Jerman dan Sekolah Kejuruan
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 20 April
2016
Minggu ini Presiden Joko Widodo memulai kunjungan kerjanya di
Eropa, mengunjungi Jerman, Inggris, Belgia, dan Belanda serta menjumpai
sejumlah pejabat Uni Eropa( Presiden Dewan Eropa Donald Franciszek Tusk,
Ketua Parlemen Eropa Martin Schulz, dan Komisi Eropa Jean- Claude Juncker).
Selain kerja sama ekonomi dan investasi, agenda yang diusung
adalah pendidikan. Indonesia menunjukkan minat untuk meninjau sistem
pendidikan kejuruan di Jerman. Duta Besar Indonesia untuk Jerman Fauzi Bowo
memuji sistem kejuruan di Jerman yang berpusat pada pengembangan keterampilan
di mana sektor swastabermitra untukmendanai sekolah.
Sementara Menteri Luar Negeri Retno Marsudi melihat pengembangan
sekolah kejuruan sebagai cara baik memanfaatkan bonus demografi pada era
Masyarakat Ekonomi ASEAN yang menuntut kedinamisan generasi muda. Perhatian
pada pengembangan pendidikan di Indonesia patut dihargai. Hal ini mengingat
bahwa salah satu kekurangan dalam kebijakan ekonomi kita masa lalu adalah
penyelarasan penyelenggaraan pendidikan dengan kondisi ketenagakerjaan dan
kegiatan perekonomian.
Kegiatan sekolah dan kampus belum terhubung dengan rantai
produksi perekonomian. Siswa dan mahasiswa harus mencari-cari sendiri tips
untuk sukses menembus pasar kerja. Mereka yang jauh dari akses informasi
bahkan lebih sering berasumsi tentang apa itu dunia pekerjaan dan apa yang
seharusnya diterima ketika ia magang. Di Jerman sistem sekolah kejuruannya
memang dirancang sebagai opsi yang sama baiknya dengan berkuliah. Masa studi
di sekolah kejuruan pun antara dua sampai tiga setengah tahun; ada teori dan
ada praktiknya.
Bedanya bahwa dengan masuk sekolah kejuruan, ada nilai tambah
berupa keterampilan praktis yang langsung bisa dipakai di dunia kerja, dan di
dunia kerja pun mereka langsung bisa masuk jalur karier yang terjamin. Sistem
jaminan sosial mereka pun menjamin standar kerja yang layak bagi para lulusan
sekolah kejuruan ini. Sementaraduniakuliahlebih disukai mereka yang
bercita-cita menjadi pemikir, pengajar, dan ilmuwan. Jadi, masing-masing
punya kelebihan.
Hal ini berbeda dengan kondisi di Tanah Air, di mana sekolah
kejuruan sudah terlalu lama dipandang sebagai alternatif murah dan cepat
mendapatkan ijazah supaya bisa langsung bekerja. Meski jumlah sekolah
menengah kejuruan (SMK) digenjot untuk ditambah terus oleh pemerintah, citra
yang melekat pada sekolah kejuruan adalah lulusan tanpa gelar sarjana dan
biasanya (maaf) dicari oleh kalangan kurang mampu.
Kemitraan dengan dunia swasta di sekolah kejuruan juga bukan hal
asing. Di Indonesia sejumlah kemitraan bilateral dengan negara sahabat sudah
“dibumbui” program capacity building dan pelatihan, di mana pebisnis dari
negara sahabat diwajibkan menularkan ilmu pada siswa-siswa SMK. Namun,
sejumlah penelitian dan laporan menunjukkan bahwa hasilnya masih jauh dari
optimal. Jenis pelatihan yang diberikan terlalu dasar sehingga tidak menjamin
keterampilan peserta dan peralatan di sekolah juga belum memadai untuk bisa
secara kontinu melanjutkan pelatihan.
Di sisi lain, bangku perkuliahan di Indonesia juga tidak
menjamin seseorang menjadi pemikir, pengajar, dan ilmuwan yang andal meskipun
indeks prestasi kumulatifnya (IPK) tinggi. Sebuah tulisan menyebutkan bahwa
misalnya di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, pada periode 19 Mei
2015 mewisuda 1.750 lulusan program sarjana dan diploma yang sepertiga di antaranya
meraih predikat cum-laude; artinya
IPK-nya di atas 3,5.
Di Universitas Indonesia (UI) juga muncul perbincangan di
kalangan dosen bahwa jarang ditemukan siswa yang IPK-nya di bawah 3,25.
Padahal, sekitar 20 tahun silam, seorang mahasiswa ada yang harus mengulang
mata kuliah berkali-kali hanya demi mendapat C. Sekarang mendapat B terkesan
begitu mudah. Sentilannya adalah pada era ini universitas dituntut untuk
menunjukkan mutunya dengan menghasilkan mahasiswa yang IPK-nya tidak
memalukan.
Soal keahlian sesungguhnya dari sang lulusan hanyalah Tuhan yang
tahu. Artinya perbaikan kebijakan apa pun membutuhkan perubahan yang paralel
di sejumlah lini. Apalagi kalau ujung akhirnya adalah meningkatkan kemampuan
lulusan Indonesia untuk terserap pasar tenaga kerja. Di sinilah kemudian
dibutuhkan intervensi baru dalam ihwal yang bisa dikontrol dan ihwal yang
tidak bisa dikontrol supaya langkah-langkah perubahan itu membuahkan hasil.
Pertama-tama hal yang bisa dikontrol seperti biaya sekolah,
jumlah sekolah, kemudahan akses sekolah, mutu pengajaran, regulasi terkait
standar kelulusan dan kegiatan magang atau penelitian, kemitraan yang
dikembangkan antarsekolah ataupun antara sekolah dengan dunia usaha dan
sejenisnya. Bila dicermati, hampir semua hal di atas sudah ada regulasi dan
ketentuannya.
Tetapi, seperti kita ketahui ihwal ini tidak menjamin
implementasi yang baik, atau hasil lulusan yang sesuai harapan. Salah satu
faktor penentu keberhasilan dalam ihwal yang dapat dikontrol ini adalah
konsistensi penerapan kebijakan, kompetensi guru dan dosen, akses bahan ajar
yang memadai, baik lintas daerah maupun lintas waktu, lengkap dengan sistem
monitoring yang tanggap masalah dan bisa merespons cepat kebutuhan di
lapangan. Jika sistem vokasi akan digalakkan, sistem monitoring mutu SMK juga
harus disediakan.
Bila ada masalah, bisa dengan cepat merespons kebutuhan.
Persoalan magang misalnya bukanlah semata menghubungkan siswa dengan dunia usaha.
Tetapi, juga melindungi hak paten siswa, memfasilitasi kreasi siswa dan
sekolah untuk dikembangkan sebagai industri massal. Selain itu juga untuk
memberdayakan pengusaha lokal untuk mengeksplorasi cara-cara pengembangan
industri dari ideide kreasi siswa dan sekolah kejuruan, serta memperjuangkan
perlindungan atau ekspansi ide dari anak-anak bangsa.
Sejauh ini hal tersebut yang masih sangat kurang. Ide-ide anak
bangsa yang unik seperti mobil listrik, mesin penetas telur, pupuk organik,
bibit padi unggul lebih sering mati dini atau mati suri. Penyebabnya adalah
karya mereka tidak dilindungi hak paten dan tidak difasilitasi ketika
berhadapan dengan produk pesaing yang dihasilkan oleh (orang-orang muda)
negara lain. Soal magang juga menyangkut perlindungan hukum bagi anak-anak
muda yang rata-rata belum cukup pengalaman ketika berhadapan dengan licinnya
dunia bisnis.
Di Jerman siswa yang magang mendapatkan upah sepertiga upah
normal, tetapi ada kurun waktu kontrak yang jelas. Ada juga jenis pekerjaan
yang memang berguna bagi siswa di kemudian hari. Hal ini berbeda dengan
sistem magang di Indonesia, di mana di daerahdaerah luar Jawa justru terjadi
penipuan dan trafficking pekerja berkedok magang. Siswa dijanjikan pekerjaan
dengan upah baik sambil magang di hotel dan kapal pesiar, tetapi ternyata
mereka dikelabui dan dijadikan budak, bahkan dilecehkan secara seksual.
Di perkotaan yang lebih sering terjadi adalah siswa sekadar
dijadikan pesuruh di kantor atau bengkel, dijadikan alternatif buruh murah
oleh perusahaan. Kepada siapa mereka ini mengadu? Singkat kata, sistem
pendidikan saling bergantung dengan sistem ekonomi politik yang dipilih.
Kesenjangan kekayaan antara bos dan bawahan tidak terlampau jauh karena pajak
yang tinggi sehingga negara bisa memberikan kembali ke masyarakat pelayan
publik yang maksimal.
Anak juga tidak khawatir akan jatuh miskin kalau ia lebih suka
menekuni profesi sebagai mekanik tamatan STM karena sistem jaminan sosialnya
akan menjadi jaring pengaman sosial. Sebab itu, kreativitas dan inovasi
masyarakat negara-negara tersebut dapat lebih maju dari negara lain karena
mereka tidak takut untuk melakukan perubahan. Karena itu, bila kita ingin
mempelajari kelebihan pendidikan negara lain, kita juga harus memahami
konteks sistem ekonomi dan politik di mana pendidikan itu hidup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar