China dan Antisipasinya
Dinna Wisnu ;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 30 Maret
2016
Berita tentang
pertumbuhan ekonomi China selalu menarik perhatian kita. Wajar karena hampir
tidak ada negara yang tidak menggantungkan dirinya terhadap pertumbuhan
ekonomi China. Media-media Barat terutama selalu memberikan catatan pinggir
apabila pertumbuhan ekonomi China meningkat dan catatannya akan lebih panjang
bila pertumbuhannya melambat.
Chen Fei and Yuan Yuan
(Global Times, 25/4/2016)
mengatakan bahwa banyak pengamat Barat yang sulit untuk melihat prospek
ekonomi China yang positif. Saat ekonomi China ”booming” tumbuh lebih dari 10%, mereka mengatakan situasi
tersebut ”both perplexing and worrying”
(mengherankan sekaligus mengkhawatirkan) sehingga disimpulkan sebagai
”Ancaman Perekonomian China.”
Namun, menyatakan status
pertumbuhan ekonomi China aman pun dapat dianggap terlalu optimistis. China
yang pada 2014 pertumbuhan ekonominya berhasil melampaui raksasa ekonomi
Amerika Serikat (AS), sekarang mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi yang
diprediksi relatif permanen. Justru perekonomian AS yang kini relatif
membaik. Hal ini diikuti dengan upaya AS untuk menarik dana-dana investasi
mereka di luar negeri untuk kegiatan perekonomian di dalam negeri.
Pemerintah China pun
mengalihkan mesin ekonomi mereka dari yang dulunya mendorong pabrik-pabrik
manufaktur untuk bekerja tanpa henti menjadi produk-produk yang berbasis
pelayanan dan jasa. Buat Indonesia, strategi itu adalah peringatan bagi para
eksportir komoditas seperti mineral dan minyak untuk segera mengerem produksi
karena daya serapnya akan berkurang.
Adapun Pemerintah
China mengatakan bahwa kekhawatiran dunia itu terlalu berlebihan. Pendapatan
nasional (PDB) China saat ini sudah meningkat 6,9% dan terus naik dan
memimpin di depan pertumbuhan ekonomi negaranegara di dunia. China yakin
pertumbuhannya akan terus positif karena tiga hal mendasar yang selalu
disampaikan ke banyak pihak.
Pertama, China adalah
pasar yang sangat solid dan terbesar di dunia. Jumlah penduduknya saat ini
sebanyak 1,3miliar. Penduduk yang besar tersebut juga menghasilkan tabungan
masyarakat yang saat ini mencapai di atas 38%. Faktor kedua, cadangan devisa
China melebihi USD3,3 triliun akhir tahun lalu.
Cadangan tersebut bisa
dikatakan sebagai cadangan devisa tertinggi di dunia. Arus investasi yang
masuk ke China tahun lalu mencapai USD126,27 miliar. Angka ini tertinggi di
antara negara-negara berkembang. Ketiga, China juga yakin dengan strategi
yang mereka lakukan sekarang.
Mereka yakin inovasi
dan perkembangan teknologi informasinya. Tahun lalu nilai tambah industri padat
teknologi dan modal meningkat 10,2%. Gambaran-gambaran tersebut menimbulkan
persepsi arah perkembangan ekonomi yang tampaknya sudah di jalan yang benar.
Meski demikian, krisis sosial yang terjadi di tengah masyarakat China juga
tidak dapat dianggap tidak ada.
Lembaga swadaya
masyarakat yang berdomisili di Hong Kong, China Labour Bulletin, melaporkan
bahwa selama 2011-2013 telah terjadi 1.200 pemogokan dan unjuk rasa di China.
Pada 2014 terdapat 1.300 kejadian aksi hubungan industrial. Sedangkan pada 2015
angka itu semakin tinggi menjadi 2.726 atau 75 aksi pemogokan setiap hari dan
total pada tahun tersebut 1,6 juta pekerjaan hilang di provinsi industrial.
Aksi protes pekerja
mungkin juga tidak akan berhenti di sana karena rencana Pemerintah China untuk
melakukan privatisasi BUMN dan pemutusan hubungan kerja di badan usaha milik
negara tersebut. Dalam Kongres Nasional Rakyat China, Menteri Keuangan Lou
Jiwei mengkritik Undang- Undang Perburuhan yang tidak berimbang dan terlalu
melindungi kepentingan pekerja.
Hal ini menyebabkan
para majikan enggan menciptakan lapangan pekerjaan dan melakukan investasi di
peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Para pekerja China yang
dipuji-puji sebagai angkatan kerja yang paling rajin di Asia pun masih
dianggap malas oleh Pemerintah China.
Gambaran perekonomian
dan politik di China perlu menjadi rambu-rambu bagi strategi kebijakan
ekonomi kita yang saat ini condong bergantung pada investasi dari China. Dulu
kita berpikir bahwa membuka pasar yang luas bagi imbal balik kerja sama
dengan China adalah masa depan yang cerah.
Dengan perkembangan
ini kita diingatkan bahwa ada baiknya ”tidak menaruh seluruh telur emas kita
di dalam satu wadah”. Dengan peningkatan ekspor Indonesia ke China yang
mencapai 15%, perlambatan ekonomi China ini, sebagaimana diperkirakan oleh
sejumlah ekonom, akan mengurangi tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia
sebesar 0,3%-0,45%.
Efek yang dapat
dirasakan oleh masyarakat adalah penurunan permintaan produk Indonesia
sehingga potensi pengurangan pegawai meningkat dan anggaran pemerintah pun
makin perlu ditinjau ulang. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro tampaknya
juga telah melihat sinyalsinyal tersebut dan telah memberikan arahan bahwa
Indonesia harus mengurangi ekspor komoditas dan beralih ke ekspor produk
konsumsi dan produk-produk akhir.
Fakta tersebut
menunjukkan ada perubahan orientasi dan menguatnya kelas menengah yang
menyukai produk-produk yang lebih berkualitas. Hal ini dapat dikonfirmasi
dari data perdagangan ekonomi China-Australia. Ekspor produk obat-obatan
seperti vitamin telah meningkat pada kuartal pertama 2015.
Kelas menengah China
juga semakin menyukai rumah makan ”kebarat-baratan” yang banyak menggunakan
produk olahan dari daging sapi sehingga ekspor sapi ke China dari Australia
juga meningkat pesat dalam tiga tahun terakhir. Total nilai ekspor sapi ke
China mencapai 917 dolar Australia pada 2015.
Demikian pula sektor
turisme dan pendidikan di Australia lebih banyak dikunjungi dan diminati.
Gambaran itu tantangan bagi kita yang berada di kawasan regional
Asia-Pasifik. Dari tahun ke tahun, Indonesia masih relatif tergantung pada
suntikan modal. Pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak digerakkan oleh
uang (dan keringat) dan belum oleh otak.
Ikatan Sarjana Ekonomi
Indonesia mencatat bahwa sejak 2010 sumbangan kompetensi sumber daya manusia
pada pertumbuhan ekonomi terbilang stagnan. Jadi, jika belum ada terobosan di
bidang kompetensi sumber daya manusia, kapital yang masuk ke Tanah Air (entah
itu lewat investasi ataupun pinjaman) belum mendatangkan hasil yang optimal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar