Ancaman Narkoba, Rokok, dan Alkohol
Emil Salim ; Dosen
Pascasarjana UI; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 15 April
2016
Bung Karno berusia 44
tahun dan Bung Hatta 43 tahun ketika masing-masing sebagai presiden dan wakil
presiden menjadi Bapak Pendiri Republik Indonesia (1945). Mereka berkualitas
pendidikan tinggi, tidak korup, dan tak tergoda oleh gemerincing uang
pengusaha besar. Mereka terkenal bersih dan menempuh pola hidup sehat, bebas
dari rokok dan ancaman drugs zat
adiktif.
Generasi baru telah
lahir dan berkat program Keluarga Berencana, tahun 2012-2040 menikmati bonus
demografi sebagai hasil penurunan lebih dari 50 persen rasio ketergantungan
penduduk usia di bawah 15 tahun ditambah penduduk usia 65+ tahun. Ini mengurangi
beban tanggungan bagi penduduk usia 15-64 tahun yang lebih produktif.
Menurut perhitungan
Professor Sri Moertiningsih Adioetomo, bonus demografi ini menukik ke titik
terendah dalam periode 2020-2030 sebelum rasio ketergantungannya naik.
Sehingga, terbuka peluang besar bagi penduduk usia produktif ini memacu laju
pembangunan ke tahapan ”lepas landas” tahun 2045 kelak. Jumlah generasi muda
usia 15-29 tahun naik dari 62 juta (2010) ke 70 juta jiwa (2035). Generasi
ini memiliki potensi menjadi pemimpin bangsa menujuIndonesia maju tahun 2045.
Sehingga sangat penting menggariskan kebijakan pembangunan yang secara
eksplisit mengembangkan kualitas generasi ”bonus demografi” sebagai kader
pemimpin bangsa masa depan.
Ancaman terbesar yang
menjerumuskan generasi muda ini adalah drugs adiktif dalam narkoba, rokok,
dan alkohol. Drugs adiktif bisa menjerat korban usia muda untuk terpikat
kecanduan, selamanya menjadi ”konsumen abadi”. Korban narkoba di kalangan
generasi muda kini kian meningkat. Badan Narkotika Nasional kewalahan
memberantas wabah narkotika. Jumlah korban narkoba bisa meningkat di masa
datang karena didorong pertumbuhan perokok muda yang sudah kecanduan zat
adiktif nikotin menjadi pecandu narkoba.
Menurut data
Kementerian Kesehatan (2013), generasi muda kita mulai merokok pada usia 5-9
tahun dan mencapai puncaknya sebagai perokok pada kelompok usia 15-19 tahun,
terdiri dari laki-laki 57,3 persen dan perempuan 29,2 persen. Lalu menurun
sampai usia 30+ tahun. Jumlah perokok laki-laki mencapai puncak tertinggi
(57,3 persen) pada usia 15-19 tahun dan jumlah perokok perempuan tertinggi
pada usia 30+ tahun (31,5 persen).
Industri rokok
menjadikan usia muda sebagai sasaran utama pemasaran rokok, dengan
memanfaatkan ketidakmatangan jiwa muda yang mudah terpesona oleh sikap serba
macho kejantanan dengan semangat petualang. Dengan ikon periklanan industri
rokok seperti inimereka menjeratnya masuk perangkap kecanduan pada zat
adiktif nikotin, terutama melalui tipe mild
cigarettes yang enteng diisap.
Namun, serentak dengan
masuknya zat adiktif nikotin rokok ke tubuh anak muda, menurut Dr Sheraf
Karam dari McGill University, terjadi kerusakan pada korteks otak tipis sang
perokok sehingga menimbulkan kesulitan berpikir dan mengingat. Industri rokok
paham adaptasi otak terhadap nikotin pada remaja lebih cepat dibandingkan
orang dewasa karena selaput otaknya belum tumbuh sempurna.
Karena itu, generasi
muda lebih mudah adiktif terhadap zat nikotin dalam rokok dibandingkan usia
tua. Lambat laun rokok menumbuhkan kecanduan pada jenis drugs berzat adiktif
yang lebih keras, sehingga rokok menjadi ”pintu gerbang bagi drugs lain” (gateway drugs), seperti kokain,
mariyuana, dan narkoba. Sebanyak 90 persen pecandu kokain dan narkotik
terbukti adalah perokok usia dini.
Kontradiktif
Menyadari hal ini,
Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015, 8
Januari 2015, tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019,
yang dalam Buku 1 Agenda Pembangunan Nasional mencantumkan sebagai salah satu
“Sasaran Pembangunan Kesehatan”: menurunkan prevalensi penduduk usia 18 tahun
ke bawah dari 7,2 (2013) ke sasaran 5,4 (2019), suatu penurunan 25 persen
dalam waktu lima tahun.
Langkah Presiden
Jokowi ini didukung Peraturan Mendikbud No 64/2015, 22 Desember 2015, tentang
Kawasan Tanpa Rokok di lingkungan sekolah, untuk menciptakan lingkungan
sekolah yang bersih, sehat, dan bebas rokok. Sekolah wajib memasukkan
larangan terkait rokok dalam aturan tata tertib sekolah, menolak penawaran
iklan, promosi,perusahaan rokok, dan lain-lain dan memasang tanda kawasan
tanpa rokok di lingkungan sekolah.
Gubernur DKI Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama pun sudah menetapkan larangan pemasangan iklan rokok
di ruang terbuka atas pertimbangan bahwa biaya kesehatan yang ditimbulkan
rokok lebih besar dari hasil perolehan pemasangan iklan rokok. Surat kabar
Suara Pembaruan dan majalah Tempo juga sudah menolak memasang iklan atas
pertimbangan moral dan kesehatan.
Di tengah-tengah
pelaksanaan kebijakan Presiden Jokowi seperti ini kita dikejutkan oleh
terbitnya Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No
63/M-IND/PER/8/2015, 10 Agustus 2015 tentang Peta Jalan (Roadmap) Produksi Industri Hasil Tembakau tahun 2015-2020, dengan
sasaran kenaikan produksi rokok pada kisaran 5-7,4 persen per tahun dari
398,6 miliar batang (2015) menjadi 524,2 miliar batang (2020). Angka ini
didominasi produksi rokok SKM mild dari 161,8 miliar batang (2015) menjadi
306,2 miliar batang (2020). Rokok SKM mild ini andalan industri rokok, yang
digemari perokok remaja.
Yang menarik, lampiran
permenperin ini senapas dengan RUU Pertembakauan yang masuk Prolegnas DPR
untuk dibahas 2016. Sama-sama bicara tentang ”rokok kretek sebagai produk
warisan budaya bangsa.” Kedua produk hukum ini sama-sama tidak menyinggung
dampak negatif rokok bagi kesehatan manusia. Karena itu, gugatan pada isi
permenperin ini juga tertuju pada pengusul isi RUU Pertembakauan.
Dari begitu banyak
sumber bahan industri, mengapa menteri perindustrian dan DPR memilih tembakau
yang hanya ditanam di lima provinsi, yakni Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur,
Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera Utara. Mengapa tidak diprioritaskan
pada ”perikanan” sebagai sumber bahan industri yang terdapat di dua pertiga
kawasan Indonesia? Mengapa mengutamakan bahan baku industri rokok yang 90
persen dikuasai modal asing yang meraih keuntungan dengan merusak kesehatan
masyarakat Indonesia lebih besar, terutama generasi muda?
Karena motivasi
permenperin dan RUU Pertembakauan ini berlawanan dengan semangat perpres dalam
meningkatkan kesehatan rakyat dan menurunkan prevalensi perokok generasi
muda, sudah sepatutnya presiden membatalkan permenperin ini dan meminta
pertanggungjawaban sang menteri serta menolak dibahasnya RUU Pertembakauan.
Jangan sampai industri rokok yang dikuasai modal asing mengeruk keuntungan di
atas pundak derita generasi muda yang terjerat perangkap drugs adiktif
narkoba, rokok, dan alkohol. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar