Pelibatan Publik Pendidikan
Doni Koesoema A ;
Pemerhati Pendidikan;
Dosen Universitas Multi Media
Nusantara, Serpong
|
MEDIA INDONESIA,
18 April 2016
PELIBATAN publik dalam
pendidikan seharusnya tumbuh pada level paling bawah piramida pendidikan,
yaitu unit sekolah, dan paling tinggi, kebijakan kementerian. Sayangnya,
pemerintah sendiri belum memiliki kejelasan konsep tentang itu. Tidak
mengherankan bila praktik pelibatan publik kurang efisien dan tidak terkelola
secara sistematis.
Pelibatan publik ialah
kata kunci Anies Baswedan untuk mereformasi birokrasi dan mengubah paradigma
para pelaku pendidikan, baik di lingkungan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan maupun masyarakat pada umumnya. Namun, fokus pengembangan publik
pertama-tama ingin ditumbuhkan di kalangan para pengambil kebijakan itu
sendiri, lalu melebar ke masyarakat luas. Kebijakan pendidikan yang
menentukan nasib banyak orang terlalu berisiko bila hanya diserahkan kepada
segelintir elite di senayan.
Anies sadar betul
persoalan pendidikan di Indonesia terlalu kompleks untuk diselesaikan sendiri
oleh kementerian yang dipimpinnya. Pelibatan publik menjadi alat untuk
mereformasi birokrasi karena konsep itu semakna pula dengan gagasannya
tentang pendidikan sebagai sebuah gerakan. Semakin banyak orang terlibat,
akan semakin baik.
Ironisnya, di negeri
ketika kepercayaan dan ketulusan satu sama lain semakin mahal, setiap ide dan
niat baik selalu ditanggapi dengan rasa curiga. Pada awal diseminasi konsep,
ketika Anies melambungkan wacana konsep pelibatan publik dengan mengatakan
pendidikan harus menjadi sebuah gerakan, tanggapan sinis bermunculan. Negara
mau lepas tangan urusan pendidikan? Atau sekadar membuat pencitraan seperti
layaknya pemimpin lain di zaman ini? Tentu, pertanyaan itu hanya Anies yang
bisa menjawabnya. Lebih dari itu, apakah Anies mampu merealisasikan
gagasannya? Bukan sekadar melempar wacana betapa pun sulit kultur birokrasi
yang membelenggunya.
Perubahan kebijakan
Bila kita jeli
memperhatikan dinamika yang terjadi di Kemendikbud, harus kita akui ada
banyak perubahan yang terjadi. Kita melihat ada perubahan di ruang-ruang
Kemendikbud yang dulunya kurang ramah terhadap publik.
Ruang-ruang yang dulu
hanya dipakai untuk pelantikan dan rapat internal sekarang sudah berubah. Berbagai
kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan masyarakat sipil sering terjadi. Bahkan,
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan (KMSTP) yang terdiri
atas gabungan berbagai macam organisasi peduli pendidikan sudah mengadakan
simposium yang kedua untuk menanyakan kemajuan rekomendasi-rekomendasi yang
telah diberikan.
Pelibatan publik juga
dipakai Anies sebagai cara untuk mereformasi tata kelola birokrasi dalam
merekrut para petingginya. Anies membentuk panitia seleksi yang terdiri atas
masyarakat umum untuk menyeleksi jajaran direktorat dan pejabat setingkat. Bahkan,
pada masa Anieslah untuk pertama kalinya sosok seorang dirjen terpilih bukan
berasal dari kalangan Kemendikbud. Kemajuan itu tentu patut kita apresiasi.
Namun, pelibatan
publik mestinya bukan sekadar mengajak masyarakat mendiskusikan isu-isu
pendidikan atau sekadar melibatkan publik dalam mekanisme pemilihan para
pejabat. Lebih dari itu, pelibatan publik haruslah efektif dan memiliki
tujuan jelas, yaitu perubahan kebijakan pendidikan lebih baik, perubahan
praksis pendidikan di tingkat paling kecil, unit sekolah, dan perubahan
kebijakan di tingkat lokal dan nasional.
Tiga level
Apa yang selama ini
sudah terjadi dalam rangka pelibatan publik masih terjadi pada satu level,
yaitu pada level kementerian, seperti adanya berbagai macam simposium
nasional yang digelar di Kemendikbud untuk membahas persoalan regulasi dan
kebijakan pendidikan di tingkat nasional serta pemilihan para eselon untuk
menduduki jabatan direktorat jenderal, kepala pusat, ataupun pejabat
setingkat. Format pelibatan inipun belum jelas karena mekanisme belum
terbentuk sehingga belum efektif.
Ideal pelibatan publik
yang efektif mestinya menyentuh tiga level sekaligus, yaitu level unit
sekolah, dinas pendidikan, dan kementerian.
Tiga model itu bila
dikembangkan secara efektif dapat meningkatkan kualitas pendidikan nasional
secara berkelanjutan. Di tiga level ini, pelibatan publik harus memiliki
target pada perubahan kebijakan, bukan sekadar berupa model komunikasi
sosialisasi, konsultasi, ataupun kolaborasi. Kolaborasi tingkat tinggi akan
menjadi partisipasi publik yang autentik. Untuk itu, ada tiga lapis pelibatan
publik yang perlu didiseminasikan.
Pertama, pelibatan
publik, terutama orangtua, pada level unit sekolah ialah fundamental
pendidikan nasional. Ini terjadi karena orangtualah yang mestinya
berkolaborasi dan terlibat dengan pihak sekolah. Sebaliknya, sekolah
seharusnya menganggap orangtua sebagai pemangku kepentingan utama. Pelaku
utama pelibatan publik pada level ini antara lain orangtua, tokoh masyarakat,
alumni, dan komite sekolah.
Kedua, pelibatan
publik dalam level dinas pendidikan setempat. Era otonomi daerah menempatkan
dinas pendidikan sebagai pelaku utama pengembangan pendidikan di daerah. Ada
sekitar 60% dari total dana anggaran pendidikan nasional diberikan pada
tingkat kabupaten dan kota.
Pelaku utama pada
level ini ialah paguyuban orangtua, LSM, masyarakat, perguruan tinggi, dewan
pendidikan kota/provinsi, dan berbagai macam pihak yang memiliki kepentingan
akan peningkatan pendidikan di daerah.
Ketiga, pelibatan
publik dalam level Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada level ini,
publik dapat terlibat, terutama dalam membahas dan mendesain kebijakan
pendidikan yang berada pada level nasional, baik itu dari sisi pengembangan
kurikulum, buku, penilaian pendidikan, guru, dan perluasan akses pendidikan. Pelaku
utama pelibatan publik pada level ini ialah perguruan tinggi, lembaga-lembaga
pendidikan, organisasi dan komunitas pemerhati pendidikan, individu dan
komunitas/CSR, dinas pendidikan, serta dewan pendidikan di tingkat nasional
(yang seharusnya ada).
Tiga level pelibatan
publik ini mestinya menjadi paradigma dalam memetakan persoalan pendidikan
dan menentukan kebijakan pendidikan di tiap level. Pelibatan publik akan
bermakna bila efektif dan efisien. Agar efektif dan efisien, ada tiga hal
mendesak yang perlu dilakukan. Pertama, perlu ada mekanisme komunikasi
timbal-balik antara lembaga pendidikan dan publik secara transparan, baik itu
di tingkat unit sekolah, dinas, maupun kementerian. Kedua, penguatan peran
orangtua dan komite sekolah sangat dibutuhkan agar komite sekolah dan
orangtua sungguh menjadi mitra unit sekolah, bukan sekadar tukang stempel
kebijakan kepala sekolah. Ketiga, penguatan kembali dewan pendidikan
kota/provinsi sebagai mitra dinas pendidikan. Pemerintahan Anies juga masih
memiliki pekerjaan rumah untuk membentuk dewan pendidikan nasional yang belum
ada yang menjadi amanat UU Sisdiknas 2003.
Pendidikan memang
urusan semua orang. Pelibatan publik merupakan conditio sine qua non bagi perbaikan kualitas pendidikan
nasional.
Pelibatan publik hanya
efektif dan efisien bila akhirnya setiap kebijakan pendidikan ialah hasil
dari dialog pemikiran dengan masyarakat. Pendidikan ialah milik rakyat, bukan
kepunyaan segelintir elite di senayan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar