Kejahatan, Penjara, dan Kita
Thomas Sunaryo ;
Kriminolog; Pengajar
Pascasarjana Multi-Disiplin UI;
Pernah menjadi Penasihat Ahli
Persatuan Narapidana Indonesia
|
KOMPAS, 09 April
2016
Dalam sejumlah kongres
PBB yang membahas tentang pencegahan kejahatan dan pembinaan pelanggar hukum,
selalu direkomendasikan agar negara-negara peserta mengantisipasi
perubahan-perubahan sosial, ekonomi, dan politik terkait pembangunan di
negara bersangkutan yang mendorong peningkatan kejahatan.
Jepang adalah salah
satu negara yang berhasil menekan laju kejahatan. Tak heran jika beberapa
tahun lalu Jepang membatalkan atau menunda pembangunan sebuah penjara karena
jumlah kejahatan di negeri itu menurun.
Pemasyarakatan
Kehidupan di penjara
merupakan suatu kehidupan yang tidak ”wajar”. Suatu kehidupan yang merupakan
antitesis terhadap prinsip-prinsip kebebasan memilih dalam suatu masyarakat
bebas. Dalam situasi yang demikian, kecenderungan akan adanya konflik
antar-narapidana serta dengan para petugas dan lingkungannya tak dapat
dihindari. Lebih-lebih kalau kondisi-kondisi di tempat pemidanaan itu menjadi
lebih buruk.
Penjara yang tampak
tenteram dari luar sebenarnya menyelubungi tragedi-tragedi kemanusiaan dalam
dimensi-dimensi yang lebih mencekam dari apa yang tampak dari luar sebagai
insiden-insiden yang meresahkan, seperti pelarian dan kerusuhan. Baik
pelarian-pelarian itu berupa pelarian fisik maupun pelarian mental dalam
wujud tingkah laku para narapidana yang menghayalkan kehidupan di luar
penjara. Persoalan lebih jauh muncul jika pembinaan diberikan dengan cara
perkiraan saja dan tidak sesuai kebutuhan yang dapat menambah pengetahuan dan
keterampilan narapidana bersangkutan.
Menghadapi persoalan
di atas, konsentrasi, studi, dan kebijakan dalam pelanggar hukum banyak
ditujukan ke arah penyempurnaan sistem kepenjaraan yang lebih manusiawi. Di
Indonesia, pembinaan narapidana dikembangkan melalui konsep pemasyarakatan
yang dicanangkan Dr Sahardjo, 53 tahun lalu.
Konsepsi
pemasyarakatan tak berfokus pada balas dendam, tetapi pada ”kesatuan
hubungan” antarmanusia. Dengan demikian, proses reintegrasi sosial narapidana
menyangkut penyesuai menyeluruh dari masyarakat.
Pernyataan Sahardjo
bahwa ”Negara tidak berhak membuat seseorang lebih jahat atau lebih buruk
daripada sebelum ia dipenjarakan” menjadi salah satu pedoman dalam visi
pemasyarakatan. Kalimat ini, jika dikaji, menyiratkan dimensi-dimensi
pemikiran baru. Bukan saja di bidang pemasyarakatan, juga di bidang peradilan
pidana dalam pencegahan dan pengurangan kejahatan ataupun dalam penegakan
hukum dan keadilan.
Problem nasional
Di Indonesia, tindak
kriminal meningkat pesat setelah krisis moneter 1997-1998. Kini, jumlah
penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) di
Indonesia over-kapasitas, diwarnai dengan 50-60 persen jumlah penghuninya
adalah pengguna narkoba. Ironisnya, di lapas juga tidak bebas dari peredaran
narkotika.
Lapas yang tadinya
dihuni pencuri, penipu, perampok, pemerkosa, atau pembunuh, kini ditempati
juga oleh pemakai, kurir, pengedar, bandar narkoba, penjudi, bandar judi,
pelawak, aktor, koruptor, dan teroris. Juga dihuni orang-orang yang punya
profesionalisme dan kompetensi tinggi, seperti bekas pejabat negara, direksi
bank, intelektual, profesional, bankir, pengusaha, bahkan eks hakim. Penghuni
lapas pun bervariasi tingkat pendidikannya: dari yang ”buta huruf” sampai
doktor dan profesor. Begitu pun usia: dari 18 tahun sampai di atas 70 tahun.
Lama hukuman pun dari yang tiga bulan sampai hukuman mati. Juga ada narapidana
warga negara asing.
Spektrum penghuni yang
sangat luas ini menyebabkan pengelolaan lapas pun menjadi kompleks dan
memerlukan penyesuaian atau perubahan yang komprehensif. Tak hanya berkisar
pada alasan keterbatasan sarana dan dana sebagai penyebab pemasyarakatan
berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan, juga kreativitas sipir yang
”terpenjara” oleh rutinitas pekerjaan. Persoalan dampak psikologis dalam
”dunia kecil” buatan manusia itu tak hanya dialami narapidana, tetapi juga
berpengaruh terhadap ”mentalitas” sipir: muncul sikap ”makin banyak penghuni
lapas, makin banyak memperoleh uang”.
Sebagai contoh,
haruskah ketiadaan dana di lapas mengakibatkan ”pengebirian” hak-hak
narapidana, seperti cuti mengunjungi keluarga, asimilasi, cuti menjelang
bebas, dan pembebasan bersyarat? Supaya memperoleh pembebasan bersyarat,
narapidana harus mengeluarkan biaya sendiri, mulai dari penyiapan jaminan
keluarga (diketahui RT/RW dan lurah), inspeksi balai pemasyarakatan ke rumah
penjamin, surat kelakuan baik di lapas, surat keterangan kesehatan,
pelaksanaan sidang, eksekusi oleh kejaksaan negeri setempat, dan seluruh
biaya ”tetek-bengek” yang lazim di Indonesia.
Dengan proses ”normal”
seperti itu saja, pengurusan pembebasan bersyarat di sekitar Jabodetabek sekarang
ini biayanya Rp 4 juta-Rp 6 juta. Dengan demikian, narapidana yang memperoleh
fasilitas ini hanya mereka yang bisa menyediakan biaya sebesar itu. Tidak
punya uang, jangan harap bisa dapat pembebasan bersyarat.
Pemberian hak-hak
narapidana secara otomatis sebenarnya salah satu cara pengurangan jumlah
penghuni. Sementara itu, ketidaktersediaan data rata-rata hukuman, masa
penahanan, menyebabkan kita tak bisa membuat kurva jumlah narapidana dan masa
penahanan, menumpuk pada hukuman mana, sehingga gini ratio tidak bisa
dihitung (hukuman terhadap remisi). Kalaupun dipaksakan, hasil yang diperoleh
tidak bisa dipertanggungjawabkan secara statistik.
Data pelanggar pidana
berulang, sudah masuk penjara lalu masuk lagi (residivis), juga tak tersedia.
Dengan demikian, sejauh mana penjara bisa ”mengubah” perilaku narapidana tak
bisa dibuktikan. Asumsinya, jumlah pelanggaran pidana (pencurian) berkorelasi
positif dengan tingkat pengangguran (kesulitan ekonomi keluarga). Oleh karena
itu, sekalipun pelaku sudah dipenjarakan, ketika ia keluar dari penjara
tetapi realitas sosial masih seperti sebelumnya, maka kondisi itu akan
mendorong eks napi kembali melanggar hukum. Di sinilah letak pentingnya
ilmu-ilmu sosial yang lain.
Dalam Standard Minimum Rules for The Treatment
of Prisoners PBB yang telah diratifikasi, pada butir tentang personel
penjara antara lain dinyatakan, pertama, administrasi lembaga pemasyarakatan
harus mempersiapkan pemilihan yang cermat setiap tingkat personel. Hal ini
karena pengurusan penjara yang tepat bergantung pada integritas, kemanusiaan,
kemampuan profesional, dan kecocokan pribadi mereka dalam pekerjaan.
Kedua, sejauh mungkin
personel penjara harus mencakup sejumlah ahli yang cukup, seperti ahli
psikiatri, ahli psikologi, pekerja sosial, guru dan instruktur perdagangan.
Ketiga, personel harus
memiliki tingkah laku yang baik, efisien dan kemampuan jasmani. Gaji harus
memadai untuk pekerjaan yang membutuhkan keahlian.
Sepengetahuan saya,
kebanyakan petugas pemasyarakatan memperoleh pengetahuan tentang ”pemasyarakatan”
hanya ketika menjadi taruna di Akademi Ilmu Pemasyarakatan (sekarang
Politeknik Ilmu Pemasyarakatan). Itulah beberapa contoh soal yang perlu
dipahami dan dipecahkan bersama.
Keluar dari ketertutupan
Berhasil tidaknya
konsepsi pemasyarakatan bergantung pada adanya kerja sama baik dari instansi
pemerintah lainnya maupun masyarakat. Di Inggris, dalam UU Pendidikan (The Education Act, 1944), Menteri
Pendidikan diberi wewenang untuk mewajibkan kantor pendidikan setempat
melaksanakan program-program pendidikan pada narapidana. Selain itu, tahun
1910, telah dibentuk badan yang bernama Departemental
Committee on the Supply of Books to Prisons, yang memberikan buku-buku
yang sesuai dengan kebutuhan pembinaan narapidana.
Sejauh mana masyarakat
dapat diajak berpartisipasi dalam pembinaan narapidana bergantung pada
legitimasi terhadap pemasyarakatan. Ini dapat terjadi kalau hukum pidana,
baik yang substantif maupun yang prosedural, diorientasikan ke tengah
masyarakat, dalam arti paling sedikit sanksi pidananya harus diorientasikan
dalam orbit yang societal dan tidak custodial seperti sekarang ini.
Sistem nilai yang
bertentangan, organisasi dan kebijakan yang tidak secara eksplisit merupakan
pencerminan dari adanya konsepsi yang baru, sarana yang tak memadai, telah
melembaganya nilai-nilai lama yang kontradiktif, perundang-undangan yang
ketinggalan zaman, merupakan sebab-musabab kelambanan dalam pemberian bentuk
konsepsi baru pemasyarakatan. Legitimasi terhadap adanya cara-cara yang baru
itu tidak jatuh begitu saja dari langit, tetapi harus diusahakan oleh
instansi yang paling bersangkutan dengan pelaksanaan cita-cita itu (institusi
pemasyarakatan) sesuai prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (good governance). Ini dimungkinkan
kalau instansi itu keluar dari ketertutupannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar