Menelisik Sumber Ketidakwarasan Negara
J Kristiadi ;
Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS, 19 April
2016
Perdebatan kasus Rumah
Sakit Sumber Waras, Jakarta, yang melibatkan Gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaja Purnama dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Harry Azhar Azis dapat
dijadikan langkah awal menelisik sumber ketidakwarasan negara dalam mengelola
kekuasaan. Penelusuran melalui sejarah filsafat politik terhadap fenomena
tersebut ditemukan dalam dialog Plato dengan teman diskusinya, Glaukon, dalam
dialog tentang Republik, Buku VI-X, terutama Bab VIII, sekitar abad ke-4
sebelum Masehi (penerjemah dan editor
Chris Emlyn-Jones dan William Preddy, Harvard University Press, 2013).
Kerumitan Plato dalam
menjelaskan audit forensik psiko-politik gerak hasrat kuasa dipaparkan dengan
baik sekali oleh Ito Prajna-Nugroho di majalah Basis, (Nomor 01-02, tahun
ke-65, 2016, halaman 22-28). Intinya, menurut Plato, siklus kekuasaan mulai
dari yang paling ideal, aristokrasi, sampai dengan kediktatoran yang lalim,
tirani, dan akan kembali ke tatanan semula, adalah pertautan antara gerak
jiwa yang menghidupkan struktur kekuasaan tersebut. Kesimpulannya, kualitas
moral dan hasrat manusia yang hidup dalam rezim tersebut menentukan tatanan
dan mutu tertib politiknya.
Dalam perspektif
makropolitik, pendapat umum hampir dapat dipastikan sepakat bahwa pengelolaan
negara dewasa ini mencerminkan gerak hasrat jiwa yang tidak sesuai dengan
kemuliaan kekuasaan. Penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi telah merusak,
mengorup, dan nyaris membangkrutkan negara.
Secara metafor, kasus
Rumah Sakit Sumber Waras sedang melakukan audit psiko-politik terhadap
kualitas moral dan gerak kesakitan dari hasrat para pemegang kekuasaan negara
di negeri ini. Panggung politik menampilkan pertarungan para hulubalang
negara yang mengungkapkan tarik-menarik antara hasrat jiwa yang didorong oleh
jiwa rasionalitas dan kebijakan (logistikon)
serta keberanian dan kehormatan (thumos),
berhadapan dengan hasrat jiwa yang didorong oleh epithumia (rendah, urusan di bawah perut). Pada setiap kubu pada
dasarnya melekat ketiga jenis hasrat tersebut.
Namun, melalui
pemberitaan media massa terbangun persepsi bahwa kubu yang satu, berbekal
hasrat logistikon dan thumos serta berpijak kepada data,
fakta, dan logika, dengan gagah berani membela diri secara ofensif. Sementara
itu terhadap kubu lain terbangun persepsi sebagai kelompok yang didominasi
oleh hasrat epithumia.
Persepsi publik
mendapatkan validasinya karena menurut survei yang dilakukan Charta Politika,
Maret 2016, dan beberapa survei dari lembaga sejenis, bahwa tingkat kesukaan
publik terhadap Basuki di atas 80 persen, sementara elektabilitasnya hampir
45 persen. Sosok lain dalam bursa Pilkada DKI Jakarta berada di bawah 10
persen. Oleh karena itu, gerak jiwa yang diekspresikan oleh Basuki memberikan
kesan bijak, harga diri tinggi, serta sangat percaya diri.
Sementara itu, sosok
Harry Azhar Azis, Ketua BPK, menanggung beban moral sangat berat karena
tuntutan bagi pegawai BPK sangat tinggi sebagaimana diekspresikan dalam moto:
Tri Dharma Arthasantosha. Lambang
Garuda dan cakra emas bermakna keluhuran dan keagungan BPK sebagai lembaga
tinggi negara. Adapun warna putih dan kelopak teratai adalah simbol kesucian,
kebersihan, dan kejujuran yang harus menjiwai setiap pegawai BPK.
Oleh karena itu,
tuntutan bagi pimpinan BPK adalah sosok ”setengah manusia, setengah
malaikat”. Tuntutan tingkat kesucian dan martabat yang sedemikian tinggi itu
membuat masyarakat secara kategoris mengharuskan sosok tersebut seperti itu
sangat harus menjaga martabat agar pantas dihormati publik.
Ibaratnya, wibawa yang
terpancar dari tokoh tersebut membuat orang merasa berdosa, bahkan kalau
hanya menduga yang bersangkutan melakukan sesuatu yang kurang terpuji. Oleh
karena itu, kalau tokoh yang dibayangkan mempunyai marwah dan martabat
selangit, misalnya, lupa menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara
negara, akan menjadi bulan-bulanan publik. Respons publik dapat menjadi liar,
contohnya ketika muncul berita yang bersangkutan masuk dalam daftar Panama
Papers yang menghebohkan, media massa dengan mudah merontokkan martabatnya.
Oleh karena itu, tokoh
semacam itu diharapkan pula cermat merespons media. Ketergesaan akan membuka
kotak pandora yang dikhawatirkan akan mengungkapkan hal-hal yang selama ini
kurang nyaman diketahui publik. Misalnya, pembelaan terhadap perusahaan
dengan cepat direspons oleh media dengan menampilkan namanya dan alamat
kantor lembaga negara di mana yang bersangkutan bertugas. Konflik kepentingan
terkuak, padahal kualitas hasrat yang bersangkutan mungkin tidak sesuram yang
dipersepsikan oleh publik. Kemungkinan pemahaman publik juga bias karena yang
bersangkutan tokoh partai politik, institusi yang mempunyai perilaku buruk di
mata publik.
Tentu saja gerak jiwa
dari kedua sosok tersebut masih sangat dinamis. Masyarakat juga ingin tahu
kualitas tokoh mana yang gerak jiwanya lebih kuat unsur logistikon dan thumos-nya
daripada hasrat epithumia-nya. Oleh
karena itu, bangsa ini tidak boleh membiarkan hasrat liar penguasa tanpa
kendali karena akan mengakibatkan runtuhnya bangunan struktur dan tatanan
politik kekuasaan yang hendak dibangun. Pendidikan hasrat menjadi agenda yang
sangat mendesak bagi calon pemegang kekuasaan agar tidak terjebak ke dalam
kubangan hasrat kuasa yang merusak tatanan peradaban politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar