Dana Desa dan Transformasi Berdesa
Gregorius Sahdan ;
Ketua Program Studi Ilmu
Pemerintahan STPMD "APMD"; Direktur The Indonesian Power for
Democracy (IPD)
|
MEDIA INDONESIA,
09 April 2016
KEHADIRAN UU No 6
Tahun 2014 diyakini banyak kalangan, terutama masyarakat desa, sebagai produk
hukum satu-satunya yang membela desa. Undang-undang itu menunjukkan standing
position negara yang sebenarnya terhadap desa. Sebelumnya, tidak pernah ada
terobosan hukum yang berani berada di garis depan untuk membela desa. Produk
hukum sebelumnya, UU No 5/1979 tentang Desa yang dibuat Orde Baru, hanya
menghasilkan keganasan rezim sentralisasi atas desa. Desa diseragamkan dan
dijadikan objek segala bentuk kebijakan pemerintah yang dikendalikan Jakarta.
Kebijakan top down dan perencanaan dari atas
masuk ke desa, mulai program KUD (Koperasi Unit Desa), Revolusi Hijau, sampai
Inpres Desa Tertinggal (IDT). Program-program itu gagal melahirkan
transformasi desa menjadi desa yang mandiri, maju, dan sejahtera. Program
revolusi hijau sendiri sebenarnya merupakan program monumental dari hasil
pemikiran William Gaud (1968) yang meniru masifnya perubahan pertanian di
Meksiko 1945. Waktu itu revolusi pertanian Meksiko dijalankan dengan
memperkuat riset terhadap bibit unggul, intensifikasi, dan ekstensifikasi
pertanian serta peningkatan infrastruktur pertanian. Hasilnya, pada 1956,
Meksiko memenuhi kebutuhan gandum domestik dan bahkan sebagiannya dicadangkan
untuk musim paceklik. Program Revolusi Hijau kemudian diadopsi Orde Baru
menjadi program prioritas di bidang pertanian.
Banyak studi
menunjukkan program-program itu gagal karena masyarakat desa hanya dijadikan
sebagai objek. Akibat penggunaan pupuk kimia yang berlebihan, petani
mengalami keterasingan dari lahan pertanian sendiri.
Studi Hans Antlov
(2003) yang kemudian menjadi buku monumental dengan judul Negara Dalam
Desa-Patronase Kepemimpinan Lokal menunjukkan proyek menjadikan desa sebagai
objek juga menghasilkan desa yang mengalami desakralisasi politik yang memberikan
keleluasaan terhadap negara untuk mencaplok sumber daya desa demi kepentingan
kekuasaan.
Ketika Orde Baru
runtuh pada 1998, ada harapan yang sangat kuat bahwa negara tidak lagi
memperlakukan desa secara diskriminatif. Namun, fakta menunjukkan perlakuan
diskriminatif negara bergeser ke pemerintah daerah. Berbagai produk
undang-undang, mulai UU No 22 Tahun 1999 sampai UU No 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, melahirkan model baru pengendalian terhadap desa. Di
bawah payung otonomi daerah, desa dijadikan sebagai anak tiri pemerintah
kabupaten, dianggap remeh, dan bahkan dipandang sebelah mata. Desa
bersusah-payah merumuskan program perencanaan dalam forum musrenbangdes
(musyawarah rencana pembangunan desa).
Eksekusinya sangat
bergantung pada kebaikan hati pemerintah kabupaten dan bahkan banyak hasil
musrenbangdes yang dibuang ke tong sampah dengan alasan tidak ada anggaran.
Di sisi yang lain, pemerintah kabupaten cuci tangan terhadap
persoalan-persoalan desa yang paling mendasar, seperti masalah air bersih,
listrik, dan jalan desa. Sumber daya manusia desa pun tidak diperhatikan
pemerintah daerah dan sengaja dibiarkan tidak berdaya.
Dana desa dan kelakuan rezim
Dana desa yang berasal
dari APBN tentu saja membawa angin segar terhadap desa. Bagaimana pun, adanya
dana desa memberikan keadilan terhadap desa sama dengan struktur pemerintahan
yang lain, yaitu pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota yang selama ini
memperoleh dukungan APBN yang sangat signifikan.
Pemerintah pun
memiliki komitmen yang kuat. Bahkan, Presiden Joko Widodo mengatakan, pada
2016 dana desa akan ditingkatkan menjadi Rp46,6 triliun dari sebelumnya
Rp20,7 triliun untuk 74,093 desa di Indonesia (Kompas, 16 Maret 2016).
Perlu diakui komitmen
dan dukungan dana desa sudah mulai membawa perubahan dan kemajuan yang
signifikan di desa. Dalam program fasilitasi pembuatan RPJMDes (rencana
pembangunan jangka menengah desa) di 65 desa di Sumba Tengah pada 2015, kami
elihat gelora dan semangat berdesa yang muncul kembali di desa sejalan dengan
penyaluran dana desa.
Studi Sutoro Eko
(2015) menunjukkan ada sedikitnya 2.657.916 pertumbuhan dan penyerapan tenaga
kerja baru di desa yang merupakan dampak mengalirnya dana desa ke desa. Ini
merupakan bagian dari cash for work
bagi desa. Jika dihitung rata-rata, setiap desa pada 2015 mendapat sekitar
360 juta dan pada 2016 meningkat 100% menjadi sekitar 620 juta per desa.
Jumlah ini memang
masih jauh dari janji yang disampaikan dalam kampanye Presiden Jokowi pada
Pemilu 2014, yaitu setiap desa memperoleh sekitar Rp1,4 miliar. Selama ini,
desa mengalami problem ketiadaan anggaran untuk mendukung program pemerintah,
seperti air bersih, listrik desa, dan jalan desa. Melalui dana desa, semua
kebutuhan desa yang terkait dengan infrastruktur dasar akan terpenuhi
walaupun jumlahnya belum memadai.
Namun, yang sangat
dikuatirkan ialah munculnya beberapa persoalan terkait dengan dana desa.
Pertama, masalah sinkronisasi aturan di tingkatan pemerintahan. Masuknya dana
desa melalui rekening pemerintah daerah menutup ruang bagi pemerintah daerah
untuk menyalurkan alokasi dana desa (ADD) yang bersumber dari APBD. Padahal,
porsi ADD yang harus dialokasikan daerah ke desa mencapai 10% dari APBD dari
dana perimbangan pemerintah daerah yang diterima dari pemerintah pusat.
Di sini kita sangat
membutuhkan supervisi dan atensi publik untuk menekan kewajiban pemerintah
daerah agar jangan lupa menyalurkan ADD dan jangan mengklaim dana desa
sebagai dana kabupaten. Jika demikian yang terjadi, rezim daerah berarti
berkelakuan parasit dan memanfaatkan skema desentralisasi untuk mengendalikan
desa.
Kedua, masuknya tenaga
pendamping desa yang terdiri atas tenaga pendamping profesional dan kader
pemberdayaan masyarakat desa. Di satu sisi, itu akan memberikan kemudahan
bagi desa dalam membuat administrasi dan teknis pelaporan keuangan. Namun, di
sisi yang lain, perekrutan mereka yang langsung dibawa Menteri PDT bernuansa
politis sehingga diragukan tenaga pendamping itu akan mampu membawa perubahan
di desa. Bisa jadi tenaga pendamping desa itu akan menjadi parasit baru yang ikut
menggerus dana desa untuk tujuan-tujuan politik.
Berdasarkan data 2015,
dana desa ternyata tidak semata-mata digunakan untuk infrastruktur, tetapi
juga digunakan untuk pemerintah desa (5,49%), kemasyarakatan 2,63%,
pemberdayaan 2,50%, dan infrastruktur hanya 89,39% (Marwan Jafar, 2016).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dana desa mempunyai peluang
penyimpangan yang sangat tinggi. Karena itu, kontrol dan perhatian multipihak
sangat penting untuk meminimalkan penyimpangan dana desa.
Apabila desa tertib
dan disiplin dalam menggunakan dana desa, transformasi berdesa, cepat atau
lambat, akan tercapai. Transformasi ini menyangkut banyak hal, antara lain
perubahan tata kelola pemerintahan, pembangunan, serta pemberdayaan dan
kemasyarakatan yang lebih maju, mandiri, dan sejahtera.
Dengan sendirinya,
pandangan sinis terhadap desa akan berlalu sejalan dengan perubahan wajah
desa menjadi desa self help dan Dengan demikian, di masa mendatang,
pendapatan asli desa (PADes) menjadi kata kunci kemajuan. Desa diharapkan
tidak bergantung lagi pada APBD dan APBN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar