Moratorium Sawit
Iman Santoso ;
Senior Terrestrial Policy
Advisor,
Conservation
International-Indonesia
|
KOMPAS, 20 April
2016
Presiden Joko Widodo pada Hari Hutan Internasional dan
Pencanangan Gerakan Nasional Penyelamatan Tumbuhan dan Satwa Liar di Pulau
Karya, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, menyatakan keinginannya
memoratorium pembukaan lahan baru untuk perkebunan sawit (Kompas, 15/4).
Keinginan ini, meskipun dinyatakan untuk menjawab keprihatinan
dunia akan kelestarian lingkungan, utamanya adalah untuk mendorong perbaikan
perkebunan kelapa sawit.
Sebagaimana beberapa laporan menyebutkan bahwa praktik
perkebunan kelapa sawit -baik perkebunan rakyat maupun milik perusahaan besar
swasta- masih mengandung beberapa kelemahan sehingga sebagian besar dari
mereka belum bersertifikat ISPO.
Di antara kelemahan-kelemahan yang sangat umum diketahui adalah
status lahan kebun yang belum jelas, pelanggaran penanaman di sepadan sungai,
tidak terpeliharanya areal yang bernilai konservasi tinggi, dan lain
sebagainya yang tentunya berakibat pada terganggunya kelestarian bentang alam
(landscape) di mana kebun-kebun
tersebut berada.
Situasi demikian juga terjadi pada investasi-investasi lain yang
berbasis lahan, seperti hutan tanaman industri dan pertambangan. Oleh karena
itu, instruksi presiden di atas merupakan instruksi yang logis, bukan
politis, dan bukan melulu karena tekanan masyarakat global. Situasi di kebun (on farm) adalah situasi domestik yang harus ditangani melalui
kebijakan nasional, tidak perlu menunggu tekanan global.
Pasar dan tata
ruang
Selain alasan-alasan logis di atas, moratorium izin baru
perkebunan kelapa sawit tentunya juga tidak terlepas dari isu-isu lain yang
patut diperhatikan. Terlepas dari
perdebatan mengenai manfaat industri kelapa sawit di satu sisi dan dampak
negatif jangka panjang di sisi lain, kita menyadari bahwa dalam perdagangan
internasional para pemain kelapa sawit Indonesia masih dalam posisi mengikuti
perkembangan harga pasar (price taker) meskipun Indonesia merupakan produsen
terbesar.
Pelaku bisnis kelapa sawit Indonesia kelihatannya tidak pernah
bisa menjadi penentu harga (price maker). Ini mungkin perlu dicari tahu kebenarannya,
dan bila benar, situasi ini tentu menjadi kelemahan para pebisnis Indonesia.
Oleh karena itu, campur tangan pemerintah sangat dibutuhkan untuk melihat
penyebab situasi ini secara jeli dan melakukan tindakan yang diperlukan
secara tepat.
Moratorium sangat tepat diberlakukan saat ini karena ada dua
alasan lain yang perlu mendapat perhatian untuk perbaikan ke depan. Pertama, dari sisi produktivitas lahan,
kebun-kebun yang ada masih belum mencapai tingkat produksi yang seharusnya
bisa dicapai. Beberapa sinyalemen
menyatakan bahwa kebun-kebun masyarakat yang saat ini mencapai luasan 3-4
juta hektar, produktivitas per satuan hektar per tahun baru mencapai 40
persen dari kapasitas yang seharusnya, sedangkan produktivitas yang sama pada
kebun perusahaan yang saat ini luasnya mencapai sekitar 7 juta hektar baru
mencapai 60 persen.
Kedua, kalau kita membicarakan sampai seberapa luas kebun kelapa
sawit akan kita bangun di Indonesia, tentunya kita harus mempunyai suatu
rencana alokasi penggunaan lahan yang optimal. Saat ini rasanya di tiap wilayah provinsi dan/atau
kabupaten/kota belum mempunyai rencana alokasi penggunaan lahan yang optimal
yang memberikan keuntungan ekonomi, sosial, dan lingkungan yang maksimal bagi
wilayah.
Provinsi atau kabupaten/kota belum menganalisis pemanfaatan yang
terbaik dan paling menguntungkan bagi kawasan budidaya yang ada dalam pola
ruang rencana tata ruang wilayah (RTRW) mereka. Optimalisasi penggunaan lahan budidaya
penting untuk mendapat kombinasi budidaya komoditas apa saja yang berdasarkan
kesesuaian lahan dan kecenderungan pasar/ ekonomi (trend) yang paling menguntungkan dalam jangka panjang, dan aman
untuk kelestarian landscape.
Moratorium diberlakukan pada lahan yang dalam pola ruang RTRW
berada di kawasan budidaya; dan sudah barang tentu pada kawasan lindung masih
diberlakukan kebijakan yang melarang untuk membangun kebun sawit di kategori
lahan ini. Moratorium juga sebaiknya
diberlakukan pada kawasan-kawasan yang masih berhutan maupun yang sudah tidak
berhutan.
Pengecualian
Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebagai pengecualian
dalam pelaksanaan moratorium. Sudah
barang tentu moratorium tidak berarti menangguhkan rencana perluasan tanaman
di dalam HGU yang sudah ada, karena secara hukum keberadaan HGU dengan
rencana bisnis telah sah ada sebelum kebijakan moratorium.
Moratorium juga tidak diberlakukan bagi kebun-kebun yang proses
perizinannya sudah dilengkapi dengan Amdal. Hal ini semata-mata untuk menjaga
konsistensi pemerintah dalam menjamin investasi yang sedang berjalan. Selain
itu moratorium tidak berlaku untuk lahan-lahan masyarakat yang tidak
berkonflik dengan pihak lain, yang berada di luar kawasan lindung yang masuk
ke dalam kategori areal penggunaan lain.
Hal ini bukan semata-mata karena konsekuensi sosialnya tinggi, tetapi
juga karena kebun-kebun ini bisa menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk
menjamin kepastian tenurial mereka.
Kebijakan moratorium bisa diakhiri bila kondisi tata kelola
perkebunan sawit telah baik. Perbaikan
ini merupakan resultante dari
membaiknya tata kelola sektor pemerintah, sektor pengusaha, dan
masyarakat.
Tata kelola yang baik tersebut diindikasikan, antara lain,
dengan tersedianya lahan yang optimal, terpenuhinya sertifikasi ISPO, naiknya
daya saing produk sawit Indonesia, dan tercapainya produktivitas yang
tinggi. Yang tak kalah penting adalah
bagaimana pemerintah bisa bersikap dan bertindak yang paling tepat untuk
ketelanjuran-ketelanjuran yang terjadi di lapangan, yang dikhawatirkan akan
mengganggu kelestarian landscape dan rendahnya daya saing produk sawit
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar