Pelayanan Publik dan Nasionalisme
Amzulian Rifai ;
Ketua Ombudsman RI
|
KORAN SINDO, 04 April
2016
Pastilah ada yang
bertanya-tanya, apa kaitannya antara pelayanan publik dan nasionalisme?
Terkesan topik yang terpisah dan tidak ada keterkaitan sama sekali.
Tidak salah juga yang
berpikiran demikian. Namun saya yakin setelah membaca artikel ini agak jelas
juga kaitan kedua hal ini. Secara sederhana nasionalisme Indonesia
dimaksudkan adanya kecintaan yang mendalam terhadap Indonesia. Bahkan ada
yang terkadang secara ”membabi buta” menyatakan apa pun yang terjadi dengan
negaranya, dia tetap cinta menggunakan kaca mata kuda. Ungkapan right or
wrong is my country melekat dalam sanubari.
Ketika belajar dan
bekerja di Australia sekitar tujuh tahun, agak terasa juga hal-hal yang
terkait dengan nasionalisme ini. Sebelum 1998 (era Reformasi) kami dihadapkan
dengan berbagai gerakan atas nama pelanggaran HAM di Timor Timur, Aceh, dan
Irian Jaya (kini Papua). Terasa benar sentilan-sentilan nasionalisme karena
di masa itu berbagai rupa demonstrasi anti-Indonesia cukup meluas.
Berbagai elemen
masyarakat di Kota Melbourne bersatu untuk satu bahasa membela apa pun yang
menjadi kebijakan Indonesia. Pelajar, mahasiswa, kelompok pengajian, kelompok
kedaerahan maju tak gentar membela Indonesia Raya. Jika dikaji lebih
mendalam, sesungguhnya saya juga bertanya- tanya, apakah nasionalisme yang
tinggi ketika itu karena ”kami” tidak sempat berpikir kritis terhadap
kelakuan pemerintahan pada masa itu, hanyut dengan berbagai doktrin negara
yang berakibat nasionalisme itu terpatri tanpa ada pemikiran kritis?
Pascareformasi
masyarakat Indonesia lebih kritis. Nasionalisme itu tidak lagi berarti
pasrah, menerima saja apa yang dilakukan negara. Tidak juga nrimo dengan
berbagai perilaku korup kaum birokrat. Mulai dipertanyakan prestasi
pemerintah atas pajak yang diterima. Adakah peningkatan fasilitas publik setelah
rakyat dikejar-kejar membayar pajak? Ada banyak pertanyaan kritis lainnya.
Itu sebabnya, surat Kementerian PAN-RB yang ditandatangani sekjennya mengenai
permintaan fasilitas bagi kolega menteri yang akan berlibur di Sydney
menghebohkan.
Begitu juga ketika
salah seorang anggota DPR meminta fasilitas saat berlibur dengan keluarganya
di Paris menuai protes publik. Tentu duduk perkara sesungguhnya perlu
didalami, tetapi heboh itu sudah telanjur ada. Fasilitas dan pelayanan publik
di Indonesia memang tergolong ”payah dan parah”. Memang ada peningkatan
secara perlahan, tetapi dalam banyak hal keduanya masih menyesakkan dada
apabila dibandingkan dengan negara-negara yang sepatutnya sudah menjadi bahan
perbandingan bagi Indonesia.
Tidak kalah untuk
diperbincangkan adalah pelayanan publik di wilayah-wilayah terluar Indonesia.
Populer juga dengan sebutan wilayah kita yang berbatasan langsung dengan
negara-negara tetangga. Ada beberapa ciri kebijakan negara di masa lalu
mengenai wilayah perbatasan. Ciri pertama, kebijakan belum berpihak pada
kawasan tertinggal. Kedua, masih adanya paradigma ”kawasan perbatasan sebagai
halaman belakang” wilayah yang terabaikan.
Sarana dan prasarana
yang minim diiringi dengan tingginya angka kemiskinan. Akibatnya, adanya
kesenjangan pembangunan dengan negara tetangga. Pelayanan publik dan
fasilitas publik adalah hak rakyat dan karena itu pula rakyat sepakat
menyerahkan kedaulatan mereka kepada negara. Negara kemudian diperintah oleh
para birokrat yang seharusnya amanah dengan jabatannya. Di mana-mana, rakyat
memimpikan kesejahteraan.
Pelayanan publik oleh
negara sebagai awal mencapai kesejahteraan itu. Namun nasionalisme mereka,
terutama rakyat yang tinggal di wilayah perbatasan, diuji ketika dihadapkan
pada pelayanan publik yang disajikan negara yang berbatasan langsung.
Logikanya, sebagian orang tidak sulit menentukan pilihan ketika dihadapkan
antara tetap mempertahankan nasionalisme sebagai orang Indonesia dengan
berbagai kekurangannya atau mengubah paspor dengan pelayanan publik yang luar
biasa.
Jika ingat beberapa
tahun lalu ada berita tentang Askar Wataniah, mereka adalah ratusan orang
Indonesia yang dilatih baris-berbaris, strategi perang, bersenjata, dan
dijadikan Malaysia sebagai tentara bayaran untuk menjaga perbatasan dengan
Indonesia di Kalimantan. Tidak hanya digaji, tetapi mereka juga diakui
sebagai warga negara Malaysia. Pastilah terjadi ”peperangan nurani” antara
nasionalisme dengan kebutuhan hidup.
Tidak semua warga kita
di perbatasan yang dengan mudah menggadaikan nasionalismenya. Namun ketika
kebebasan berpikir itu dimiliki, pertanyaan- pertanyaan kritis mengemuka. Di
antara mereka pastilah ada yang minta ketegasan, apalah artinya nasionalisme
ketika air bersih, listrik, pendidikan, dan pekerjaan tidak didapatkan.
Padahal berbagai kebutuhan dasar dan pelayanan publik paripurna itu bisa
mereka dapatkan dengan mudah dari negara tetangga.
Manusiawikah ketika
mereka meninggalkan nasionalisme sekadar untuk bertahan hidup sebagai
manusia? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar