Menunggu Presiden Berantas Amplop Wartawan
Sabam Leo Batubara ; Mantan Wakil Ketua Dewan Pers
|
KORAN TEMPO, 09
Februari 2016
Presiden Joko Widodo
memastikan akan menghadiri acara puncak Hari Pers Nasional 2016 di Mataram,
Nusa Tenggara Barat, 9 Februari 2016. Dalam acara itu, Jokowi akan diberi
panggung untuk berinteraksi dengan kurang-lebih 600 wartawan nasional,
petinggi negara, dan tokoh masyarakat. Supaya pertemuan itu bermakna, bantuan
atau kebijakan strategis apa yang bisa Presiden keluarkan agar kehidupan pers
Indonesia semakin sehat?
Jawabannya ada di buku
Kepemimpinan Pro Rakyat yang diterbitkan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
persis menjelang Jokowi dilantik menjadi Presiden. Buku itu memuat tulisan 39
tokoh pers berisi masukan dan harapan masyarakat media terhadap Jokowi. Salah
satunya adalah "Berantas Budaya Amplop" karya Pemimpin Redaksi
Merdeka.com, Didik Supriyanto. Jika harapan pada tulisan itu dipenuhi oleh
Presiden, hal itu akan berdampak positif bagi upaya menyehatkan pers.
Dalam tulisan itu,
Didik mengharapkan, "Pemerintahan Jokowi dan seluruh jajarannya harus
memulai tradisi tidak menggunakan uang negara untuk menyogok wartawan melalui
kerja-kerja kehumasan yang selama ini berlangsung. Pemerintahan baru
Jokowi-Jusuf Kalla harus mampu menyadarkan jajarannya, dari kementerian,
instansi, hingga gubernur dan kepala daerah, bahwa kultur yang menyuburkan
budaya penyuapan dan pemerasan tidak akan menghasilkan apa-apa. Bagi
wartawan, lahan subur yang bertabur uang justru berujung pada pemerasan dan
penipuan. Jika tidak ada pembinaan dari pemerintahan yang baru, lingkaran
setan penipuan dan pemerasan tidak akan pernah bisa diputus."
Mengapa Presiden harus
turun tangan memberantas budaya amplop dengan, misalnya, menerbitkan kebijakan
melarang kementerian, kepala daerah, dan unit kerja di bawah pemerintahannya
mengalokasikan dana untuk "mengamplopi" pers?
Budaya amplop jelas
merugikan negara dan pers paling tidak dalam empat hal. Pertama, mengamplopi
wartawan berarti menyia-nyiakan anggaran negara. Pada pertengahan tahun lalu,
beberapa media online Jakarta terlibat sengketa pers dengan 37 media lokal di
Blitar, Jawa Timur. Tempo.co, misalnya, meminta pembatalan rencana Pemerintah
Kabupaten Blitar agar 220 kepala desa mengalokasikan sekitar 5 persen, yakni
Rp 3,5 miliar, dana desa untuk pers lokal. Dalam upaya menyelesaikan perkara
itu di Surabaya, Agustus tahun lalu, Dewan Pers menegaskan bahwa
pengalokasian dana desa untuk pers adalah tindakan mubazir. Membiarkan
program seperti itu berarti berpotensi menyia-nyiakan anggaran negara sekitar
Rp 1,2 triliun per tahun, yakni 5 persen dari Rp 350 juta kali 74.053 desa.
Gambaran perkembangan
media nasional tecermin dari informasi yang disampaikan DPRD Kota Padang
ketika berkunjung ke Dewan Pers Jakarta pada awal Desember lalu. Salah satu
anggota Dewan melaporkan 65 persen anggaran sejumlah media Kota Padang
berasal dari APBD. Tanpa anggaran itu, media tidak mampu eksis.
Apa sikap Dewan Pers
atas kenyataan banyak media bergantung pada "belas kasihan"
pemerintah? Pertama, hanya instansi yang bersih yang berani meniadakan amplop
untuk pers. Kedua, pengadaan dana publikasi itu bertujuan sekadar untuk
mendukung perselingkuhan pemerintah dan pers. Ketiga, penggunaan dana itu tidak
terbukti telah mendorong penyehatan pers secara kualitas dan kuantitas.
Dana publikasi
triliunan rupiah tersebut semestinya segera dihentikan dan dialihkan ke
program pemberdayaan pers sehat. Selama 70 tahun ini, untuk menghasilkan
hakim, jaksa, camat, intel, perwira militer, dan polisi yang profesional,
negara mendirikan sekolah tinggi untuk mereka. Mereka pada gilirannya dilatih
di Sekolah Staf dan Pimpinan Administrasi (Sespa), Sekolah Staf dan Komandan
(Sesko), serta Lembaga Ketahanan Nasional, yang semuanya dibiayai negara.
Semestinya, untuk
tersedianya wartawan bersertifikat kompeten, negara juga harus adil dengan
mendirikan dan mendanai sekolah tinggi jurnalistik di setiap provinsi dan
menyediakan semacam "Sespa" untuk wartawan. Sekarang ini kira-kira
terdapat 100 ribu wartawan di Indonesia, tapi hanya beberapa ribu orang yang
berkualifikasi profesional dan mampu membuat medianya sehat isi dan sehat
bisnis.
Kedua, mengamplopi
wartawan berarti melemahkan fungsi kontrol sosialnya. Ketiga, wartawan amplop
mencederai kemerdekaan pers. Dewan Pers berpendapat wartawan amplop adalah
penumpang gelap kemerdekaan pers dan mencederai profesi wartawan profesional.
Keempat, membunuh
entrepreneurship pers. Pasal 3 Undang-Undang Pers menyebutkan pers nasional
dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Pasal ini bermakna media profesional
hanya bisa sehat bisnis jika prinsip-prinsip keekonomian pers dijalankan.
Membiarkan wartawan
berkarya dengan menguber amplop, bukan hanya mematikan semangat
menumbuhkembangkan pers sesuai dengan prinsip-prinsip keekonomian pers, tapi
justru mengundang lebih banyak preman dan pengangguran untuk meramaikan pers
abal-abal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar