Pujangga
Putu Setia ;
Pengarang; Wartawan Senior
TEMPO
|
KORAN TEMPO, 09 April
2016
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan
memberikan semacam beasiswa bagi para penulis untuk menghasilkan karyanya.
Menurut Menteri Anies Baswedan, caranya dengan memberikan tunjangan hidup
kepada para penulis dalam jangka waktu tertentu agar mereka berkonsentrasi
menulis. Bisa dikirim ke luar negeri, tempat yang merangsang mereka untuk
kreatif, termasuk melakukan riset.
Saya teringat akan sebuah pertemuan pada
1970-an. Ada Made Sanggra, pengawi (pengarang berbahasa Bali); dan ada Gerson
Poyk, sastrawan Indonesia. Made Sanggra sudah menerbitkan sendiri kumpulan
puisi dan cerita pendek dalam bahasa Bali, meski sangat sederhana. Salah satu
cerita pendeknya, berjudul Ketemu Ring Tampaksiring, mendapat penghargaan
dari Majelis Pertimbangan Kebudayaan Bali. Made Sanggra berkata: "Kalau
saja pengawi hidupnya seperti pujangga di zaman Majapahit, pasti lahir karya
sastra bermutu." Dia iri, pujangga di era Majapahit dibiayai hidupnya
untuk menulis kekawin, sementara Made Sanggra menulis di sela-sela bertani.
Sastrawan Gerson Poyk, yang sudah menulis
novel Sang Guru, mengangguk. "Beri saya uang untuk berkelana dan
menulis, akan saya hadiahkan novel yang bagus. Bagaimana saya bisa menulis
dengan konsentrasi kalau untuk makan minggu depan harus menulis dua atau tiga
cerita pendek pesanan koran," katanya.
Tapi karya sastra tak pernah berhenti terbit,
sampai hari ini. Pujangga masa kini terus berkarya dengan latar sejarah yang
mungkin kelam. Ada Leila S. Chudori dengan Pulang, ada Laksmi Pamuncak dengan
Amba, dua contoh saja. Mereka bernasib baik, setidaknya dibanding Made
Sanggra dan Gerson Poyk. Mereka punya "bekal" untuk riset.
Juga bertebaran "pujangga" yang
karyanya dengan mudah dijual lewat celotehan di media sosial. Tak semua
penulis bisa memanfaatkan media sosial untuk berjualan, atau bisa jadi tidak
mau karyanya dijajakan bagai menjual markobar—martabak produksi putra Jokowi.
Karena itu, terobosan Menteri Anies Baswedan bagai angin surga.
Mpu Tantular, yang hidup di era Majapahit Raja
Hayam Wuruk abad ke-14, diminta menulis karya yang bisa dijadikan sesuluh
kerajaan. Lahirlah Kekawin Sutasoma yang di dalamnya terdapat "kata
sakti": bhinneka tunggal ika—kata yang kini jadi sesanti negeri ini.
Meski dibiayai hidupnya untuk menulis, pujangga ini tak terpengaruh oleh
pesanan, bahkan nama yang dipakai, Tantular, artinya tak terpengaruh.
Tak cuma Tantular yang diberi
"beasiswa" oleh Hayam Wuruk. Ada pujangga lain, Mpu Prapanca, yang
kemudian melahirkan Kekawin Negarakertagama yang termasyhur itu. Kisah ini
memang sejenis reportase kerajaan, namun dengan keindahan bahasa, kekawin
dengan 98 pupuh (sajak bertembang) ini begitu indah, melampaui zamannya.
Di era sebelumnya, Kerajaan Kediri, lahir
karya sastra yang sampai kini tak henti-henti dibaca dan ditembangkan.
Misalnya Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa di era Raja Airlangga. Kresnayana karya
Mpu Triguna di era Raja Jayabaya. Smaradahana karya Mpu Dharmaja pada masa
Sri Kameswara. Juga "tafsir baru" dengan gaya bertembang tentang
Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Tentu yang dahsyat adalah kisah
Lubdaka yang diadaptasi Mpu Tanakung ke dalam masyarakat Jawa Hindu, yang
sampai kini jadi rujukan di Bali.
Saya bermimpi Menteri Anies Baswedan juga
melebarkan gagasan beasiswa ini dengan jemput bola kepada "pujangga
bahasa daerah", jika kita percaya pelestarian bahasa dan sastra daerah
memperkuat budaya nasional. Mereka tentu kalah bersaing jika diharuskan
membuat proposal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar