Eufemisme Kemitraan Taksi Online
Airlangga Pribadi Kusman ;
Pengajar Ilmu Politik FISIP
Universitas Airlangga
|
KORAN SINDO, 31 Maret
2016
Bisul membengkak itu
akhirnya pecah. Kegusaran armada taksi konvensional atas menjamurnya taksi
online berbiaya murah akhirnya meledak menjadi konflik nyata. Ungkapan
kegusaran itu diekspresikan di pekarangan depan Gedung DPR.
Dalam ketegangan
sosial antara taksi konvensional versus taksi online, mayoritas publik segera
menempatkan pihak terakhir sebagai good
guy dan pihak pertama sebagai bad
guy. Kalangan penyedia layanan transportasi online seperti Uber, Grab,
dan Go-jek dianggap sebagai representasi kemajuan revolusi teknologi
informasi. Sementara siapa pun yang mengkritiknya—tidak saja pihak taksi
konvensional—dianggap sebagai pihak yang ketinggalan zaman. Wakil dari zaman
yang akan digilas sejarah, kaum yang takut akan perubahan dan fleksibilitas,
yang ditawarkan oleh bisnis pelayanan era kapitalisme abad ke-21.
Sebagai sebuah counter intuitive artikel ini berusaha
menguji pandangan dominan yang dianggap sebagai sebuah kebenaran. Kebenaran
itu adalah: Pertama, dari pihak pendukung pasar bebas, fenomena taksi online
dipandang sebagai inovasi kreatif. Dari pihak supplier yang cerdas, memanfaatkan perkembangan teknologi
informasi untuk memberikan layanan yang nyaman dan murah bagi konsumen.
Bukankah konsumen adalah raja? Kalau merasa terancam dengan tumbuhnya taksi
online, berinovasilah lebih cerdas. Beri pelayanan lebih baik dan terimalah iklim
persaingan di era pasar bebas.
Kedua, banyak kalangan
pengamat sosial bahkan berani memberikan penilaian bahwa fenomena taksi
online adalah tanda bahwa kita sedang memasuki era post-kapitalistik. Era di
mana perkembangan teknologi informasi membawa berkah pada perubahan relasi
produksi yang lebih demokratis. Relasi hierarki antara buruh dan majikan
tengah mengabur digantikan oleh hubungan partnership
sharing economy (ekonomi gotong-royong).
Ekonomi gotong-royong
atau bagi hasil merupakan sebuah kemitraan antara penyedia aplikasi online,
pemilik kendaraan, dan konsumen yang saling menguntungkan. Sebuah hubungan
ekonomi mutualistik, sama-sama untung tanpa eksploitasi yang berlangsung
dalam tatanan pasar bebas. Benarkah demikian?
Benarkah fenomena
taksi online adalah contoh bahwa perubahan kekuatan produksi (teknologi
informasi/aplikasi online) akan serta-merta mengubah relasi produksi yang
lebih membebaskan? Relasi produksi di mana rantai keuntungan semakin
terpangkas, akumulasi keuntungan semakin dibagi rata, sementara pelayanan
lebih murah dan efisien? Mari kita cermati dan pertimbangkan secara jernih.
Karena pembacaan atas
hubungan-hubungan produksi dalam arena pasar juga membutuhkan pemahaman atas
relasi kuasa yang memanifes dalam hubungan-hubungan sosial. Relasi kuasa yang
dalam kasus diskursus taksi online ini tidak tampil sebagai bahan perdebatan.
Bisa jadi karena kita sudah terbius dengan perubahan pesat teknologi
informasi. Atau, lebih mendasar lagi, karena kita sebagai kelas menengah
telah termanjakan oleh harga murah yang ditawarkan mereka.
Problem Taksi Online
Yang patut untuk kita
sadari adalah di berbagai negara layanan jasa transportasi berbasis aplikasi
online seperti Uber juga harus tunduk terhadap aturan hukum. Di Amerika
Serikat misalnya Uber harus tunduk digolongkan sebagai bagian dari perusahaan
jasa di bidang transportasi publik.
Di Thailand bahkan
layanan taksi online seperti Uber tidak boleh beroperasi. Demikian pula di
negara-negara lain yang mengadopsi berbagai kebijakan sesuai dengan kondisi
sosial dan aturan hukum yang berlaku. Selama ini para pelaku usaha taksi
online menolak untuk digolongkan dalam undangundang sebagai penyedia layanan
jasa transportasi publik.
Penolakan tersebut
dikemukakan dengan alasan bahwa mereka adalah perusahaan yang menyediakan
jasa aplikasi yang menghubungkan konsumen dan pengemudi mobil. Di balik itu
sebenarnya ada kepentingan yang lebih mendasar dari sekadar argumen bahwa provider taksi online
adalahperusahaanpenyediaaplikasi yang menghubungkan antara konsumen dan
pengemudi, bukan sebagai perusahaan penyedia transportasi publik.
Dalam posisi sebagai
penyedia aplikasi online ini, kemudian relasi antara layanan jasa taksi
online dan pengemudi dimaknai sebagai relasi kemitraan. Sesungguhnya yang
terjadi dalam hubungan produksi taksi online adalah relasi majikan dan buruh.
Eufimisme kata
“kemitraan” yang dilekatkan dalam relasi produksi tersebut justru membuat
pengemudi mobil ke depan terancam sebagai buruh precariat , pekerja yang
tidak memiliki hak-haknya yang jelas dan dijamin oleh kepastian hukum sesuai
dengan Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan yang berlaku.
Buruh Precariat
Kondisi absennya
regulasi negara dalam hubungan kerja taksi online, pengemudi taksi online
berpotensi menjadi pekerja precariat. Mereka mendapatkan pekerjaan, namun
tidak mendapatkan hak-hak permanen mereka sebagai pekerja. Tanpa regulasi
usaha yang jelas, posisi buruh precariat berada dalam posisi kerja yang tidak
pasti, terancam dengan upah yang tidak stabil, dan berpotensi untuk
berkurang.
Saat ini ketika
industri taksi online sedang “booming“ dan menjadi masa bulan madu bagi
konsumen maupun pengemudi taksi online, memang tidak memunculkan berbagai
persoalan serius. Meski demikian, ketika masa bulan madu ini usai, aturan dan
regulasi negara menjadi penting agar hukum besi permintaan dan penawaran
memberikan perlindungan atas pihak yang berpotensi dirugikan. Sebagai contoh,
tanpa regulasi perundangan yang jelas, pelakuusahataksi online bisajadi akan
menetapkan aturan secara sepihak di berbagai hal.
Misalnya dalam
penentuan hubungan kerja antara pengusaha taksi online dan pengemudi taksi.
Sementara pengemudi tidak memiliki bargaining
position yang seimbang atau mendesakkan kepentingannya dalam pengadilan
industrial yang berlaku.
Selanjutnya pada masa
mendatang apabila pihak taksi online menjadi penguasa pasar usaha
transportasi publik (tanpa menyatakan dirinya sebagai usaha transportasi
publik) dan pelan-pelan mengambil persentase bagian dari pengemudi taksi,
posisi pengemudi sebagai pekerja yang berhimpun dalam serikat pekerja yang
dilindungi dalam UU menjadi sangat penting untuk melindungi kesejahteraan
hidupnya. Mereka akan berhadapan dengan logika penawaran dan permintaan pasar
yang menguntungkan pemilik aset terbesar.
Kekhawatiran seperti
ini bukan tanpa alasan. Seperti dikabarkan New York Post (1/2), sebanyak 400
orang pengemudi taksi Uber melakukan aksi demonstrasi terkait pemotongan take
home pay yang mereka dapatkan yang semakin lama semakin tinggi. Demo itu
bergulir dengan seruan “They call us
partner, but we have no vote, WeThey call us partner, but we have no vote,
Were not partners, we are slaves to them“ (Mereka menyatakan kami partner, tapi kami tidak memiliki hak suara,
kami bukan partner, kenyataannya, kami adalah budak bagi mereka).
Hal demikian
semestinya mulai dipikirkan dan diantisipasi di tengah histeria dukungan atas
keberadaan taksi online. Dengan demikian, ke depan tidak buru-buru menyatakan
bahwa relasi kerja taksi online berbasis sharing
economy. Pembahasan dalam artikel ini untuk membongkar persoalan seputar
kehadiran taksi online, bukan untuk menyatakan bahwa layanan taksi
konvensional lebih baik dari mereka.
Selama ini pelaku
usaha taksi yang memiliki armada besar juga telah mendapatkan keuntungan yang
luar biasa. Pada 2014 taksi Blue Bird mendapatkan keuntungan sebesar Rp 735,11miliar.
Sementara pada 2015 keuntungan yang didapat hingga kuartal ketiga saja
sebesar Rp629 miliar. Dengan keuntungan sebesar itu, Blue Bird termasuk
perusahaan taksi paling sehat dan untung se-Asia-Pasifik (Metronews.com, 25 Maret 2015; Tempo.co, 5
November 2015).
Dengan keuntungan yang
begitu besar, sudah sepantasnya pula bahwa taksi konvensional (bukan hanya
taksi online) membenahi diri meningkatkan pelayanan maupun kesejahteraan
pekerjanya. Pelajaran paling penting dari kemunculan kasus layanan taksi
online ini adalah negara haruslah hadir sebagai institusi yang bertanggung
jawab melindungi warganya. Negara tidak bisa membiarkan kehadiran pelaku
usaha yang tidak terikat oleh aturan hukum negara.
Dengan penegakan hukum
dan kehadiran regulasi, negara bisa melindungi kehidupan sosial warganya dari
gempuran dominasi sektor bisnis di segala lini kehidupan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar