Diplomasi Minyak Sawit
Posman Sibuea ;
Guru Besar Tetap Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
Universitas Katolik Santo Thomas,
Medan
|
KOMPAS, 01 April
2016
Isu aktual terkait ekspor produk perkebunan asal Indonesia kian
menyulitkan diplomasi minyak sawit. Genderang perang dagang memasuki babak
baru.
Pengenaan pajak progresif untuk ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) digulirkan
Pemerintah Perancis. Selain itu, ada kampanye negatif berupa peredaran produk
pangan asal Uni Eropa berlabel palm oil
free (POF) atau pangan olahan bebas minyak sawit.
Produk berlabel POF merepresentasikan kampanye antisawit dengan membangun
opini masyarakat kalau POF lebih aman dikonsumsi dibandingkan produk yang
mengandung sawit. Hal ini tentu mendiskreditkan produk minyak sawit.
Pemerintah patut menolak kehadiran produk POF dan memprotes
keras rencana Perancis menerapkan pajak progresif karena melanggar prinsip
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan
(GATT) 1994.
Sebaliknya, pemerintah harus membuat aturan ketat untuk
melindungi petani sawit lokal yang menguasai 45 persen perkebunan sawit di
Indonesia. Produk makanan impor asal Uni Eropa yang beredar di Tanah Air
harus produk yang menggunakan minyak sawit asal Indonesia.
Kampanye negatif
Bagaimana kita memaknai kampanye negatif ini? Untuk menjawab
pertanyaan sulit ini, pemerintah harus mampu mencari solusi atas tantangan
yang dihadapi industri minyak sawit nasional terkait persaingan minyak nabati
di era perdagangan bebas yang semakin berat.
Serangan datang dari aktivis anti sawit dan kebijakan negara
tujuan ekspor, seperti Perancis, dan akan diikuti negara Eropa lainnya.Harga
CPO dan produk turunannya dari Indonesia pasti jadi lebih mahal. CPO tidak
akan kompetitif lagi dan industri makanan akan mengganti minyak sawit dengan
minyak nabati lain yang lebih murah.
Masyarakat Eropa terus gencar berkampanye negatif atas produk
minyak sawit karena iri dengan keunggulan gizi minyak sawit. Mereka seakan
membulatkan satu tekad, sawit patut dimusuhi karena tidak ramah lingkungan.
Alasan di balik itu sesungguhnya negara-negara Eropa hendak melindungi
produksi minyak nabatinya yang berbahan biji bunga matahari, kanola, dan
kedelai.
Tuduhan tidak ramah lingkungan tidak terbantahkan karena praktik
pembakaran lahan berlangsung setiap tahun untuk perluasan perkebunan sawit.
Di Riau, misalnya, kebakaran hutan dan lahan kembali terjadi di tahun 2016.
Pembakaran hutan disebut-sebut sebagai penyumbang terbesar emisi gas karbon
perusak lapisan ozon dan dikaitkan juga dengan rusaknya habitat orangutan dan
gajah. Deforestasi telah lama menjadi amunisi untuk membendung masuknya
minyak sawit ke Barat.
Kebakaran hutan yang sudah menjadi kalender tahunan seharusnya
bisa dicarikan solusinya supaya masa depan industri kelapa sawit nasional
semakin baik.Pemerintah harus kampanye lebih serius lagi tentang larangan
pembukaan lahan dengan cara membakar.
Pemerintah juga harus tegas terhadap perusahaan perkebunan yang
menjadi tersangka pembakaran hutan, misalnya dengan mencabut izin ataupun
melalui proses pengadilan.
Industri hilir
Ambisi pemerintah menjadikan Indonesia penghasil minyak sawit
mentah terbesar dunia sudah tercapai. Tahun 2006, Indonesia berhasil
menggeser posisi Malaysia dari urutan pertama. Jika pada 2006 produksi CPO
baru 16 juta ton,data terbaru memperlihatkan dengan luas areal sawit 14 juta
hektar pada 2015, Indonesia mampu memproduksi CPO 33 juta ton.
Indonesia menempati posisi puncak dalam klasemen negara produsen
CPO dunia. Namun, di balik melimpahnya produksi CPO, industri ini dituduh
merusak hutan dan menghilangkan hak hidup masyarakat lokal.
Semua tuduhan itu patut menjadi catatan penting pemerintah untuk
membangun citra baik atas keunggulan Indonesia memproduksi minyak sawit
mentah tertinggi di dunia. Prestasi hebat ini jangan sampai ternodai oleh
kurangnya pemahaman para pemilik perkebunan sawit tentang lingkungan hidup.
Citra baik dan penilaian positifatas produksi CPO Indonesia erat
kaitannya dengan rencana pemerintah membangun sejumlah industri hilir minyak
sawit.
Produk turunan CPO yang dihasilkan akan berdaya saing tinggi
dansiap dilepas di pasarglobal. Produksi CPO yang diperkirakan sudahmencapai
33juta ton memang perlu didiversifikasi menjadi biodiesel dan berbagai produk
turunan untuk konsumsi dalam negeri dan ekspor.
Produk turunan CPO, seperti gliserin dan fatty alcohols, dapat
menjadi contoh oleokimia dasar yang harganya meningkat setiap tahun.
Penggunaan oleokimia ini amat luas sebagai bahan dalam industri sabun dan
detergen, kosmetika, bahan farmasi, plastik, karet, dan sebagainya.
Pengembangan industri hilir juga membuka lapangan kerja baru di Tanah Air.
Produk turunan
Di bidang pangan, CPO dapat diolah menjadi beragam produk
turunan. Mulaiminyak goreng, margarin, es krim, cocoa butter substitute (CBS), whipping cream, emulsifier, hingga
produk healty oil (nutrasetikal
berbasis minyak sawit) yang diminati masyarakat (Sibuea, 2014).
Di tengah pasar yang kian mengglobal,pengusaha sawit nasional
tidak bisa lagihanya mengandalkan ekspor CPO semata mengingat nilai tambah
yang relatif kecil. Apalagi, harga CPO sewaktu-waktu dapat turun karena
kampanye negatif dan pasokan CPO dari sejumlah negara lain yang juga
mengembangkan perkebunan kelapa sawit.
Hal lain yang tidak kalah penting ialah pengembangan pasar
dengan diplomasi cerdas untuk membidik negara-negara pengimpor minyak sawit
baru guna mengompensasi hambatan ekspor dari sejumlah negara Eropa Barat.
Pemerintah harus tegar melawan kampanye negatif dengan pengembangan
perkebunan sawit yang berbasisekonomi hijau (green economy) dan harus mampu menunjukkan keunggulan minyak
sawit sesuai syarat transfat free,
seperti keinginan pasar Eropa dan Amerika Serikat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar