Anomali Kekuasaan
Yasraf Amir Piliang ; Pemikir
Sosial dan Kebudayaan
|
KOMPAS, 16 Maret
2016
Panggung politik
bangsa hari ini menyuguhkan tontonan "kegaduhan" dalam rezim
berkuasa. Hal itu terjadi akibat ketidakmampuan Joko Widodo-sebagai pemimpin
tertinggi negara-membangun kedisiplinan dan kepatuhan para aparatnya.
Berlanjutnya
"pertengkaran" di antara para menteri-mulai dari masalah proyek
pembangkit listrik 35.000 MW, impor beras, pesawat Garuda Indonesia,
perpanjangan kontrak Freeport, kereta cepat, hingga kilang Blok
Masela-menunjukkan tingginya intensitas kegaduhan ini.
Berlanjutnya kegaduhan
itu menunjukkan tak bekerjanya hierarki kekuasaan dalam rezim, sehingga garis
komando kekuasaan saling bertabrakan, tumpang-tindih, dan bersilangan satu
dan lainnya. Akibatnya, iklim ketakpatuhan, ketakdisiplinan, dan ketaktaatan
dalam relasi kekuasaan rezim, sebagai penanda degradasi otoritas kekuasaan.
Degradasi ditunjukkan, misalnya, oleh menteri yang berani "melawan"
presiden dan wakil presiden.
Kekuasaan postmodern
Kegaduhan ini akibat
kegagalan Jokowi menggunakan "otoritas kekuasaan", kekuasaan yang
sah dan diakui dalam memerintahkan, melarang, menertibkan, dan mendisiplinkan
untuk membangun iklim kepatuhan dalam rezim. Dengan kata lain, Jokowi tak
mampu membangun "karisma" melalui tindakan nyata, yang melaluinya
"kekuasaan simbolik" dikonversikan dan dimanifestasikan dalam
"kekuasaan nyata". "Anomali kekuasaan" ini membahayakan
keberlanjutan rezim karena tak pastinya garis komando kekuasaan, dan tak
jelasnya arah tujuan "kapal" negara-bangsa, lantaran ketakmampuan
nakhoda menavigasi kapal. Rezim kekuasaan yang dikendalikan banyak pemegang
kekuasaan tak saja menimbulkan aneka gesekan politik, tetapi menguras energi
bangsa untuk pertengkaran tak konstruktif bagi kemajuan bangsa.
Ketakmampuan Jokowi
menunjukkan taring kekuasaannya menjadikan kekuasaan layaknya bola liar, yang
dapat dipegang siapa pun. Di sini, kekuasaan-sebagai kemampuan mengubah
"potensi" jadi kenyataan melalui jalan perubahan-memerlukan pribadi
yang memiliki kekuatan, karisma, dan ketegasan. Tanpa kekuatan itu mustahil
Jokowi sebagai pemimpin tertinggi negara dapat memberantas korupsi,
mengentaskan kemiskinan atau membasmi mafia kejahatan.
Masalah fundamental
rezim menyangkut kapasitas, hierarki, dan distribusi kekuasaan. Pertama,
Jokowi tak mampu menciptakan kepatuhan dan kedisiplinan, karena tak mampu
menunjukkan daya dan kekuatan dirinya. Kedua, ia tak dapat membangun hierarki
kekuasaan, yang mendorong permainan kekuasaan di aneka lapisan subordinat.
Ketiga, ia juga tak mampu membangun distribusi kekuasaan proporsional,
sehingga perintah tak bekerja secara berjenjang.
Dalam praktik
demokrasi modern, relasi "kekuasaan riil" cenderung bersifat
hierarkis, dengan garis komando dari atas (top down), meskipun secara prinsip formal kekuasaan bersifat dari
bawah ke atas, yaitu prinsip "kekuasaan di tangan rakyat" (demos). Hierarki kekuasaan macam ini
menjamin berlangsungnya garis komando yang jelas, berjenjang, dan sistemik,
yaitu siapa memerintah siapa (Boulding,
1989).
Akan tetapi, dalam
sistem "demokrasi postmodern", relasi kekuasaan bersifat
nonhierarkis, heterogen, dan tak terpusat, yang memungkinkan pertarungan
terbuka mendapatkan hegemoni kekuasaan. Kondisi ini dimungkinkan karena
"kekuasaan ada di mana-mana" dan rezim kekuasaan dibangun oleh
"multiplisitas relasi kekuasaan", yang di dalamnya tak ada satu pun
pusat kekuasaan yang stabil dan permanen (Foucault,
1984).
Pertanyaannya, apakah
Jokowi menerapkan sistem "demokrasi postmodern" dalam mengelola
kekuasaan? Bila benar, ini berarti bahwa pengelolaan itu dilandasi oleh
relasi kekuasaan nonhierarkis, tak terpusat, dan heterogen; multiplisitas
sumber kekuatan, di mana kekuasaan dapat dimiliki siapa pun dalam posisi apa
pun; dan distribusi kekuasaan yang dinamis dan nonproporsional, yang
memungkinkan perintah datang dari mana pun.
Akan tetapi, sistem
kekuasaan postmodern memerlukan kecanggihan pengetahuan, kemampuan retorika,
kelihaian berdebat, dan kekuatan karisma dalam pertarungan mendapatkan
hegemoni, berhadapan dengan "lawan yang legitimated" (adversary), yang eksistensinya diakui,
tetapi pandangannya dilawan (Mouffe,
1993). Sayangnya, yang saling bertarung di dalam rezim adalah para
pembantunya, Jokowi sendiri tak memiliki kapasitas untuk terlibat dalam
"pertarungan hegemoni" ini.
Di sini, sifat-sifat
sederhana, jujur, santun, dan merakyat yang ditunjukkan Jokowi dalam setiap
penampilan dan tindakannya menjadi anti tesis dari sistem yang ia bangun
(atau tak sengaja dibangun). Sistem kekuasaan yang dibiarkan (atau didesain?)
nonhierarkis, tak terpusat, heterogen, dan nonproporsional jadi bumerang bagi
otoritas kekuasaan Jokowi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara, yang
dapat mendegradasi atau meruntuhkan legitimasinya.
Restrukturisasi kekuasaan
Kegaduhan dalam rezim
kekuasaan dapat terjadi akibat kesenjangan antara kekuasaan yang legitimated
dan kapasitas dalam menggunakan otoritas itu. Di sini, orang yang memiliki
otoritas kekuasaan memerlukan kepatuhan, tetapi tak selalu orang yang
memiliki kekuasaan yang sah dan diakui dapat menjalankan otoritas itu (Schmitt, 1985). Inilah yang dialami
Jokowi, yaitu kekuasaan yang sah dan diakui yang tanpa kepatuhan.
Ada beberapa faktor
penyebab mandulnya otoritas kekuasaan Jokowi. Pertama, penunjukan para
menteri atas dasar kesepakatan politik telah menyandera otoritas
kekuasaannya. Kedua, di dalam rezim pemerintah ada berbagai pusat kekuasaan
tak tampak, yang menghalangi otoritasnya. Ketiga, orang-orang yang dipilih
Jokowi sebagai "bumper' dirinya justru menunjukkan gestur lebih berkuasa
darinya. Keempat, sistem kekuasaan yang dibiarkan nonhierarkis, merupakan
anti tesis dari kepribadian Jokowi sendiri.
Keempat faktor itu
menjadikan upaya memulihkan otoritas kekuasaan Jokowi menghadapi semacam
dilema. Di satu pihak, dalam menegakkan otoritasnya, Jokowi tak dapat
menunjukkan kecanggihan pengetahuan, kelihaian berdebat, kemampuan retorika,
dan kekuatan karisma yang memadai. Di pihak lain, mengubah kembali sistem
kekuasaan nonhierarkis menjadi hierarkis akan menegasi gaya politiknya
sendiri: "egalitarianisme".
Akan tetapi,
bagaimanapun, kegaduhan di lingkaran kekuasaan ini harus dihentikan dan
dicarikan jalan keluarnya, bila rezim ini akan berlanjut.
Pertama, perlu
dieksplorasi sisi-sisi "karismatik" dari Jokowi sebagai modal
penguatan otoritas agar ia didengar, diikuti, dan dipatuhi para bawahannya.
Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY memiliki modal
masing-masing dalam membangun karisma. Dalam banyak kasus ,"kesederhanaan"
dapat dieksplorasi dan dikonversikan sebagai sebuah kekuatan karismatik,
seperti dicontohkan oleh Gandhi, Agus Salim atau Ahmadinejad.
Kedua, Jokowi dapat
memperkuat otoritas kekuasaannya dengan memperkuat lingkaran kekuasaan yang
dimiliki orang- orang di sekitarnya, yang memiliki karisma dan tepercaya.
Namun, lingkaran kekuatan itu tak boleh partisan dan tak boleh
menggelembungkan kekuasaannya sendiri, yang malah dapat menggemboskan
kekuasaan Jokowi sendiri, yang gejalanya sudah tampak akhir-akhir ini.
Ketiga, Jokowi harus
memperkuat "ikatan batin" dengan rakyat, dengan mengintensifkan
komunikasi dan tindakan-tindakan nyata, yang menunjukkan keberpihakan kepada
rakyat, sebagai cara meningkatkan kepercayaan mereka. Namun, wujud komunikasi
dan tindakan ini bukan berupa politik populis, yaitu permainan citra untuk
membangkitkan sentimen (palsu) publik, tetapi kebijakan dan tindakan nyata
yang berdampak langsung kepada "batin" rakyat.
Melalui cara itu,
kapasitas, relasi, dan distribusi kekuasaan dapat dibangun lebih konstruktif
dan produktif, di mana Jokowi sebagai pemimpin tertinggi didengar, dipatuhi,
dan diikuti para pembantunya. Bila tidak, rezim ini akan sulit bekerja karena
kegaduhan memang akan meningkatkan produktivitas wacana, tetapi menurunkan
produktif kerja. Padahal, kabinet yang dibangun di dalam rezim ini adalah
"kabinet kerja", bukan "kabinet wacana". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar