BUMN Pengelola Migas Nasional
Marwan Batubara ;
Direktur Indonesian Resources
Studies (IRESS)
|
KORAN SINDO, 09 April
2016
Pada (20/1) lalu
pemerintah dan DPR telah sepakat rancangan undang-undang (RUU) minyak dan gas
(migas) merupakan salah satu dari 40 RUU dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) Prioritas2016.
RUU Migas menjadi RUU
inisiatif bersama oleh pemerintah dan DPR dengan target selesai 2016. Hal-hal
konstitusional berupa penguasaan negara dan monetisasi cadangan terbukti, relevan
diadvokasi bagi Undang-Undang (UU) Migas baru. Konstitusi mengamanatkan
negara harus berdaulat atas kekayaan migas.
Sesuai Pasal 33 UUD
1945, bentuk kedaulatan dan penguasaan negara tersebut diwujudkan melalui
lima aspek yakni; membuat kebijakan oleh pemerintah, mengurus atau
menerbitkan izin (pemerintah), mengatur berupa membuat undang-undang dan
peraturan (pemerintah dan DPR), mengelola (oleh BUMN), dan mengawasi
(pemerintah dan DPR).
Dengan skema
penguasaan negara yang demikian, sumber daya alam (SDA) migas akan memberi
manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengelolaan migas oleh badan
usaha milik negara (BUMN) merupakan bagian penting dari penguasaan negara dan
harus diatur UU Migas. Dengan mengelola sumber daya migas, BUMN diberi hak
istimewa (privilege) memonetisasi cadangan terbukti migas.
Pemberian privilese
tersebut harus diiringi dengan perbaikan tata kelola korporasi. Tulisan ini
membahas peran penguasaan dan monetisasi aset migas oleh BUMN, serta peran/
fungsi BUMN itu sendiri secara khusus dalam UU Migas. Penguasaan negara atas
kekayaan migas perlu ditata ulang karena pengaturan dalam UU Migas No.22/2001
sangat liberal.
Sesuai putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) No.36/2012, terdapat 14 pasal UU Migas yang
inkonstitusional. Dominasi pengelolaan hulu migas oleh BUMN atau national oil
company (NOC) cukup rendah, sekitar 20%. Pertamina tidak berperan sebagai
tuan di negara sendiri, sebagaimana berlaku bagi NOC negara lain yang porsi
produksi domestiknya besar.
Seperti misalnya Brasil
81%, Aljazair 78%, Norwegia 58%, dan Malaysia 47%. Penguasaan Pertamina yang
rendah ini mengancam ketahanan energi. Berlakunya UU No.22/2001 membuat hak
eksklusif BUMN mengelola migas dalam UU No.44 Prp/1960 dan UU No.8/ 1971
hilang. Pengelolaan migas beralih kepada kontraktor asing melalui BP/SKK
Migas.
Para kontraktor
membuat kontrak dengan BP/SKK Migas. Sementara BP/SKK Migas hanya badan hukum
milik negara (BHMN), bukanlah badan usaha yang mampu mengelola dan
memonetisasi aset, sehingga kekayaan migas tidak termanfaatkan dan
termonetisasi secara optimal. Agar konsisten dengan Pasal 33 UUD 1945,
pengelolaan migas hanya oleh BUMN harus tercantum dalam UU Migas baru.
Skema pengelolaan oleh
BHMN sebagaimana dijalankan SKK Migas saat ini harus diakhiri. Tidak ada
alternatif lain, lembaga pengelola tersebut harus berbentuk BUMN. Karena
telah ada Pertamina, maka tidak relevan membentuk BUMN baru atau mengubah SKK
Migas menjadi BUMN.
Fungsi kontraktual dan
pengawasan oleh SKK Migas saat ini dapat dialihkan pada Pertamina dengan
membentuk direktorat atau divisi baru, misalnya production sharing contract
(PSC) management, di bawah satu korporasi/ holding Pertamina. BUMN energi
Indonesia saat ini tersegmentasi, sehingga berdampak pada rendahnya
pendapatan dan kapasitas investasi.
Pada 2014, Pertamina
hanya membukukan pendapatan USD71 miliar, jauh lebih kecil dibanding
ExxonMobil (USD365 miliar), Shell (USD421 miliar), British Petroleum (BP)
(USD354 miliar), Petrobras (USD144 miliar) dan Petronas (USD101 miliar).
Begitu juga dengan laba Pertamina yang hanya USD1,5 miliar, jauh tertinggal
dibanding Exxon Mobil (USD32,5 miliar), Shell (USD14,7 miliar), Petrobras
(USD7,5 miliar), dan Petronas (US$ 14,3 miliar).
Kondisi tidak akan
membaik jika membentuk BUMN baru. Karenaitu, yang dibutuhkan adalah sinergi
atau holding BUMN energi. Apalagi, pertimbangan MK ketika membubarkan BP
Migas pada 2012 adalah agar pembentukan organisasi negara disusun berdasar
rasionalitas birokrasi yang efisien dan menghindari peluang penyalahgunaan
kekuasaan. Membentuk BUMN baru justru berpotensi menimbulkan inefisiensi.
Selanjutnya, mengingat
aset cadangan terbukti migas selama ini belum dimonetisasi secara optimal,
terutama karena SKK Migas berbentuk BHMN, maka dalam UU Migas baru perlu pula
diatur lembaga yang berperan sebagai kustodian aset migas (kustodian,
berperan menyimpan dan menjaga). Sejalan dengan pengelolaan migas harus di
tangan BUMN maka perlu ditetapkan agar BUMNlah yang berfungsi sebagai
kustodian cadangan terbukti migas nasional.
Konstitusi telah
merancang BUMN mengelola aset migas agar dapat dimonetisasi dan digunakan
untuk berbagai aksi korporasi. Monetisasi aset melalui hak kustodian cadangan
migas akan menjadi leverage bagi BUMN tumbuh berkembang guna meningkatkan
pendapatan dan keuntungan, serta membangun infrastruktur energi dan
mengakuisisi cadangan terbukti.
Dalam praktiknya,
sebagai kustodian Pertamina dapat membukukan pendapatan bagian Pemerintah
dari first trench petroleum (FTP) dan equity to split (ETS) sebagai
pendapatan korporasi. Dengan itu, menurut WoodMac, terjadi peningkatan profil
korporasi sebagai berikut berdasarkan data 2014; cadangan terbukti naik dari
1,3 miliar barrel oil equivalent (MBOE) menjadi 4 MBOE, produksi naik dari
517 million barrel oil equivalent per day (mboepd) menjadi 1200-2000 mboepd,
pendapatan naik dari USD71 miliar menjadi USD 100-110 miliar, dan laba naik
dari USD2 miliar jadi USD 15-20 miliar.
Dengan begitu,
kemampuan investasi Pertamina meningkat dari USD 2-7 miliar menjadi USD 10-15
miliar yang berguna meningkatkan cadangan terbukti dan produksi migas. Selain
tentang aspek pengelolaan dan kustodian, maka UU Migas baru harus memuat
peraturan tentang peran, fungsi dan GCG dari BUMN itu sendiri.
Sesuai Pasal 33 UUD
1945, pemberian privilese pada BUMN adalah agar penguasaan negara
dipertahankan guna mencapai manfaat bagi sebesar- besar kemakmuran rakyat.
Hanya dengan penguasaan negara melalui BUMN-lah manfaat bagi sebesar-besar
kemakmuran rakyat dapat dicapai. Namun, UU BUMN No.19/ 2003 menetapkan BUMN
adalah salah satu pelaku dalam perekonomian nasional sesuai demokrasi
ekonomi.
Ketentuan ini telah
mendegradasi BUMN dari perusahaan untuk dan atas nama daulat rakyat menjadi
pelaku bisnis biasa, sama dengan swasta. Hal ini bertentangan dengan
konstitusi bahwa BUMN bukan sekadar unit usaha biasa, melainkan wakil negara
yang berperan menyelenggarakan perekonomian guna kesejahteraan rakyat. Oleh
sebab itu, dalam menjalankan fungsi pengelolaan, Pertamina tidak boleh tunduk
pada UU BUMN No.19/2003.
UU Migas perlu memuat
ketentuan khusus (lex specialist) pelaksanaan bisnis/fungsi Pertamina, yang
berhak didahulukan (voorrecht) dalam mengelola objek produksi yang harus
dikuasai negara. BUMN ini berbeda dengan swasta yang hanya memikirkan nasib
privatnya. Sementara BUMN akibat mandat daulat rakyat, suplemen kekuasaan mengakselerasi
capaian tujuan negara, berperan untuk memikirkan nasib sebesar besarnya
kemakmuran rakyat.
BUMN migas perlu pula
dikelola sesuai prinsip tata kelola korporasi yang baik (good corporate
governance/GCG), terutama guna mencegah terjadinya KKN seperti masa lalu oleh
intervensi eksternal, sekaligus juga untuk menciptakan perusahaan yang bersih
dan transparan. Tetapi sahamnya harus dikuasai secara penuh oleh negara,
tanpa penawaran umum (initial public
offering/IPO).
Untuk itu, dalam UU
Migas baru, Pertamina perlu ditetapkan sebagai non-listed public company (NLPC), yakni perusahaan yang terdaftar
di bursa, terbuka bagi publik namun 100% sahamnya tetap dimiliki oleh negara.
Disimpulkan bahwa sebagai bagian dari advokasi untuk UU Migas baru yang lebih
baik dan konstitusional, diusulkan agar penguasaan negara atas migas
diwujudkan melalui pengelolaan oleh BUMN.
Selain itu, Pertamina
berperan sebagai kustodian aset migas, dan fungsi dan perannya diatur secara
khusus (lex specialist) dalam UU
migas, tidak tunduk pada UU BUMN yang ada, dan berstatus sebagai NLPC. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar