Ilusi Tax Amnesty
Hardy R Hermawan ; Alumnus Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah
Pascasarjana IPB; Jurnalis MNC Media
|
KORAN SINDO, 20 April
2016
Tak banyak pilihan bagi Menteri Keuangan Bambang Brodjonegro
ketika mendapati ancaman akan tekornya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) 2016 ini. Penerimaan pajak
diduga bakal jauh di bawah target. Pun penerimaan negara dari migas dan
komoditas. Pemerintah kemudian mencoba memberlakukan tax amnesty (pengampunan
pajak). Presiden Joko Widodo bahkan sudah melakukan pendekatan ke kalangan
DPR. Namun, efektivitas tax amnesty masih belum jelas benar. Dalam APBN 2016
pemerintah menargetkan pendapatan senilai Rp1.822,5 triliun. Ini kenaikan
21,14% dibandingkan realisasi pendapatan 2015.
Jika diurai, target pendapatan tersebut akan didapat dari
penerimaan pajak senilai Rp1.360,2 triliun, penerimaan negara bukan pajak
(PNBP) sebesar Rp273,8 triliun, penerimaan bea-cukai Rp186,5 triliun, serta
hibah Rp2 triliun. Target penerimaan pajak yang dipatok pemerintah sungguh
teramat ambisius. Dibandingkan dengan realisasi penerimaan pajak 2015 sebesar
Rp1.060,8 triliun, target 2016 ekuivalen dengan kenaikan 28,22%.
Padahal, perekonomian nasional masih dirundung kelesuan. Di masa
normal saja kenaikan pendapatan pajak sebesar 15% sudah sangat luar biasa.
Jadi, dapat dipastikan, pemerintah tak akan mampu mengejar target penerimaan
pajak pada 2016 ini. Begitu pula dengan penerimaan dari sektor migas dan
komoditas. Penerimaan migas diperoleh lewat pajak penghasilan (PPh) migas dan
PNBP migas. Lantas, penerimaan komoditas akan berupa PNBP.
Kemungkinan tak tercapainya target penerimaan migas dan
komoditas disebabkan masih rendahnya harga minyak dunia yang berada di
kisaran USD40 per barel. Padahal, APBN mengasumsikan harga minyak di level
USD50 per barel. Rendahnya harga minyak ini pula yang menekan harga komoditas
di pasar ekspor. Tak ayal, harga sejumlah komoditas ekspor utama Indonesia,
pada Januari 2016, turun rata-rata 20% dibandingkan Januari 2015. Itulah
sebabnya, penerimaan pajak dan PNBP pasti akan meleset dari target.
Pemerintah mengakui soal itu. Mereka kemudian mengajukan cara
lain untuk menambal defisit penerimaan dengan cara itu tadi: pengenaan tax
amnesty. Umumnya, tax amnesty diartikan sebagai tawaran bagi wajib pajak
untuk membayar sejumlah kewajiban pajak mereka (termasuk bunga dan denda)
pada masa pajak sebelumnya, dalam nilai tertentu dan dalam waktu tertentu,
tanpa dikenakan hukuman pidana. Periode tax amnesty bersifat sangat terbatas.
Ada kalanya aturan tax amnesty mengenakan hukuman lebih berat bagi mereka
yang mengabaikan amnesti, alih-alih mengikutinya.
Gagasan memberlakukan tax amnesty, kurang lebih, dilatari oleh
kabar bahwa ada sekitar Rp11.000 triliun uang orang Indonesia yang tersebar
di mancanegara. Uang tersebut tidak pernah dikenakan pajak. Padahal, jika
uang tersebut masuk ke sistem perekonomian dan dipunguti pajaknya, tentu itu
akan sangat menguntungkan bagi kita. Maka itu, disusunlah mekanisme tax
amnesty. Mereka yang memiliki uang tersebut dipersilakan mendaftarkan asetnya
ke otoritas pajak di Indonesia.
Untuk mendaftarkan uang tersebut, pemerintah mengenakan uang
tebus senilai 2% sampai 4% dari nilai aset. Syukur-syukur jika uang tersebut
masuk ke sistem perbankan nasional. Yang jelas, dari uang tebus saja,
pemerintah bisa mendapatkan Rp220 triliun. Nah, uang sebesar itulah yang
diharapkan menutupi tekornya pendapatan pajak kita tahun ini. Namun, tax
amnesty tak memudah membalik telapak tangan. Para praktisi perpajakan dan
kalangan pengusaha meminta ada payung hukum yang sangat kuat, berupa
undang-undang.
Dan, itu belum cukup. Mengacu pada negara-negara yang berhasil
mengenakan tax amnesty, ada banyak syarat dan prasyarat untuk memastikan
kesuksesan pelaksanaan tax amnesty. Le Borgne dan Baer (2008) menegaskan, tax
amnesty harus diawali dengan memastikan penyebab ketidakpatuhan wajib pajak:
apakah karena sistem perpajakannya yang buruk atau karena penerapan
administrasi perpajakan yang tidak efektif? Nah, jika penyebab ketidakpatuhan
itu sudah diketahui pasti, mutlak diperlukan pembenahan terlebih dahulu atas
problem tersebut sebelum tax amnesty diterapkan.
Kemudian, pemberlakuan tax
amnesty harus diterapkan dalam waktu yang sangat terbatas dan cut-off datenya harus jelas. Yang bisa
ikut tax amnesty juga dibatasi
hanya untuk wajib pajak yang tak patuh. Lantas tax amnesty tidak boleh mengurangi present value pajak yang
kurang bayar.
Program tax amnesty
juga tidak boleh bertentangan dengan prinsip perpajakan pada umumnya. Jadi,
misalnya, jangan sampai tax amnesty
memberikan peluang bagi pembayaran pajak secara anonim. Sungguh upaya yang
sangat berat. Di negara sekelas Irlandia, yang sukses dengan tax amnesty pada 1988 program
dilakukan dengan sosialisasi masif, bahkan dengan mengumumkan nama-nama wajib
pajak nakal di media nasional.
Mereka menambah jumlah petugas pajak dan mengenakan pidana keras
bagi wajib pajak yang ingkar dari tax amnesty.
Ini juga merupakan tax amnesty
pertama dan terakhir di sana. Pendek kata, harus tercipta kondisi yang
membuat wajib pajak nakal terpojok dan tak ada pilihan lain bagi mereka
selain ikut program tersebut. Apakah Indonesia sanggup memenuhi prasayat dan
syarat tax amnesty? ini yang masih menjadi
pertanyaan.
Penegakan hukum, administrasi pajak, dan penerapan sistem
perpajakan masih menjadi masalah di sini. Malcolm Gillis (1989) menyatakan, tax amnesty yang pernah digelar di
Indonesia pada 1984 ternyata berakhir dengan kegagalan. Begitu pula ketika
Indonesia menerapkan sunset policy—sebuah varian lain dari keringanan aturan
pajak untuk meningkatkan kepatuhan dan penerimaan pajak—pada 2008. Kala itu
penerimaan PPh naik Rp7,46 triliun.
Bahkan tax ratio pada 2008 juga meningkat menjadi 13,30% dari
kisaran tax ratio 12% pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, setelahnya tax
ratio kembali anjlok menjadi 11,43% (2009) dan 11,57% pada 2010. Alhasil,
sunset policy tidak memberikan pengaruh positif berkesinambungan. Nah, tax
ratio juga punya risiko demikian. Saat berhasil dalam jangka pendek, James
Alm dan William Beck (1993) menyatakan, pemberian tax amnesty bahkan tidak
mempunyai pengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak dalam jangka panjang.
Apalagi, implementasi tax amnesty sangat merugikan wajib pajak
yang selama ini taat membayar pajak Bagi para pengusaha nakal, mengikuti tax
amnesty akan membuat kesempatan mereka mengumpulkan uang secara ilegal
menjadi tertutup. Padahal, uang itu bisa sangat besar.
Jadi, ketika mereka ditawari mengikuti tax amnesty, sementara
penegakan hukum dan sistem- administrasi perpajakan yang dihadapkan kepada
mereka terlihat compang-camping, apa untungnya mereka ikut program itu?
Betul, konon akan ada fasilitas Sistem Pertukaran Informasi Otomatis atau Automatic Exchange System of Information
(AEoI) antarnegara guna melacak potensi pajak di luar negeri.
Jadi, nanti kita bisa mengetahui aset-aset wajib pajak kita di
negara lain sehingga pajaknya dapat kita kejar. Tapi, belum semua negara akan
menerapkan fasilitas itu. Masih banyak negeri tax haven yang bisa menjadi
sasaran wajib pajak nakal. Belum mantapnya sarana dan prasarana, keterbukaan
akses informasi, penegakan hukum, dan prasyarat pendukung lainnya membuat penerapan
tax amnesty di Indonesia riskan dengan kegagalan.
Malah tax amnesty bisa hanya menjadi ilusi. Alhasil, untuk
mengatasi defisit anggaran akibat penerimaan yang anjlok, sebaiknya
pemerintah fokus melakukan efisiensi anggaran belanja. BUMN diminta mencari
dana dari pasar ketimbang meminta penyertaan modal negara.
Pemerintah daerah juga perlu didorong untuk tak mengendapkan
dana anggaran mereka. Dan, kalau defisit masih belum tertutupi, apa boleh
buat, terpaksa pemerintah menerbitkan lebih banyak lagi surat utang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar