Strategi Baru NIIS
Trias Kuncahyono ; Wakil Pemimpin Redaksi Kompas
|
KOMPAS,
15 Januari 2016
Kalau serangan teroris di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta,
Kamis (14/1) kemarin, benar-benar dilakukan oleh kelompok yang memiliki
hubungan dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), sungguh, ini sebuah
"lonceng" tanda bahaya yang demikian keras. Serangan itu juga
menjelaskan bahwa NIIS semakin mempertegas strategi barunya: "keluar
kandang". Mereka berhasil "menghancurkan hambatan psikologis",
mengutip pendapat Mathieu Guidère, ahli terorisme dari Universitas Toulouse,
Perancis.
Komentar Mathieu Guidère itu disampaikan setelah serangan Paris,
akhir tahun lalu, yang menewaskan 132 orang. Aksi keluar kandang itu
dilakukan NIIS atau kelompok yang berafiliasi dengan NIIS dimulai pertengahan
tahun lalu.
Pada bulan Juni, mereka mengumbar aksi teror di Sousse, Tunisia,
menewaskan 40 orang dan melukai 39 orang lainnya. Lima bulan kemudian,
November, mereka beraksi lagi di Tunisia, menewaskan 13 orang. Masih pada
bulan November, mereka mengklaim sebagai yang bertanggung jawab atas
peledakan pesawat Airbus A321 milik Rusia yang berpenumpang 224 orang.
Pesawat meledak dan jatuh di Sinai. Pada November pula, pelaku peledakan bom
bunuh diri NIIS beraksi di Lebanon, menewaskan 43 orang dan melukai 239 orang
lainnya. Lalu, juga pada bulan November, mereka beraksi di Paris.
Aksi mereka tidak berhenti di sini. Setelah meneror Paris,
mereka beraksi di Ankara, Turki, pada Oktober dan menewaskan sekitar 100 orang.
Beberapa hari lalu, kelompok yang berbendera NIIS beraksi di Istanbul, Turki,
menewaskan 10 orang dan melukai 15 orang lainnya. Kemarin, mereka beraksi di
Jakarta! Di Jakarta!
Rangkaian serangan mematikan, yang oleh Kanselir Jerman Angela
Merkel disebut "telah menunjukkan wajah tidak manusiawi dan
kekejamannya", terorisme telah membuka mata dan menyadarkan banyak pihak
bahwa NIIS tidak hanya memfokuskan aksinya di Suriah dan Irak, sesuai
namanya. Mereka telah "keluar dari sarang". Mereka tidak lagi hanya
bertindak di Suriah dan Irak, sesuai dengan nama dan tujuannya semula.
Tetapi, mereka bertindak dan beraksi di luar wilayah aslinya, layaknya di
kota-kota di Suriah dan Irak.
Sebenarnya, sejak Juni 2014, NIIS sudah mulai mengubah dan
memperluas fokusnya, yakni tidak hanya di Irak dan Suriah. Menurut Haleen
Gambhir, analis dari Institute for the Study of War, NIIS fokus pada tiga
trek paralel: pertama, mengobarkan konflik regional dengan melancarkan
serangan di Irak dan Suriah; kedua, membangun hubungan dengan
kelompok-kelompok jihadis yang dapat melancarkan operasi militer di seluruh
Timur Tengah dan Afrika Utara (sekarang ditambah ke wilayah Asia; lebih
khusus lagi ke Indonesia); serta ketiga, menginspirasi dan membantu kaum
simpatisan NIIS melancarkan serangan di Barat.
Mengapa Indonesia? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Yang
pasti, menurut Sidney Jones dan Solahudin dalam ISIS in Indonesia, banyak
ekstremis Indonesia yang pergi ke Suriah dan bergabung dengan NIIS. Pada
akhir 2014, tercatat 100 orang Indonesia, kemungkinan lebih, dipercaya
meninggalkan negeri untuk bertempur di Suriah, sebagian bersama istri dan
anaknya. (Pada tahun 2015, bertambah banyak orang Indonesia yang pergi ke
Suriah bergabung dengan NIIS; dan bahkan sudah pula yang kembali ke
Indonesia). Ini mengulang apa yang terjadi pada pertengahan 1980-an dan
1990-an ketika banyak orang Indonesia pergi berlatih dan berperang di
Afganistan (The Evolution of ISIS In
Indonesia, IPAC Report, No 13).
Dengan demikian, dari fakta di atas, mereka yang kembali ke
Indonesia telah membawa pulang pula misi NIIS di negeri ini. Kalau semula,
NIIS ingin membangun sebuah negara di wilayah yang dulu di bawah kekuasaan
Ottoman; menghapuskan batas-batas negara yang ditetapkan lewat perjanjian
Sykes-Picot (1916) antara Perancis dan Inggris, sekarang mereka ingin
memperluas pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia.
Upaya itu dilakukan lewat jalan teror, jalan kekejaman, jalan
tidak manusiawi, dan jalan tidak berhati. Karena memang tidak mudah, bahkan
mustahil, merealisasikan cita-cita mereka mendirikan negara di wilayah bekas
Ottoman dengan menghapus negara-negara yang sudah ada, seperti Suriah, Iran,
dan Lebanon. Tetapi, di sini pun, mereka tidak akan berhasil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar