Masyarakat Sipil dan Pemberantasan Korupsi
Fajar Kurnianto ; Peneliti
Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)
Universitas Paramadina Jakarta
|
KOMPAS, 16 Maret
2016
Polemik revisi
Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi untuk sementara berhenti
setelah pemerintah dan DPR sepakat menunda pembahasannya. Penundaan tak
berarti dicabut. Sewaktu-waktu bisa diangkat dan dibahas kembali. Pemerintah
dan DPR sendiri menyatakan perlu sosialisasi ke masyarakat.
Penundaan untuk
sementara waktu ini sesungguhnya adalah "kemenangan" masyarakat
sipil dalam strategi pemberantasan korupsi. Mereka berhasil menekan dan terus
berusaha agar RUU itu dapat dicabut atau dibatalkan karena dinilai akan
menumpulkan dan melemahkan KPK.
Masyarakat sipil dimaksud
di sini mengikuti pandangan Alexis de Tocqueville (1805-1859), filsuf politik
kelahiran Paris, Perancis, yakni kelompok penyeimbang kekuatan negara. Bagi
Tocqueville, masyarakat sipil adalah sesuatu yang tidak apriori atau
tersubordinatif dari lembaga negara. Sebaliknya, ia bersifat otonom dan
memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan
penyeimbang terhadap kecenderungan intervensi negara atas warga.
Masyarakat sipil sudah
menyadari bukan hanya bahaya korupsi bagi kehidupan mereka saat ini dan nanti
(terkait HAM), melainkan juga menyadari bahwa korupsi berkaitan dengan soal
keadilan. Mereka sadar, pemberantasan korupsi bagian tak terpisahkan dari hak
dan kepentingan mereka. Mereka sudah sepenuhnya sadar jika KPK sebagai garda
depan pemberantasan korupsi saat institusi kepolisian dan kejaksaan dinilai
belum maksimal melakukannya, ditumpulkan atau dilemahkan dengan berbagai
cara, kepentingan mereka untuk mendapatkan keadilan dan hak hidup bakal
terancam. Karena itu, mereka sadar dan berjuang membela KPK.
Michael Johnston dalam
Syndromes of Corruption: Wealth, Power,
and Democracy (2005) menyatakan bahwa pemberantasan korupsi harus menjadi
bagian tak terpisahkan dari perlawanan masyarakat dalam memperjuangkan hak
dan kepentingan mereka. Pemberantasan korupsi juga harus masuk jadi bagian
dari perjuangan untuk mendapatkan dan menegakkan keadilan. Pandangan ini
menjadi kritik terhadap berbagai pendekatan korupsi, yang sejak 1980-an
dianggap sebagai dampak dari liberalisasi ekonomi yang tidak sempurna.
Reformasi sektor publik hanya menekankan tujuan sempit good governance, yakni
liberalisasi ekonomi dan politik tanpa disertai fondasi institusional yang
kuat dan esensial.
Menurut Johnston,
reformasi pemberantasan korupsi bukan sekadar peningkatan manajemen sektor
publik, juga soal keadilan. Pemberantasan korupsi bukan hanya membutuhkan
demokratisasi yang mendalam, seperti pemilu, juga perlawanan terhadap isu-isu
riil antara orang dan kelompok yang mampu mempertahankan diri untuk mencapai
tujuan politik. Jadi, bagi Johnston, akar dari praktik korupsi adalah
politik. Dengan menafikan dimensi politik, pemberantasan korupsi tidak akan
mampu menyentuh akar persoalan.
Jangan apatis dan apolitis
Vedi R Hadiz dalam
Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia
Perspective (2010) menyatakan, pemberantasan korupsi harus jadi bagian dari
perang besar melawan kepentingan predator yang telah tumbuh sejak Orde Baru.
Predator itu telah mempelajari bagaimana menyiasati demokrasi; belajar
bagaimana memenangi sistem pemilu langsung dan menyesuaikan diri dengan
"resep- resep" good governance untuk terus mengeruk sumber daya
publik bagi kepentingan pribadi atau kelompok.
Mereka yang disebut
Hadiz sebagai "predator" itu tidak akan pernah berhenti
mencari-cari cara dan celah untuk membendung pemberantasan korupsi. Mereka
juga selalu punya cara-cara lihai dan tak mudah terdeteksi untuk melakukan
korupsi. Tanpa memperkuat KPK dan memberinya hak-hak istimewa tertentu, para
predator itu akan sulit ditemukan lalu ditangkap. Saat ini, ketika KPK
terlihat nyata dan garang, dengan begitu banyak pejabat negara yang
ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, para predator tampak berhati-hati dan
berusaha "bermain cantik" dengan berupaya "memotong-motong"
kewenangan KPK dengan tujuan utama menumpulkan dan melumpuhkan KPK.
Masyarakat sudah
mengerti dan menyadari gerak-gerik semacam itu. Maka, mereka pun melakukan
perlawanan dengan menekan pemerintah dan DPR untuk membatalkan revisi RUU
KPK, bukan sekadar ditunda.
Kesadaran semacam ini
memang penting. Masyarakat jangan sampai apatis dan apolitis, karena ini
menyangkut hak hidup dan keadilan mereka, bagian dari perjuangan akan
kepentingan mereka. Politik hari ini memang lebih kental tampak dengan nuansa
mengejar kekuasaan dan mempertahankannya, dengan tujuan mengeruk keuntungan
material darinya.
Politik dengan kata
lain sekadar menjadi pijakan untuk mengorupsi uang negara yang melimpah.
Politik yang awalnya bertujuan mulia, yakni berjuang melalui kekuasaan untuk
melayani dan menyejahterakan masyarakat, telah tercemari. Jadi, masyarakat
jangan sampai apatis dan apolitis, membiarkan situasi politik yang abnormal
semacam ini berjalan tanpa henti.
Masyarakat sipil perlu terus merapatkan
barisan untuk membendung upaya-upaya penumpulan dan pelumpuhan usaha
pemberantasan korupsi. Apa pun bentuknya dan oleh subyek apa pun yang akan
melakukannya. Jangan sampai para predator diberi ruang luas dan leluasa untuk
melakukan korupsi.
Masyarakat pasti
senang dan bahagia jika setiap hari mendengar berita ada koruptor yang
diendus, ditangkap, diadili, lalu dihukum seberat-beratnya. Terlebih jika
kemudian itu menimbulkan efek jera. Namun, ini tidak akan terjadi jika
lembaga terkait pemberantasan korupsi, seperti KPK, tumpul dan lemah akibat
UU yang ada tidak memadai. Semoga mimpi buruk ini tak terjadi, baik saat ini
maupun nanti, dan seterusnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar