Menata Pemasaran Beras
M Husein Sawit ;
Analis Kebijakan pada Center
for Agriculture and People Support
|
KOMPAS, 09 April
2016
Harian ini
memberitakan tentang jalur pemasaran beras yang panjang, banyak pedagang yang
terlibat, sehingga petani menerima harga gabah rendah dan konsumen harus
membayar harga beras tinggi (Kompas,
29/2).
Pelaku pemasaran
dianggap sumber masalah yang membuat harga beras bergejolak karena terlalu
besar mengambil keuntungan. Karena itu, rantai pemasaran perlu diperpendek
dan pelakunya dikurangi (Kompas, 1/3).
Masyarakat awam
umumnya berpikir, semakin pendek jalur pemasaran pangan, semakin baik buat
produsen dan konsumen. Demikian juga, semakin sedikit pedagang perantara yang
terlibat, semakin bagus buat produsen dan konsumen.
Seharusnya, dilakukan
analisis secara jernih, dilihat fungsi dan peran mereka masing-masing dalam
proses pemasaran gabah/beras. Jangan membandingkan panjang usus sapi dengan
usus harimau. Makanan ternak itu berbeda: rumput lawan daging. Maksudnya,
jalur pemasaran pangan di negara berkembang memang lebih panjang,dan jangan
disandingkan dengan sepatu.
Benar, ada sejumlah
pelaku tak berperan apa pun dalam pemasaran gabah/beras, tetapi mendapatkan
keuntungan. Misalnya di Jawa Barat, setiap pedagang yang mengangkut gabah ke
luar desa ”dipalak” oknum pemuda desa Rp 60-Rp 100 per kg. Para pedagang
beras juga harus membayar sejumlah kutipan tak resmi di banyakpasar grosir
dan pasar eceran. Juga sejumlah kutipan tidak resmi pengangkutan gabah/beras
dari produsen ke penggilingan padi (PP)/pasar.
Ada dua tahapan yang
perlu dipetakan tentang arus pemasaran beras nasional. Pertama, aliran gabah
dari petani ke PP serta proses jadi beras. Kedua, aliran beras dari PP ke
konsumen. Beras diproduksi oleh 182.000 unit PP, pangsa PP kecil (PPK) 94
persen yang banyak melibatkan usaha kecil menengah. Penggilingan padi besar
(PPB) hanya 1 persen atau 10 persen dari total kapasitas giling.Semakin
dominan jumlah PPK, semakin tinggi biaya produksi beras, hal sebaliknya pada
PPB.
PPB kian berperan
memenuhi perubahan permintaan konsumen urban yang terus berkembang. Satu
penelitian mengungkapkan perubahan permintaan, pertumbuhan permintaan beras
premium 11 persen per tahun dan semakin membesar pangsa pasarnya, ditaksir 38
persen. Pangsa pasar ini janganlah dibiarkan untuk direbut oleh beras impor
di era pasar tunggal ASEAN. Sebaliknya, pangsa pasar beras medium tumbuh
hanya 9 persen per tahun, dengan porsi semakin kecil, sekarang tinggal 21
persen.
Perdagangan gabah
Petani padi umumnya
petani berlahan sempit. Jumlahnya banyak, dengan luas areal sawah kurang dari
0,5 hektar, tanpa akses jalan, hanya pematang sawah yang sempit. Mereka
memerlukan pedagang perantara berbagai tingkatan dengan berbagai sebutan:
penebas, pengepul, bakul, atau lainnya. Mereka menjembatani kepentingan
petani dengan PP, berjasa sebagai pengumpul, pemisah/pembersih, pengangkut,
yang di sanalah terlibat biaya dan keuntungan.
Jalur pemasaran gabah
petani ke PPB umumnya lebih ringkas. Walau PP ”mengirim” petugasnya ke
lapangan untuk mencari gabah, mereka harus bekerja sama dengan pendagang
setempat. Pedagang lokal ini sangat paham kualitas dan jenis gabah yang
tersedia. Dengan keahliannya, PPB ”lebih terjamin” mendapatkan gabah
berkualitas sesuai varietas gabah yang diinginkan. Mereka menjalin kerja sama
lama dan saling percaya. Jika semua aktivitas mau dikerjakan sendiri oleh
PPB, ongkos perolehan gabah menjadi lebih mahal, risiko kualitas menjadi
tinggi, spesialisasi akan buyar. Oleh karena itu, fungsi pedagang lokal
(berbagai tingkatan dan spesialisasi) sangat diperlukan dalam alur pemasaran
gabah petani.
Perdagangan beras
PP mengolah gabah jadi
beras, menambah nilai, termasuk hasil ikutannya (sekam, katul, menir) sesuai
alat/mesin/teknologinya. PPK umumnya menghasilkan beras medium, sebagian
besar dipasarkan ke Bulog. Mereka juga menjual ”beras kualitas asalan”ke PPB,
selanjutnya diolah untuk jadi beras berkualitas. Sedikit sekali PPK mampu
memasarkan beras ke pasar grosir atau antar- pulau, jaringan pemasaran beras
medium terbatas, juga modal.
Tentu saja PPK berbeda
dengan PPB, produsen beras berkualitas dan bermerek itu. Umumnya, PPB
memiliki pengeringan mekanis, dan punya silo untuk menyimpan gabah. Dengan
kekuatan modal dan teknologi, mereka memerlukan gabah dalam jumlah banyak
agar dapat menggiling sepanjang tahun untuk memenuhi kebutuhan langganan dan
kapasitas gilingnya.
Hasil survei BPS,
ternyata peran pedagang beras tidaklah seburuk seperti yang diduga semula.
Survei Poldis BPS (2015) mengungkapkan: margin perdagangan dan pengangkutan
beras hanya 10,42 persen, terendah di antara lima komoditas strategis, margin
tertinggi ternyata jagung pipilan (31,90 persen). Margin 10,42 persen itu
bukanlah keuntungan para pedagang, tetapi di dalamnya mencakup biaya seperti
pengumpulan, sortasi, dan penyimpanan, susut dan turun mutu serta beban bunga
bank, di samping keuntungan tentunya.
Kalau begitu,
intervensi pemerintah seharusnya di mana? Pertama, segera berantas berbagai
kutipan yang tidak berperan sedikit pun dalam pemasaran gabah dan beras.
Kedua, galakkan
penerapan mekanisasi untuk atasi kelangkaan tenaga kerja, khususnya combine harvester untuk panen padi.
Alat mesin pertanian (alsintan) ini mampu mengangkat kualitas dan harga
gabah, mengurangi biaya panen, dan menurunkan biaya pemasaran. Alsintan
inilah seharusnya diperluas sehingga tersedia melalui kelompok tani atau koperasi
yang kuat.
Ketiga, sinergikan PPK
dengan PPB, yang akan berdampak positif terhadap harga gabah petani dan biaya
pemasaran beras. Banyak penelitian menyarankan agar PPK fokus pada produksi
beras pecah kulit, selanjutnya diolah PPB. Pada saat yang sama, pemerintah
meregulasi PPB berkewajiban menyetor beras premium dalam persentase tertentu
(misalnya 5 persen) untuk memperkuat cadangan beras pemerintah (CBP). Sejak
lama, kualitas CBP rendah, yaitu beras medium, dan ketahanan CBP hanya cukup
untuk empat hari kebutuhan, bandingkan dengan BBM 30 hari. Dengan menguasai
CBP yang cukup jumlah dan kualitasnya, operasi pasar akan lebih efektif dan
bisa tampil dalam bantuan pangan internasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar