Optimis atau Skeptis: Sidang AICHR di Jakarta
Dinna Wisnu ;
Pengamat Hubungan
Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 06 April
2016
Minggu ini Komisi
Antarpemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (AICHR) melakukan sidang ke-21
di Kantor Sekretariat ASEAN Jakarta. Ini akan menjadi pertemuan pertama di
mana seluruh komisioner AICHR yang bertugas untuk periode 2016-2018 akhirnya
berkumpul.
Dari sepuluh
komisioner, delapan adalah komisioner baru, yakni dari Brunei Darussalam,
Kamboja, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, dan Vietnam. Apa
yang dapat diharapkan dari pertemuan ini? Akankah para komisioner baru ini
lebih efektif membangun optimisme tentang pemajuan dan perlindungan HAM di
ASEAN? Ataukah mereka justru membangun lapisan benteng untuk menahan kritik
terhadap ASEAN atau AICHR?
Dalam pengalaman saya
yang masih singkat bertugas sebagai komisioner di AICHR, jawaban saya saat
ini adalah bahwa AICHR sebenarnya bisa bertindak lebih efektif untuk
merespons isu-isu HAM, tetapi sejumlah hal harus terpenuhi. Kuncinya adalah
memanfaatkan beragam cara yang mungkin dilakukan untuk melakukan pemajuan HAM
dengan bertahap melalui terbangunnya instrumen nasional dan regional untuk
perlindungan HAM.
Proses ini perlu
berjalan paralel dengan usaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
mengenai HAM karena bila tidak potensi konflik tak dapat dihindarkan. Dalam
hal ini, AICHR membutuhkan perubahan dari dalam sekaligus juga dukungan dari
luar. Perubahan dari dalam adalah tantangan terbesar.
AICHR yang lahir di
tahun 2009 adalah bagian dari paket reformasi yang dirancang untuk
meremajakan struktur kelembagaan dan reputasi ASEAN (Narine, 2012). AICHR
dibekali dengan 14 mandat dan fungsi, sebagaimana termaktub dalam kerangka
acuan (TOR) AICHR.
Mandat itu antara lain
untuk meningkatkan pemahaman publik tentang HAM dari penduduk di ASEAN,
membangun strategi untuk memajukan dan melindungi HAM, hingga terlibat dalam
kegiatan dengan badan-badan ASEAN atau lembaga-lembaga lain terkait ASEAN.
AICHR juga punya
mandat untuk memberikan nasihat dan bantuan teknis terkait HAM kepada
badan-badan sektoral ASEAN serta memperoleh informasi dari negara-negara
anggota ASEAN tentang upaya yang mereka lakukan untuk memajukan dan
melindungi HAM di negaranya. Mandat tersebut adalah mekanisme dan bukan
otoritas.
TOR AICHR saat ini
menyatakan bahwa para komisioner tidak memiliki mandat ataupun instrumen serta
anggaran kelembagaan yang memungkinkan mereka untuk menanggapi kasus-kasus
pelanggaran HAM, termasuk yang terbukti macet di tingkat nasional. AICHR
sebagai suatu lembaga bahkan tidak bisa memberikan komentar terhadap dugaan
pelanggaran HAM.
Upaya maksimal yang
dapat dilakukan AICHR adalah meminta informasi dari negara yang menjadi
perhatian dan pertemuan itu pun akan dirancang tertutup untuk publik. Selain
itu, karena hampir semua Komisioner ASEAN adalah pejabat pemerintahan atau
diplomat senior, opini atau komentar tentang segala hal dalam AICHR hampir
selalu menekankan pada kesesuaian dengan prosedur negara dan kebijakan
negara; bahkan kecocokan dengan posisi politik partai atau pihak yang
berkuasa di suatu negara.
TOR AICHR menjadi
sarana mekanisme disipliner komisioner sebelum bertindak. Ini sebab suburnya
skeptisme terhadap AICHR. Belum ada keinginan untuk membaca apa yang
tersirat, atau membangun imajinasi tentang hal-hal yang sebenarnya mungkin
terjadi bila sejumlah kegiatan diolah sedemikian rupa. Ironisnya, di luar
lingkar AICHR, upaya membangun AICHR juga baru sebatas kritik.
Ruang formal yang
terbatas untuk publik di AICHR menebalkan keyakinan bahwa AICHR kurang
seriusnya dalam memelopori perubahan dalam hal pengarusutamaan HAM dalam
kebijakan dan praktik-praktik tata kelola pemerintahan di Asia Tenggara. Jika
hal ini berlanjut, AICHR akan menggenapi apa yang dituduhkan selama ini dan
tidak beranjak ke mana-mana.
Kita tentu kenal
filosofi ”gelas setengah penuh”; beginilah saya memilih untuk melihat ASEAN
dan AICHR. Selama enam tahun AICHR berdiri, tantangan dalam meyakinkan dunia
tentang kemampuan (dan kemauan) negara-negara ASEAN untuk mengarusutamakan
HAM sebaiknya tidak dilihat sebagai suatu defisit dalam mencapai tujuan
bersama, tetapi sebagai suatu peluang tahapan yang terbuka luas untuk
dibentuk sesuai idealisme bersama.
Pergumulan pengalaman
dari masing-masing pemangku kepentingan dapat membentuk rasa saling percaya
sesuai visi bersama ASEAN yang tertulis dalam TOR AICHR. Meskipun mandat
AICHR terbatas, makna berdirinya AICHR mencakup upaya menegakkan
standar-standar HAM internasional seperti disyaratkan oleh Deklarasi
Universal HAM dan instrumen-instrumen HAM yang sudah diadopsi oleh
negaranegara ASEAN.
AICHR membutuhkan
dukungandari negara dan masyarakat sipil se-Asia Tenggara untuk melahirkan
rasa optimisme. Jajaran pemimpin ASEAN dipanggil untuk konsisten dengan
kesepakatan mendirikan AICHR dan konsekuensinya adalah membuka peluang
pengarusutamaan penegakan HAM di segala kegiatan pilar-pilar komunitas ASEAN.
Negara-negara anggota
ASEAN patut menyadari bahwa penegakan HAM dalam tiap bentuk kerja sama
antarnegara ASEAN akan menciptakan nilai-nilai baru yang akan membuka peluang
tanggapan positif dari negara lain terutama negara-negara non-ASEAN.
Tanggapan tersebut dapat mengejewantah dalam kerja sama ekonomi hingga kerja
sama sosial.
Dengan kata lain,
pemajuan dan perlindungan HAM tidak mudah dan menantang, membutuhkan upaya
serius dan energi besar. Namun ketika sudah terlembagakan dengan baik, nilai
tambahnya akan terjamin bagi produk dan jasa yang diproduksi dari kawasan
ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar