Duh, Iuran JKN
Hasbullah Thabrany ;
Guru Besar Universitas
Indonesia;
Anggota KUPASI; Kumpulan Penulis
Asuransi Indonesia
|
KORAN SINDO, 04 April
2016
Horee, iuran Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) tidak jadi naik. Tapi cuma yang kelas III.
Sebelumnya, ada politisi menuding JKN memberatkan rakyat.
Ada pemda mengancam
menunda bergabung dengan JKN. Ada RSUD mengancam tidak mau lagi melayani
peserta JKN. Ada anggota DPR meminta pemerintah tidak tergesa-gesa menaikkan
iuran. Padahal, setahun lalu, ia sudah menyuarakan kenaikan iuran. Di sisi
lain, selama dua tahun pertamaJKNmediamemberitakan berbagai masalah JKN mulai
dari defisit BPJS sampai peserta JKN ditolak secara halus. Begitu banyak
peserta yang “dibohongi”.
Ada peserta dipaksa
membayar sebagian, dipaksa bolak-balik pemeriksaan, RS membatasi jumlah
pasien JKN, atau dipaksa menunggu lama. Ada RS yang “membohongi peserta”
dengan katakata “jatah BPJS sudah habis”, “pemeriksaan ini tidak dijamin
BPJS”, atau “obat ini tidak masuk Fornas”. Padahal, JKN menjamin semua jenis
pengobatan. Peserta tidak boleh dipungut biaya ketika berobat karena peserta
sudah bayar iuran.
Dalam media sosial
beredar juga, entah benar atau hoax, kegundahan Presiden Jokowi atas layanan
diskriminatif peserta JKN di RS. Alasannya sama, bayaran JKN ke RS dan dokter
terlalu kecil. Mengapa iuran harus naik? Sejak awal, bayaran ke RS dan
dokter, khususnya yang swasta, memang jauh di bawah harga keekonomian.
Besaran tarif kapitasi dan CBG untuk fasilitas kesehatan swasta sama sekali
belum layak, belum sesuai dengan UU SJSN.
Inflasi saja selama
dua tahun sudah mencapai 12% lebih. Jika bayaran tidak dinaikkan, peserta
akan jadi korban. Semakin banyak peserta yang tidak dilayani dengan baik.
Rumah sakit dan dokter harus hidup layak. Mereka bukan lembaga amal, yang
harus menolong semua yang sakit. Negaralah yang harus hadir. Untuk menaikkan
bayaran ke fasilitas kesehatan, diperlukan kenaikan iuran. Itulah
gotong-royong.
Rakyat Tidak Mampu?
Data BPS menunjukkan di tahun 2013, sebelum JKN, rata-rata rumah tangga
membelanjakan Rp 24.169 per orang per bulan (POPB) untuk kesehatan, tetapi
belanja rokok mereka mencapai Rp 43.930 POPB. Kok beli rokok mampu? Pada
kelompok termiskin di tahun 2014, kelompok termiskin menghabiskan rata-rata
Rp6.006 POPB untuk rokok, tetapi hanya menghabiskan Rp853 untuk kesehatan.
Belanja rokok tujuh kali lebih banyak.
Selama 15 tahun
terakhir penduduk Indonesia menghabiskan uang untuk membeli rokok 2-3 kali
lebih banyak bila dibandingkan untuk biaya kesehatan. Percayakah kita bahwa
iuran JKN memberatkan? Di tahun 2016, hampir 70 juta pria Indonesia, umumnya
kepala rumah tangga, menghabiskan 1-2 bungkus rokok per hari dengan
menghabiskan Rp 360.000-720.000 per bulan. Mengapa iuran JKN yang cuma
Rp30.000 POPB memberatkan?
Iuran untuk keluarga
dengan dua anak hanya sepertiga belanja rokok sebulan. Dengan iuran sebesar
itu mereka dapat berobat kanker atau operasi jantung yang berbiaya Rp300
juta. Terlalu mahalkah Rp 30.000? Apa ukurannya? Dampak Keputusan Politik
Ternyata pendengaran Presiden cukup sensitif. Iuran kelas III pekerja bukan
penerima upah (PBPU) tidak dinaikkan. Apa dampaknya? Sudah barang tentu,
total penerimaan BPJS Kesehatan akan berkurang dari prediksi semula.
Selain itu, dapat
terjadi perpindahan pilihan peserta penerima upah (PPU) dan PBPU yang tadinya
memilih kelas II dan kelas I ke kelas III yang iurannya tetap pada Rp25.500.
Ada insentif baru, peserta yang membayar iuran kelas III dapat pindah kelas
ketika dia dirawat inap dengan membayar selisih biaya perawatan. Jika BPJS
Kesehatan lengah, bisa jadi PPU pindah. Hal itu tidak boleh terjadi, sebab
hal itu merupakan moral hazard peserta. Untuk mencegah hal itu, BPJS harus
mengembangkan sistem informasi yang baik.
Pembatalan kenaikan
iuran kelas III adalah keputusan politik. Padahal, besar kecilnya
uang—sebagai alat gotongroyong— haruslah keputusan teknis prinsip asuransi.
Begitu juga pembatasan upah untuk perhitungan iuran yang hanya Rp8 juta per
bulan merupakan keputusan politik. Dengan pembatasan tersebut, pekerja dengan
upah tinggi, misalnya Rp30 juta, mengiur sama dengan peserta yang mempunyai
upah Rp8 juta. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip gotongroyong luas dalam UU
SJSN.
Dampaknya adalah tidak
optimalnya penerimaan BPJS. Jika pemerintah menetapkan iuran lebih rendah
dari harga keekonomian, seharusnya pemerintah menyuntikkan dana ke BPJS.
Prinsip subsidi BBM tidak berbeda dengan subsidi iuran. Pada subsidi BBM,
ketika Pertamina menghitung, misalnya harga keekonomian solar Rp6.000 dan
pemerintah menetapkan harga jual solar Rp5.000, pemerintah mengucurkan
Rp1.000 ke Pertamina.
Seharusnya pemerintah
membayar iuran sesuai dengan harga keekonomian kepada BPJS dan BPJS membayar fasilitas
kesehatan dengan harga keekonomian. Apakah bayaran BPJS Kesehatan ke
fasilitas kesehatan sudah sesuai dengan harga keekonomian? Belum. Secara
makro, bayaran BPJS Kesehatan di tahun 2015 barulah sekitar 13- 15% dari
belanja kesehatan nasional. Padahal jumlah peserta JKN sudah mencakup 60%
penduduk.
Artinya, belanja
kesehatan bersama dari dana amanat seluruh peserta baru mencakup 25% dari
belanja seharusnya. Jangan heran jika layanan JKN masih jelek. Banyak peserta
yang “diakali” atau “dibohongi”. Apakah pejabat tinggi tidak tahu? Mereka
tahu. Sebab mereka mendapat jaminan kesehatan dengan iuran yang besar, yaitu
lebih dari Rp1.700.000 per pejabat per bulan. Premi asuransi kesehatan swasta
dengan jaminan kelas III dan tidak selengkap jaminan pada JKN tidak ada yang
di bawah Rp100.000 POPB. Ada kualitas ada harga.
Jadi jangan heran jika
RS mendahulukan pasien “umum” ketimbang pasien BPJS. Solusi Ada di Depan Mata
asal Mau. Solusi logis dan rasional ada di depan mata. Pemerintah dan BPJS
bisa melakukan kampanye mengurangi konsumsi rokok sepertiganya untuk membayar
iuran JKN. Dengan pengurangan itu, terjadi pergeseran dana sebesar Rp110
triliun. Tahun 2015 rakyat Indonesia membakar Rp330 triliun dengan
mengonsumsi rokok.
Dana pemerintah untuk
membayari iuran bagi 90 juta penduduk termiskin hanya sekitar Rp25 triliun.
Peserta PBPU umumnya juga perokok. Maka menaikkan harga dan cukai rokok akan
menaikkan pendapatan pemerintah. Dengan begitu, PBPU membayariuransecara
tidaklangsung. Kini, tingkat kolektabilitas PBPU hanya sedikit lebih dari
50%. Tidak ada bukti di dunia, sistem jaminan kesehatan dapat mengumpulkan
iuran langsung dari PBPU.
Untuk membayari iuran
JKN kepada 150 juta PBPU kelas II, Rp51.000 POPB, hanya dibutuhkan dana
Rp91,8 triliun. Tidak sampai 60% dana cukai rokok yang diterima tahun ini
yang ditargetkan hampir Rp140 triliun. Pemerintah Filipina mengucurkan 80%
dana cukai rokok untuk jaminan kesehatan rakyatnya. Mengapa Indonesia tidak
bisa? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar