Terorisme di Perairan ASEAN
;
Ketua Komisi III DPR RI Fraksi
Partai Golkar
|
KORAN SINDO, 06 April
2016
Urgensi aksi bersama
semua negara anggota ASEAN menangkal terorisme nyaris tak terelakkan. Tidak
hanya di darat, ASEAN pun harus beraksi mengamankan wilayah perairannya agar
tidak dijadikan target oleh kelompok-kelompok pelaku teror.
Untuk kepentingan besar
yang sangat strategis itu, Pemerintah Indonesia perlu memprakarsai kerja sama
konkret dengan sesama anggota ASEAN. Dalam rentang waktu kurang dari satu
minggu, institusi dan aparatur keamanan di semua negara ASEAN dibuat
tersentak.
Dalam rentang waktu
yang singkat itu, kelompok garis keras dari Filipina Selatan, Abu Sayyaf,
berhasil melakukan dua pembajakan di wilayah perairan ASEAN dan menyandera
sejumlah anak buah kapal (ABK). Memang, dua pembajakan dan penyanderaan itu
hanya menghadirkan persoalan bagi tiga anggota ASEAN, Indonesia dan Malaysia
di satu sisi, serta pemerintah Filipina di sisi lain.
Tetapi, omong kosong
kalau institusi dan aparatur keamanan pada anggota ASEAN lain tidak terusik
oleh dua pembajakan dan penyanderaan itu. Pertama terjadi pada Sabtu, 26
Maret 2016. Kapal Tunda Brahma 12 yang sedang menarik kapal tongkang Anand 12
dengan muatan 7.000 ton batu bara disergap dan dibajak oleh kelompok Abu
Sayyaf.
Brahma12 yang diawaki
10 ABK warga negara Indonesia (WNI) itu menarik Anand 12 dari Banjarmasin
menuju kepulauan Sulu dan Basilian di Filipina Selatan. Oleh para pembajak,
Brahma 12 ditinggalkan di sekitar Pulau Tawi-tawi, tetapi Anand 12 dan 10 ABK
yang disandera dibawa ke Pulau Basilian. Abu Sayyaf menuntut tebusan ke
Pemerintah RI sebesar 50 juta peso, sekitar Rp15 miliar.
Informasi terakhir
menyebutkan bahwa 10 WNI yang disandera Abu Sayyaf itu disekap di Pulau Jolo
di gugusan kepulauan Sulu. Para sandera disekap secara terpisah-pisah pada
beberapa rumah. Pulau Jolo menjadi salah satu basis kelompok Abu Sayyaf. Rabu
( 29/3) pekan lalu muncul informasi bahwa kelompok Abu Sayyaf telah
memberikan ultimatum kepada Pemerintah RI tentang pembayaran tebusan bagi 10
WNI yang disandera itu.
Uang tebusan harus
dibayarkan paling lambat 8 April 2016. Bila pembayaran tidak dilakukan,
sandera akan dibunuh. Lewat berbagai saluran, Pemerintah RI terus berupaya
menyelamatkan 10 WNI yang disandera itu. Selain menyiapkan operasi sendiri,
pemerintah juga menawarkan operasi penyelamatan bersama dengan militer
Filipina atau the Armed Forces of the
Philippines (AFP), serta menawarkan bantuan bila mana diperlukan.
Tetapi, atas nama
konstitusi negara itu, AFP menolak. Lalu, juga dengan tujuan menyelamatkan
para sandera, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi bertolak ke Manila pada
Jumat (1/4) pagi untuk menemui rekannya, Menlu Filipina Jose Rene D
Almendras. Kedua terjadi pada Jumat (1/4), saat sebuah kapal berbendera
Malaysia juga dibajak kelompok Abu Sayyaf.
Kapal MV Massive 6
dengan sembilan ABK itu disergap oleh delapan pria bersenjata di perairan
Ligitan, sekitar daerah Semporna, Sabah, Malaysia, pada pukul 18.00 waktu
setempat. Para pembajak menodongkan senjata api dan memaksa semua ABK turun
dari kapal.
Para pria bersenjata
yang menumpang kapal motor itu kemudian membawa pergi empat ABK warga
Malaysia. Sedangkan lima awak kapal lain, termasuk tiga ABK asal Indonesia,
tidak disandera. Lima ABK itu langsung berlayar ke Tawau dan melaporkan
penculikan itu kepada kepolisian setempat.
Perekonomian ASEAN
Dua pembajakan itu
harus dilihat dan dimaknai sebagai benih-benih instabilitas di perairan
ASEAN. Maka itu, kalau aparatur keamanan semua anggota ASEAN selama ini hanya
fokus mencegah terorisme di wilayah perkotaan atau darat, dua peristiwa
dimaksud mau tidak mau mendorong semua kekuatan ASEAN untuk mengamankan
wilayah perairan kawasan ini.
Perairan ASEAN
menyimpan potensi perekonomian yang strategis, apa lagi setelah pasar Asia
Tenggara dipersatukan dalam kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Jelas
bahwa perairan Asia Tenggara menjadi sarana lalu lintas barang yang sangat
diandalkan semua anggota ASEAN.
Kalau benih-benih
instabilitas itu tidak segera dieliminasi melalui aksi bersama anggota ASEAN,
dia dengan cepat akan berubah wujud menjadi ancaman nyata. Tidak ada pilihan
lain bagi semua anggota ASEAN untuk menerima kecenderungan itu sebagai
masalah sekaligus tantangan bersama.
Aksi bersama semua
anggota ASEAN praktis menjadi sebuah kebutuhan agar kawasan Asia Tenggara
tidak dirusak oleh kelompok kelompok milisi yang melancarkan terorisme di
laut. Setiap anggota ASEAN harus menyingkirkan ego negara atau
nasionalismenya.
Pendirian dan posisi
Filipina yang menolak kerja sama serta bantuan Indonesia untuk menyelamatkan
10 WNI yang disandera Abu Sayyaf itu bisa dipahami untuk saat ini. Tetapi,
kemudian hari pendirian seperti itu perlu diubah oleh semua anggota ASEAN,
termasuk Indonesia.
Ketidakberaturan gerak
dan manuver pelaku teror saat ini tidak mungkin lagi direspons dengan
cara-cara yang mengutamakan etika diplomatik. Sebagai sebuah komunitas, ASEAN
harus mengubah pendekatannya terhadap ancaman terorisme di kawasan ini.
Setiap anggota ASEAN harus terbuka untuk melancarkan aksi militer bersama
memerangi terorisme di wilayah perairan Asia Tenggara.
Kerja sama pengamanan
kawasan harus dieskalasi. Bisa dimulai dengan meningkatkan intensitas
pertukaran informasi di antara sesama komunitas intelijen di lingkungan ASEAN
maupun di antara sesama institusi kepolisian dan militer. Tidak ada salahnya
juga untuk menggagas patroli militer bersama di laut.
Kerjasamakonkretsepertiitu
sangat terasa urgensinya. Pertama, semua anggota ASEAN harus terpanggil untuk
berbagi tanggung jawab dalam mengamankan kawasan. ASEAN harus tetap kondusif
agar mesin perekonomian kawasan tetap bisa bekerja sebagaimana seharusnya.
Dengan demikian, wilayah perairan ASEAN pun harus bersih dari berbagai bentuk
gangguan dan ancaman.
Dua kasus pembajakan
dan penyanderaan itu bisa menjadi pesan yang sangat buruk tentang aspek
keamanan perairan di Asia Tenggara jika komunitas ASEAN tidak memberi respons
yang tepat. Agar persepsi negatif itu tidak terbentuk, ASEAN mau tak mau
harus memberi pesan yang jelas pula. Pesan itu akan mudah dipahami komunitas
internasional jika ASEAN bersatu melancarkan perang terhadap pembajakan dan
terorisme di perairan Asia Tenggara.
Pada sejumlah
kesempatan terdahulu, para pemimpin ASEAN sudah membahas urgensi kerja sama
kawasan untuk merespons ancaman terorisme. Pada forum US-ASEAN Summit di
Sunnylands, California, Amerika Serikat, 15-16 Februari 2016, isu yang sama
pun mendapat perhatian khusus.
Dengan dua pembajakan
oleh kelompok Abu Sayyaf di perairan Indonesia dan Malaysia baru-baru ini,
sekaranglah waktunya bagi ASEAN untuk segera melancarkan aksi bersama. Tidak
mengada-ada jika apa yang dilakukan Abu Sayyaf itu dikaitkan dengan rencana
ISIS melebarkan pengaruh dan kekuatannya di Asia Tenggara.
Seperti diketahui,
ISIS terangterangan menyatakan niatnya untuk membangun basis di kawasan
ASEAN. Untuk itu, Filipina atau Indonesia akan dipilih sebagai basis ISIS.
Dalam perburuan kelompok teroris pimpinan Santoso di Poso, Polri menemukan
dokumen tentang rencana ISIS menjadikan kawasan hutan di Sulawesi Tengah
sebagai pusat pelatihan milisi jaringan ISIS di Asia.
Untuk membangun basis
baru di kawasan ini, simpatisan ISIS tentu butuh dana. Abu Sayyaf tampaknya
sedang mencari dana itu dengan cara melakukan pembajakan di perairan Asia
Tenggara. Agar urgensi kerja sama ASEAN itu tidak sekadar menjadi wacana,
pemerintahan Presiden Joko Widodo perlu mengambil prakarsa menyatukan
kekuatan ASEAN.
Peran Indonesia
menjadi sangat penting karena sudah berulangkali menjadi target serangan
teror. Apalagi, pada forum US-ASEAN Summit baru-baru ini, Presiden Joko
Widodo memimpin sidang tentang strategi kontraterorisme dan berbagi
pengalaman dengan sesama anggota ASEAN. Urgensi mengamankan wilayah perairan
ASEAN juga relevan untuk dikaitkan dengan ambisi Presiden Joko Widodo
menuntaskan program pembangunan proyek tol laut.
Artinya, wilayah
perairan Indonesia pun harus steril dari ancaman terorisme. Boleh jadi, dua
pembajakan oleh Abu Sayyaf baru-baru ini akan menginspirasi jaringan
terorisme di Indonesia untuk melancarkan aksinya di laut. Kini sangat jelas
bahwa Indonesia dan ASEAN sudah dihadapkan pada tantangan baru yakni ancaman
terorisme di perairan ASEAN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar