayaan masyarakat, hingga bantuan sosial golongan miskin.
Kesulitan
penataan bumdes secara nasional muncul lantaran pertentangan Kementerian Desa
PDTT dan Kemendagri tak kunjung padam. Undang-undang menegaskan bumdes
sebagai urusan eksekutif desa sehingga wewenang penataan selayaknya pada
Kemendagri. Namun, PP No 47/2015 memilah urusan bumdes kepada Kementerian
Desa PDTT lantaran mengiranya sebagai wadah pemberdayaan warga.
Basis
data kedua kementerian juga berlainan. Di berbagai media massa, Kementerian
Desa PDTT melansir jumlah bumdes 8.000-10.000 buah. Adapun Kemendagri merujuk
pada isian aparatur pemerintah desa dalam Sistem Informasi Desa dan Kelurahan
(www.prodeskel.binapemdes.
kemendagri.go.id). Publik dapat menguji data rinci setiap
desa, dan terbaca pada April 2016 berdiri 5.754 bumdes, atau 8 persen dari
keseluruhan desa.
Perpres bumdes
Geliat
pemerintah untuk mencanangkan, menggerakkan, dan mendukung pendirian bumdes
bagi keseluruhan 74.754 desa patut diapresiasi. Upaya afirmatif tersebut
membutuhkan koordinasi antarkementerian, lembaga, bahkan dengan BUMN dan
BUMD. Peraturan presiden (perpres) menjadi relevan sebagai senjata legal yang
ampuh guna menggerakkan koordinasi antarlembaga berikut koordinasi penyertaan
modal bumdes.
Namun,
dikhawatirkan ketergesaan pemerintah masih melalaikan kalkulasi risiko
kegagalan bumdes bagi negara. Kepala desa berwenang mengajukan kepailitan
bumdes kepada pengadilan manakala usaha-usaha bumdes merugi.
Di
titik ini, pendirian yang bertopang perdes otomatis mengaitkan kepailitan
bumdes dengan mengorek kantong APB Desa. Berdasarkan simulasi kerugian BUMD
yang menguras APBD kabupaten/kota dan provinsi selama krisis moneter, Indra
Bastian memperhitungkan simulasi puluhan ribu bumdes pailit secara massal
mampu membangkrutkan lebih dari separuh pemerintah desa.
Dua tahap
Sebagai
konsekuensi dari tata birokrasi, pemerintah daerah dan pusat harus turun
tangan mengatasi kepailitan desa. Pemerintah daerah di kawasan timur mungkin
menderita lebih parah sehubungan dengan peluang persentase bumdes pailit
lebih besar.
Oleh
sebab itu, Endang Basuni menggagas dua tahap penerbitan perpres bumdes.
Pertama, peraturan diarahkan untuk menginisiasi model-model pengelolaan
bumdes. Legalitas presiden menjadi fondasi penyusunan peta jalan,
pengembangan model percontohan, dan kerja sama dengan pihak ketiga. Tahap ini
diakhiri dengan rangkuman pola-pola pengelolaan bumdes yang berbeda-beda
seturut keragaman tipologi desa di Indonesia.
Kedua,
barulah diluncurkan perpres percepatan pendirian bumdes di sebagian besar
desa. Legalitas bersubstansi memilah kelayakan desa dalam mendirikan bumdes,
serta keragaman dukungan yang dibutuhkan untuk mengembangkannya. Tentu saja
termasuk dukungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mempermudah
pendirian badan hukum bisnis bagi bumdes. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar