Politik Bersahaja Natsir
Asep Salahudin ;
Kolumnis;
Mengajar di IAILM Suryalaya Tasik
dan di Fakultas Seni dan Sastra Unpas, Bandung
|
KOMPAS, 01 April
2016
Di tengah suasana politik yang semakin kehilangan pijar
moralitas, defisit etika, dan kehilangan teladan kesederhanaan,
mempercakapkan kiprah politik Muhammad Natsir bukan hanya relevan, melainkan
juga sangat penting untuk kita jadikan rujukan keutamaan dalam pengalaman
politik harian kita.
Natsir seakan hadir ditakdirkan untuk menjadi contoh kebaikan
politik kebangsaan kita. Bahwa berpolitik yang benar bukan diacukan kepada
kecakapan retorika, kecermatan menjual suara, dan seni keterampilan
melipatgandakan dusta, melainkan justru adalah keteguhan mengukuhi prinsip,
membela demokrasi, memuliakan hak asasi sekaligus kesediaan mengambil sikap
hidup sederhana di tengah massa yang diperjuangkannya yang masih berada di
garis jelata.
Natsir telah membuktikan itu dalam tindakan nyata. Kesederhanaan
pilihan hidupnya sebagai panggilan jiwa. Sebagaimana kesaksian George
McTurnan Kahin, ”Pakaiannya sungguh tidak menggambarkan ia seorang menteri
dalam sebuah kabinet pemerintahan.” Seorang yang takhta perdana menteri (PM)
pada Agustus 1950 pernah berada di tangannya, tetapi masih mengenakan jas
lusuh. Seorang yang harus mencicil rumahnya dari sahabatnya ketika harus
menanggalkan jabatannya keluar dari rumah dinasnya, berhenti jadi PM.
Seorang sosok yang diakui punya jasa besar merumuskan negara
kesatuan (mosi integral), yang hal ini tidak mungkin dilakukan kecuali oleh
seorang politikus yang piawai membaca situasi, ketajaman mengendus peluang
sekaligus integritas menjulang dan kecintaan yang tidak disangsikan lagi
terhadap bangsanya. Mosi integral ini lalu secara resmi dipidatokan Bung
Karno dalam sidang parlemen Republik Indonesia sebagai Piagam Pembentukan
Negara Kesatuan. Mosi integral sebagai langkah politik strategis untuk
menghadapi Belanda yang mengembangkan politik pecah belah.
Sikap inklusif
Natsir sebagai anggota kabinet pernah menjadi Menteri Penerangan
pada masa Kabinet Syahrir (3 Januari 1946-27 Juni 1947) dan Kabinet Hatta (29
Januari 1948-19 Desember 1948) dan PM kesayangan Soekarno, tetapi ketika dia
berseberangan paham dengan Bung Besar, tanpa sulit mandat PM itu
dikembalikannya. Setelah itu tentu saja hubungan Natsir dan Bung Karno kian
memburuk dan memuncak pada peristiwa PRRI itu.
Ketika menjadi PM, Natsir yang merepresentasikan politik Islam
justru bersikap inklusif. Tokoh-tokoh Kristen diangkat sebagai bagian dari
Kabinet Natsir (1950-1951), Haryadi sebagai Menteri Sosial dan Herman
Johannes sebagai Menteri Pekerjaan Umum. Ketika menjadi anggota Dewan,
sekeras apa pun perdebatan ideologis, silaturahim tetap terjalin. Kepada DN
Aidit, misalnya, walaupun berbeda afiliasi ideologi yang diperjuangkannya,
persahabatan itu tetap terjaga penuh kehangatan. Demikian juga dengan Kasimo,
Leimina, dan AM Tambunan. Tentu saja perkawanan Natsir dengan Bung Karno
bukan sesuatu yang baru. Sejak1930, keduanya pernah terlibat polemik panas
mempercakapkan kaitan antara Islam dan negara, antara sekularisme dan
”islamisme”.
Bung Besar sangat terkagum-kagum pada sekularisasi Kemal
Attaturk di Turki, bahkan dipandangnya bahwa di tangan Attaturk Turki
mengalami perkembangan pesat. Artinya, Islam secara formal tak penting
dilibatkan dalam kenegaraan, yang diperlukan bukan ”abunya”, melainkan
”apinya”. Adapun Natsir mengembangkan gagasan sebaliknya, seperti lebih utuh
ditulisnya dalam Pembela Islam (1932).
Maka, pasca kemerdekaan, pertemuan Bung Karno dan Bung Natsir
itu seperti reuni. Kalau pada 1930 pertemuan itu dalam bentuk polemik
gagasan, pada 1946 dalam bentuk kerja mengisi kemerdekaan yang baru saja
diproklamasikan, dalam merumuskan perahu keindonesiaan hendak ke mana dilayarkan
walaupun sekali lagi akhirnya keduanya harus berpisah di persimpangan jalan,
seperti juga dialami Syahrir, Tan Malaka, Amir Syarifuddin, Muso, Hatta,
Roem, dan Syafruddin, dan sebagainya.
Berpisah bukan karena kesumat, melainkan semata satu sama lain
merasa sudah tak bisa lagi mempersatukan prinsip-prinsip dasar politik yang
diyakininya.
Selepas Soekarno tumbang, ternyata sikap kritis Natsir bukannya
pudar, melainkan malah menemukan sasarannya: Orde Baru di tangan Soeharto
yang kian korup dan pandir. Tidak harus berlama-lama mengharap negara
mewajahkan rautnya yang santun di tangan Soeharto, Natsir justru tancap gas
jadi penggagas utama Petisi 50 (1980), memandang bahwa kekuasaan yang semula
diharapkan normal itu kian menjauh dari konstitusi, semakin abnormal, gila,
dan despotik.
Soeharto yang diharapkan dapat menghentikan ”demokrasi
terpimpin” justru mempraktikkan ”demokrasi Pancasila” yang penafsirannya
telah dibajak disesuaikan selera nafsu kuasanya.
Melampaui tubuh
Bagi saya yang menarik dari Natsir bukan tawaran ideologi
politik Islamnya yang hari ini kehilangan relevansi, tetapi justru yang
menarik dijadikan teladan dari Natsir adalah sikap berpolitiknya. Yang
semestinya dijadikan cermin adalah imperatif etiknya. Dari Natsir seharusnya kerumunan politisi sekarang belajar
bagaimana hidup bersahaja, memasuki pengalaman kemajemukan, tidak
menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan. Bagaimana semestinya
kesetiakawanan itu dirawat tanpa melihat asal usul etnik, ideologi, dan
agamanya.
Natsir seperti menampar wajah buram politik kita bahwa kaitan
etika dan politikitu bukan sesuatu yang utopis, melainkan riil, sesuatu yang
semestinya menjadi kesadaran bersama kalau kehidupan ingin menemukan adabnya.
Bahwa kecintaan pada Indonesia tak sekadar diucapkan lewat pekik retorika,
tetapi diwujudkan dalam karya nyata.
Hari ini harus kita akui, Natsir sering kali dihadirkan sebagai
simbol politik Islam, bahkan acap kali dibajak hanya sekadar lambang untuk
menunjukkan bahwa politik Islam punya jangkar korespondensi silamnya pada
sosok pendiri Masyumi ini. Yang sering dilupakan adalah sikap bersahaja dan
etik politik yang diajarkan Natsir itu.
Maka, saya tidak heran, gemuruh partai politik Islam dan para
aktivisnya sering kali mereka tanpa malu mengangkangi nilai-nilai itu. Coba
kita lihat, di tengah massa yang melarat para politikus itu hidup dalam
gelimang kemewahan. Tidak hanya mobilnya tak terbilang, bahkan istri juga
lebih dari satu.
Kalau dari Natsir masih sempat kita temukan jejak otentisitas
warisan pemikirannya seperti dalam Kapita Selekta itu, maka jejak pemikiran
apa yang kita dapati dari politisi abad ke-21 kecuali hanya perbincangan
tentang merek jam yang dikenakan, mobil senilai miliaran rupiah yang
dikendarai, jas mahal yang dipakai dan seluruh aksesori yang dikenakan
jasadnya atau sesekali lamat terdengar rencana agung bikin blok oposisi yang
ternyata tak kunjung direalisasikan, bahkan kian tampak semua partai hari ini
berlomba mendekat ke lingkaran kekuasaan.
Dan atau mungkin, karena tak ada yang mereka banggakan, mereka
merasa yang harus dikedepankan adalah ”tubuh”. Karena tidak punya pemikiran
dan gagasan politik cemerlang, sekalian saja tidak berpikir. Mungkin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar