Bandul Politik Partai Golkar
Idil Akbar ;
Staf Pengajar Ilmu Pemerintahan
FISIP Universitas Padjadjaran
|
KORAN SINDO, 10 Mei
2016
MUSYAWARAH
Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar hanya tinggal menghitung hari.
Sebuah babak ”baru” tentang masa depan politik Golkar akan ditentukan pada
saat itu. Pilihannya memang hanya ada dua, menyelesaikan polemik dualisme
kepemimpinan melalui musyawarah-mufakat di munaslub atau mempertentangkan
kembali dengan menguatkan kubu-kubuan dari ketua umum (ketum) lama. Pilihan
ini disinyalir akan bergulir dan berdinamika dalam munaslub nanti.
Delapan
nama yang muncul sebagai calon ketum Golkar baru dalam munaslub merefleksikan
semangat baru akan ada kebersamaan di Partai Golkar nanti. Jelas delapan nama
tersebut ada usaha yang lebih akomodatif untuk mewadahi dua kubu yang saling
silang sengketa sebelumnya. Semangat yang mungkin bisa dinilai sebagai usaha
bersama menyelamatkan Golkar dari kekandasan berpolitik, terlebih setelah
cukup lama mendominasi kekuasaan negara. Atau, minimal setidaknya berupaya
menyelamatkan muka Golkar sebagai partai senior yang memiliki rekam jejak
politik paling berpengalaman di Indonesia.
Hanya,
delapan nama yang bertarung bukan tak memunculkan pesimisme. Ada dugaan
mereka hanyalah ”titipan” ketum lama untuk tetap terus mengendalikan Golkar.
Atau, dengan kata lain, substansi munaslub diduga lebih mengedepankan politik
akomodatif terhadap dua ketum lama yang sama-sama mengklaim sebagai pihak
yang sah memimpin Golkar.
Jika
dugaan ini memang terjadi, orientasi ”islah politik” untuk menyelamatkan
Golkar akan terganjal karena terbentur pada dominasi politik kubu-kubuan.
Keikhlasan politik menerima siapa pun yang terpilih juga akan digugat.
Ujungnya sudah bisa ditebak, pemilihan akan berakhir deadlock dan mengundang pemerintah untuk melakukan
intervensi.
Agaknya
para petinggi Golkar harus melihat ini sebagai satu persoalan yang serius.
Jika berorientasi pada upaya melibatkan kembali Golkar dalam arena politik,
kepentingan kubu wajib didegradasi. Deadlock hanya akan menghasilkan
intervensi pemerintah yang lebih besar, terutama di dalam menentukan siapa
yang lebih berwenang memimpin Golkar. Energi pun akan terbuang dalam polemik
dan perselisihan hanya untuk memastikan diri sebagai pihak yang sah secara
hukum sebagai pengurus Golkar.
Tak
hanya itu, Golkar juga bisa terancam tak bisa ambil bagian dalam Pilkada
Serentak 2017. Sebagaimana pada 2015 Golkar juga sudah tak bisa ikut. Jika
terus berlanjut, Pilkada 2018 pun Golkar akan terancam tak bisa terlibat.
Jika masih berakhir antiklimaks, Pemilu 2019 nama Golkar akan juga terancam
terhapus dari peta politik. Sekali lagi, munaslub menjadi pertaruhan hidup
mati (sudden death) Partai
Golkar.
Integrasi Kepentingan
Menyelamatkan
Golkar hanya satu cara. Para pihak harus bisa mengintegrasikan kepentingan
yaitu kepentingan Golkar dan masa depan politik Golkar. Hanya, menurunkan
tensi dan egoisme personal di masing-masing kubu bukanlah perkara mudah.
Tetapi, demi kepentingan dan eksistensi Golkar, egoisme tersebut harus
dibenamkan lebih dahulu. Inilah sesungguhnya ujian bagi Golkar, bagaimana
mengintegrasikan kepentingan Golkar sebagai sebuah lembaga politik di atas
kepentingan pribadi atau kelompok.
Mengintegrasikan
kepentingan berarti harus mampu membentuk frekuensi yang sama oleh setiap
kader Golkar. Frekuensi yang membangun persepsi politik akan orientasi Golkar
pada masa yang akan datang. Mengintegrasikan kepentingan juga berarti harus
bisa menyelaraskan setiap elemen pendukung Golkar agar bisa terus menjaga
kondusivitas politik di internal Golkar.
Mengintegrasikan
kepentingan juga tak mesti berakhir aklamasi dalam menentukan calon ketumnya.
Debat-debat politik yang melahirkan kemufakatan akan jauh lebih bermakna
ketimbang terlalu memaksakan diri untuk mengambil keputusan yang bersifat
aklamatif.
Musyawarah
tetap perlu dibangun dengan membuka ruang-ruang dialog antarpeserta forum sehingga tetap memberi kontribusi positif
bagi perkembangan demokrasi di internal Golkar. Mengintegrasikan kepentingan
tak akan memberi banyak makna tanpa menghadirkan demokratisasi pelembagaan di
dalamnya.
Mengintegrasikan
kepentingan pada dasarnya juga (semestinya) bisa membuka kesadaran bersama
seluruh kader Golkar atas potensi kegagalan dan perpecahan yang lebih besar.
Sudah ada beberapa kader strategis Golkar yang akhirnya membentuk partai
baru, yang sudah pasti sangat merugikan Golkar secara politik.
Upaya
menghimpun kekuatan yang lebih solid sudah menjadi kelemahan Golkar saat ini,
yang memang sudah tak seperti dulu yang sangat dominan karena kekuatan figur
Soeharto sebagai penyatu. Kini Golkar harus menghadapi realitas politik,
ditinggal kader-kader strategis dan terus mengalami penurunan perolehan suara
pada pemilu sejak 1999 hingga sekarang.
Jika
seluruh kader Golkar tak mampu memastikan munaslub berjalan lebih dinamis
dengan orientasi lebih untuk menyelamatkan Golkar dari ketiadaan, Golkar akan
semakin ditinggal pemilihnya. Bagi rakyat mayoritas, tentu tidak akan
mempermasalahkan apakah Golkar masih bertarung atau tidak dalam pemilu-pemilu
berikutnya. Tapi, bagi seluruh kader Golkar, ketidakikutsertaan dalam pemilu
hanya akan menjadi titik nadir keterlibatan mereka lebih jauh dalam Golkar.
Kecuali bagi kader yang sudah teruji militansinya, mereka tidak akan
meninggalkan Golkar.
Bandul
politik Golkar akan terus bergulir dalam munaslub pertengahan Mei nanti, dan
baru berhenti jika sudah terpilih (dengan segala kerelaan politik yang ada)
ketum Golkar yang baru. Namun, bandul akan terus bergerak liar jika seluruh
kader Golkar tak mampu mengintegrasikan kepentingan dalam orientasi politik
yang sama. Golkar tentu tidak mau mengalami hal yang sama kembali karena
terlalu larut dalam dilema kekuasaan ketum lama yang pada akhirnya memecah
kesolidan yang sedang dirajut bersama lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar