Belajar dari Sadiq Khan,
Wali Kota London Pertama yang Muslim
Amir Sodikin ;
Assistant Managing Editor;
Wartawan;
Menyukai isu-isu Tradisionalisme
sekaligus Perkembangan Teknologi Informasi
|
KOMPAS, 07 Mei 2016
Dekade '70-an, di
negara Barat yang ia impikan, Inggris, Sadiq Khan kecil dan keluarganya kerap
mendapat perlakuan tak mengenakkan dari pihak lain. Orangtuanya yang seorang
imigran Pakistan membuatnya sering mendapat olok-olok bernada rasial.
Namun, sistem di kota
itu pada akhirnya tetap memberi kesempatan keluarga Pakistan itu untuk tumbuh
berkembang, tak hanya sekadar untuk bertahan hidup. Ayahnya kemudian menjadi
seorang sopir bus, ibunya menjadi seorang penjahit, dan saudara-saudaranya
bisa bekerja di Inggris.
Tak hanya itu, kini,
sejarah baru saja ditulis oleh Sadiq Khan. Konstitusi di negeri demokrasi itu
pada akhirnya telah memberi kesempatan anak kecil itu kini menduduki jabatan
Wali Kota London.
Sabtu (7/5/2016)
menjadi hari paling indah di mata Sadiq Khan dan juga di mata para
pendukungnya yang memiliki harapan untuk mewujudkan masyarakat multikultur
yang saling menjaga. Anak seorang sopir bus ini telah terpilih menjadi Wali
Kota London pertama yang seorang Muslim.
Hal yang tadinya
dianggap mustahil, kandidat dari Partai Buruh ini akhirnya bisa mengalahkan
seorang miliarder dari Partai Konservatif, Zac Goldsmith. Khan memperoleh
suara 57 persen atau 1,3 juta orang.
Kisah Khan memenangi
pertarungan Wali Kota London ini seperti dongeng di negeri modern. Orangtua
Khan adalah seorang imigran dari Pakistan yang mencoba memperbaiki kehidupan
di London. Khan adalah anak dari seorang sopir bus London yang menjadi Muslim
pertama yang bisa menduduki jabatan wali kota di ibu kota negara-negara
Eropa.
Berkali-kali Khan
menekankan dengan bangga bahwa almarhum ayahnya adalah sopir bus merah khas
London yang menjadi kebanggaan Inggris. Khan terbiasa tinggal di daerah etnis
minoritas yang kulturnya beragam dan merasakan betul suka duka menjadi
seorang minoritas di London.
Dalam pidato
kemenangannya, seperti dikutip dari AFP, Khan berjanji akan menjadi wali kota
untuk semua warga London, tanpa terkecuali.
“Saya tak pernah bermimpi bahwa seseorang seperti saya dapat
terpilih menjadi Wali Kota London. Saya ingin berterima kasih kepada setiap
warga London yang telah mewujudkan mimpi yang menjadi kenyataan hari ini,” kata Khan.
Dia berjanji akan
menepati program-program yang telah dikampanyekan sebelumnya. Khan akan fokus
pada penyediaan perumahan dan transportasi yang terjangkau bagi warga London,
mengurangi polusi, dan mendorong ketersediaan lapangan pekerjaan yang lebih
baik.
“Saya ingin setiap warga London mendapatkan kesempatan, seperti
yang telah diberikan oleh kota ini kepada saya dan keluarga saya, kesempatan
yang bukan sekadar untuk bertahan hidup, melainkan juga tumbuh berkembang,” kata Khan.
Tinggal di aparteman padat
Khan lahir di London
pada tahun 1970 dari pasangan imigran yang baru datang dari Pakistan. Khan
adalah anak kelima dari total delapan bersaudara.
Dia tumbuh di sebuah
apartemen padat di Tooting yang dikenal dihuni warga multietnis dan
multikultur di London selatan. Komunitas sekitar Khan tinggal inilah yang
nantinya akan menempa Khan menjadi politisi yang bangga dengan keberagaman.
Khan mendapat gelar di
bidang hukum dari University of North London. Pada 1994 kemudian ia menjadi
pengacara di firma hukum Christian Fisher. Di sinilah kemudian ia berjumpa
dengan pengacara Saadiya yang kemudian dia persunting menjadi istrinya.
Sebagai pengacara,
Khan ahli di bidang pembelaan hak asasi manusia. Pada 2008, ia ditunjuk oleh
Perdana Menteri Inggris waktu itu, Gordon Brown, menjadi seorang menteri. Ia
menjadi Muslim pertama di Inggris yang menjadi seorang menteri.
Kini, Khan adalah wali
kota pertama yang seorang Muslim di ibu kota negara-negara Eropa.
Kehadirannya di London diharapkan oleh semua pihak bisa menghapus
islamophobia yang sedang merasuki Eropa, terutama setelah migran dari Timur
Tengah menyerbu Eropa belakangan ini.
Titik harapan baru
Hasil mengejutkan ini
dicapai sebulan setelah serangan teror Brussels dan lima bulan setelah
serangan teror Paris. Khan seolah menjadi titik harapan bagi semua pihak di
Eropa dan juga di dunia untuk bisa mewujudkan semangat harmoni, bukan perang
ketakutan, dan juga ghirah persatuan, bukan perselisihan.
Dari kemenangan Khan
ini, setidaknya kita bisa belajar bahwa masih ada harapan bagi mereka yang
ingin menebar semangat untuk bersatu, dan bukan menebar ketakutan berlebihan
akan munculnya ekstremis Islam.
Oleh rivalnya, Zac
Goldsmith, Khan memang selalu dituding mendukung ekstremis Islam. Zac
Goldsmith adalah seorang aktivis lingkungan dan anggota parlemen dari Partai
Konservatif.
Dia adalah putra
taipan keuangan James Goldsmith. Goldsmith berulang kali melancarkan kampanye
tak sehat dengan selalu mengaitkan Sadiq dengan link ulama-ulama yang
mendukung ekstremis.
Banyak yang
menyayangkan strategi Goldsmith ini, bahkan dari internal partainya sendiri.
Pada akhirnya, dengan kemenangan Khan ini, warga London tak bisa ditakut-takuti
dengan isu islamophobia di daratan Eropa.
Kampanye hitam
Goldsmith telah membuat Partai Konservatif kehilangan kantong-kantong suara
yang didominasi kaum minoritas yang multietnik dan multikultur. Tanpa
memandang agama dan ras, mereka pada akhirnya memilih kandidat yang tak
mempersoalkan agama dan ras itu sendiri.
Di era melek
informasi, harus dipahami semua orang bahwa strategi kampanye hitam dengan
tuduhan tak berdasar kepada kandidat lain sama sekali tak bisa bekerja untuk
mendulang suara. Apalagi, jika sampai kampanye tersebut menjurus rasial, maka
akan semakin mempercepat ditinggalkan oleh pendukung.
Dunia telah berubah,
teknologi telah memudahkan siapa pun untuk memverifikasi tuduhan. Persoalan
memimpin sebuah kota adalah persoalan kemampuan personal, bukan persoalan
agama maupun ras. Khan telah membuktikan itu bersama Londoners.
Khan dan Londoners
telah mengucapkan selamat tinggal untuk politik yang
"memperdagangkan" agama, menyudutkan, dan bahkan mengancam
minoritas, mendramatisasi ketakutan, dan memecah belah masyarakat yang
multietnik dan multikultur.
Dari Indonesia,
ternyata kita hanya baru bisa menontonnya. London telah mengingatkan kita
bahwa ternyata minoritas itu perlu dirangkul, bukan ditakuti, apalagi
diancam. Perbedaan ternyata perlu dikelola, bukan berusaha dienyahkan dengan
alasan keamanan.
Jika kita ingin
berubah, maka para politisi kita harus benar-benar rela untuk meletakkan
semua "brand" yang menjual ketakutan itu. Jika tak mau? Mereka akan
digulung oleh ketakutan yang mereka buat sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar