Belajar dari Hafiz Cilik
Badrul Munir ;
Dokter Spesialis Syaraf RS
Saiful Anwar;
Dosen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya Malang
|
REPUBLIKA, 18 April
2016
Ada kebanggaan yang
ditoreh oleh hafiz cilik dari Indonesia dalam lomba Musabaqah Hifzil Quran
(MHQ) International di Sharm El-Sheikh, Mesir, Musa bin Laode Hanafi karena
berhasil menjuarai lomba sebagai peringkat ketiga dengan nilai hampir
sempurna. Hebatnya, usia Musa belum genap tujuh tahun, sementara 80 peserta
dari 60 negara rata-rata berumur di atas 11 tahun.
Hal ini menjadikan
Musa terasa istimewa dan banyak apresiasi yang didapat dari berbagai pihak,
termasuk dari Presiden Joko Widodo yang mengungkapkan kebanggaannya. Akan
tetapi, lebih dari itu, prestasi ini mengharumkan nama Indonesia di mata
negara-negara lain. Dunia kagum kepada warga Indonesia yang tidak bisa
berbahasa Arab, tetapi banyak memunculkan hafiz, termasuk ratusan hafiz cilik
seperti Musa.
Musa dan orang tuanya
memang berjuang keras untuk bisa menjadi hafiz Alquran. Upaya ini dirintis
bukan hanya saat masih kecil, melainkan saat Musa masih dalam kandungan.
Bapaknya sudah sering mendengarkan ayat Alquran yang dia baca sendiri atau
istrinya di depan anaknya yang masih dalam kandungan. Saat umur dua tahun,
sudah mulai diperkenalkan huruf Hijaiyah dalam bentuk menarik yang
ditempelkan di dinding atau tempat bermain Musa. Dan, saat usia tiga tahun
mulai diberi latihan menghafal Alquran. Usaha yang konsisten (bahkan dimulai
sejak jam 02.30 atau sebelum azan Subuh sampai menjelang tidur dengan pola
dan pendekatan belajar yang menyenangkan) serta lingkungan yang kondusif
menjadikan Musa berprestasi seperti sekarang ini.
Orang tuanya, Loode
Abu Hanafi dan Yulianti, bukan penghafal Alquran. Profesi sebagai guru ngaji,
penampilan yang bersahaja, dapat dilihat dari cara bicara dan berpakaian.
Bapaknya yang berjenggot dan ibunya yang memakai cadar seolah ingin
menjelaskan ke dunia luar bahwa tidak semua berpenampilan tersebut akan
berkonotasi negatif seperti teroris yang harus diburu oleh Densus 88
Antiteror, layaknya nasib Almarhum Siyono.
Tinjauan Neurosains
Kehebatan sang hafiz
Musa bila ditinjau dari ilmu neurosains cukup beralasan. Para ahli neurosains
dalam beberapa tahun terakhir mengungkap penemuan medis yang menerangkan
fenomena tersebut. Perlu kita ketahui bahwa di dalam otak anak yang baru
lahir terdapat sekitar 100 miliar sel otak (neuron) dan antarsel otak
dihubungankan dengan hubungan yang sangat istimewa yang bernama sinaps.
Sesungguhnya, saat bayi baru lahir, sinaps belum terbentuk secara sempurna
(sel otak masih polos). Neuron yang masih polos terletak di bagian otak di
permukaan. Bagian otak tersebut dalam bahasa kedokterannya diberi nama
korteks (lapisan luar otak). Korteks ini pada awalnya berwarna putih karena
masih belum terpapar oleh stimulus dari luar dan apabila sudah dewasa maka
korteks ini akan berupa menjadi warna keabuan (grey matter). Para ahli neurosain memperkirakan, paling tidak
terdapat 1.000 triliun sinaps yang
berkomunikasi terus menerus secara listrik, kimia, maupun yang
lainnya.
Pada saat lahir bayi
dan anak-anak apa pun paparan yang masuk ke dalam otak, baik yang melalui
pancaindra (penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan perasa) maupun
nonpancaindra akan mengubah struktur neuron dan sinaps di dalam korteks
menjadi sesuatu yang sesuai dengan stimulus didapat.
Stimulus yang terpapar
sejak lahir sampai dewasa dapat berupa apa yang dilihat, didengar, dan
dirasa, bahkan apa yang dimakan sehari-hari dan ini sangat berperan dalam
perilaku hidup sehari-hari. Maka, langkah terbaik adalah memberi stimulus
positif terhadap anak kita sejak dini. Dan, memberi lingkungan yang kondusif
dengan cara membiasakan diri dengan memberi pendidikan anak sedini mungkin
sangat diperlukan untuk membentuk korteks otak agar dibentuk pola struktur otak sempurna.
Bilamana sejak dari
bayi kita dibiasakan mendengarkan ayat suci Alquran dan bayi melihat sendiri
orang tuanya membaca Alquran setiap hari maka akan terbentuk memori permanen
di otak bayi tentang Alquran secara otomatis. Sehingga, dia akan lebih cepat
akrab dengan ayat Alquran. Dan, bila anak diberi pelajaran yang baik tentang
membaca dan menghafal Alquran maka dia akan dengan mudah menjadi penghafal
(hafiz) seperti Musa ini.
Maka, prestasi anak,
menurut tinjauan neorsains, sangat dipengaruhi arahan dan lingkungan yang
diberikan dari orang tuanya. Selain Musa, beberapa waktu yang lalu kita
dibuat terpesona oleh Joey Alexander sang pianis muda yang mengharumkan nama
Indonesia di ajang Grammy Awards 2016 di Microsoft Theater, Los Angeles,
Amerika Serikat.
Lingkungan yang kondusif
Namun, dalam kehidupan
zaman sekarang, memberi lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak
sesuatu yang sangat sulit. Pengaruh media informasi dan lingkungan keseharian
anak begitu kompleks dan sulit dikendalikan. Kalau zaman dahulu hanya
televise, sekarang media informasi semakin canggih; smartphone dan game
(termasuk game online) sudah identik dengan kehidupan anak-anak zaman
sekarang. Apalagi, kesibukan orang tuanya yang bekerja dan berkarier di luar
rumah kadang menyita waktu untuk berinteraksi dengan anak-anaknya secara
proporsional.
Akibatnya, akan ada
dampak negatif yang akan mengancam anak, mulai dari dampak pornografi dan
pornoaksi, kekerasanan seksual, sampai perilaku kekerasan, ancaman narkoba,
serta kesantunan yang mulai luntur. Maka, tantangan bagi kita sebagai orang
tua adalah membentuk anak dengan memberikan stimulus dan lingkungan yang
"terbaik" agar tumbuh menjadi anak yang sholeh-sholehah, seperti
hafiz cilik Musa. Semoga, ke depan, banyak lagi Musa-Musa baru yang bukan
hanya mengharumkan bangsa Indonesia di dunia, melainkan lebih dari itu,
mereka adalah anak yang baik yang menjadi generasi penerus dan menjadi amal
jariyah bagi orang tuanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar