Hukum Reklamasi
Moh Mahfud MD ;
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum
Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
|
KORAN SINDO, 09 April
2016
Salah satu sebab
mengapa rencana reklamasi Teluk Jakarta ribut adalah problem hukum, yakni
distorsi pengaturan dan penegakan hukumnya. Distorsi hukum tersebut dikatakan
sebagai salah satu sebab karena banyak sebab lain yang mendahului atau
mengikuti problem hukum tersebut. Masalah ekologi, sosial, dan politik
merupakan problem-problem yang secara simultan mencuat juga sebagai sumber
kegaduhan dalam isu reklamasi.
Di bidang hukum banyak
terjadi tumpang tindih antarperaturan perundang-undangan baik secara vertikal
maupun secara horizontal. Misalnya ada berbagai undangundang (UU), peraturan
presiden, keputusan presiden, peraturan daerah, dan keputusan gubernur yang
distortif. Pengaturan dan implementasi berbagai peraturan perundang- undangan
tampak tidak sinkron antara yang satu dengan yang lain.
Masalah Rancangan
Peraturan Daerah (Raperda) tentang Zonasi untuk reklamasi Teluk Jakarta bisa
disebut sebagai contoh distorsi antara pengaturan dan implementasi hukum.
Raperda tersebut ternyata dibuat setelah ada keputusan gubernur untuk
reklamasi. Dilihat dari kacamata hukum, pembuatan keputusan yang mendahului
peraturan merupakan kesalahan yang fundamental.
Di dalam tata hukum
ada hubungan yang khas antara peraturan (regeling ) dan keputusan
(beschikking). Regeling adalah peraturan yang bersifat abstrak- umum, belum
terkait dengan subjek tertentu, yang menentukan berbagai ketentuan yang harus
dipenuhi dalam pelaksanaan suatu kegiatan atau proyek. Adapun beschikking
adalah keputusan yang konkret- individual, sudah terkait dengan subjek dan
objek tertentu, yang dibuat oleh Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara untuk
melaksanakan regeling.
Pembahasan Raperda
yang terkait dengan Teluk Jakarta sebagai regeling bisa dinilai salah secara
hukum karena ia baru akan dibuat setelah ada keputusan atau beschikking.
Gubernur telah memutuskan memberi izin reklamasi untuk beberapa perusahaan
properti, termasuk Agung Podomoro Land (APL). Seharusnya keputusan dibuat
setelah ada peraturannya.
Dalam kasus reklamasi
Teluk Jakarta yang sekarang diributkan, karena keputusannya mendahului
peraturannya, tak dapat dihindarkan timbulnya kesan bahwa raperda sebagai
regeling dibuat untuk membenarkan beschikking atau keputusan yang telanjur
ada. Inilah yang kemudian menimbulkan celah terjadinya kolusi dan korupsi.
Pembentuk raperda bisa berkolusi dan berkorupsiria dengan pengembang yang
telah mendapat keputusan untuk melakukan reklamasi.
Korupsi dan kolusi
itulah yang kemudian tampaknya benar-benar terjadi dalam kasus reklamasi
Teluk Jakarta. M Sanusi sebagai salah seorang anggota pembentuk perda
ditangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena sangkaan
(bukan lagi dugaan) penyuapan terhadapnya oleh APL.
Dalam kasus ini,
seperti yang muncul dalam pendapat publik, diduga kuat APL menyuap Sanusi
untuk menurunkan kontribusi APL sebagai pengembang dari 15% yang ditentukan
oleh gubernur menjadi 5% di dalam raperda.
Indikasi penyuapan
tersebut semakin kuat ketika Kepala Dinas Perencanaan Pembangunan Daerah
(BPPD) Jakarta Tutty K mengumumkan melalui jumpa pers resmi bahwa usul
penurunan kontribusi dari 15% menjadi 5% tersebut dilakukan M Taufik, Wakil
Ketua DPRD yang juga memimpin pembahasan raperda.
Usul tersebut ditolak
Gubernur. Pembahasan raperda pun ditunda sampai beberapa kali karena tidak
ada titik temu dan tidak kuorum. Taufik boleh saja membantah dan mengatakan
bahwa tidak mungkin ada penyuapan dalam pembahasan raperda, sebab rapat-rapat
di DPRD dilakukan secara terbuka dan bisa diawasi masyarakat.
Tapi pernyataan Taufik
ini bisa dibantah balik dengan pernyataan lain, yakni rapat-rapat terbuka di
DPR maupun di DPRD biasanya sudah didahului dengan pembicaraan- pembicaraan
tertutup di balik panggung yang melibatkan banyak pihak. Semua anggota DPR
yang sudah dipenjarakan karena korupsi dalam proses pembuatan UU mulanya
selalu mengatakan, tidak ada korupsi karena rapat-rapat DPR dilakukan
terbuka.
Tapi tetap saja KPK
memenjarakan mereka karena terbukti korupsi. Dalam kaitan dengan pembahasan
raperda reklamasi, tetap saja sulit dibantah adanya korupsi karena setelah
Sanusi ditangkap, presdir APL pun menyerahkan diri. Logikanya, kalau tidak
ada korupsinya, untuk apa seorang presdir menyerahkan diri?
Berdasar pengalaman,
kalau sudah di-OTT oleh KPK tidak seorang pun bisa lolos, sebab sebelum
melakukan OTT KPK pasti mempunyai informasi lengkap tentang isi, tanggal,
jam, transaksi, serta tempat pembicaraan dan pertemuan semua pihak-pihak yang
terlibat. Tak mungkin KPK ceroboh melakukan OTT tanpa alat bukti yang cukup
menurut hukum.
Dan itulah gunanya
pembolehan penyadapan oleh KPK. Tampaknya sudah tepat yang dilakukan oleh
Pemerintah Provinsi Jakarta ketika menghentikan semua proses pembangunan dan
melakukan pembongkaran-pembongkaran atas bangunan-bangunan, yang dilakukan
oleh pengembang di beberapa bagian lokasi reklamasi. Alasannya, pengembang
baru mempunyai izin prinsip dan belum mempunyai izin operasional.
Langkah Pemerintah
Jakarta itu sudah tepat, tetapi akan jauh lebih tepat jika masalahnya
dikembalikan dulu ke prinsip hukum tentang hubungan antara peraturan (regeling) dan keputusan (regeling). Prinsipnya, beschikking
tidak boleh mendahului regeling. Oleh sebab itu semua izin yang sudah ada
harus dianggap tidak atau belum ada dan perlu dicabut sampai selesai dan
diundangkannya perda.
Setelah perda selesai
barulah dikeluarkan izin-izin lagi sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
dimuat di Meski kurang sejalan dengan kemanfaatan ekonomi,
pencabutan izin-izin yang terlanjur ada itu akan lebih sejalan dengan asas
kemanfaatan hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar