Jubir Presiden dan Pola Komunikasi Pemerintah
Eko Setiawan ;
Mahasiswa Pascasarjana Media dan Komunikasi
Universitas Airlangga Surabaya; Pengajar
di STIKOSA AWS Surabaya
|
JAWA
POS, 14 Januari 2016
RUMOR
pengangkatan Johan Budi S.P. sebagai juru bicara (jubir) kepresidenan
akhirnya terbukti benar. Selasa sore (12/1) di Istana Merdeka, Presiden
Jokowi resmi menunjuk mantan jubir KPK tersebut sebagai jubir sekaligus
menjabat staf khusus presiden bidang komunikasi. Penunjukan Johan itu tentu
layak kita sambut dengan baik setelah setahun terakhir bentuk komunikasi
Presiden Jokowi kepada public tidak cukup menggembirakan. Banyak program
maupun kebijakan yang sebenarnya baik untuk masyarakat tetapi dipelintir
untuk dicibir bahkan menjadi bahan olok-olok. Belum lagi beberapa kasus yang
justru menyerang presiden secara
pribadi. Berbagai hal tersebut selama ini tentu sangat mengganggu kinerja dan
citra presiden di mata masyarakat.
Setelah
dilantik pada 20 Oktober 2014, Presiden Jokowi memang tidak secara spesifik
mengangkat seorang juru bicara. Hal itu berbeda dengan Presiden SBY yang pada
periode pertamanya bahkan mengangkat dua jubir sekaligus: Andi Milan
Alfian Malarangeng untuk isu-isu dalam
negeri dan Dino Patti Djalal untuk topik-topik luar negeri. Pada periode
kedua, SBY mengangkat Julian Aldrin Pasha sebagai juru bicara. Wapres saat
itu, Boediono, juga tidak tertinggal mengangkat Yopie Hidayat sebagai jubir.
Fungsi jubir
presiden pada awal-awal masa pemerintahan Jokowi terlihat lebih banyak
dirangkap sekretaris kabinet saat itu, Andi Widjajanto. Dengan sesekali
fungsi tersebut juga dilakukan kepala staf kepresidenan ketika itu, Luhut
Panjaitan, serta Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Untuk mengatasi persoalan
komunikasi itu, presiden kemudian membentuk Tim Komunikasi Presiden yang
beranggota, antara lain, Teten Masduki -kini diganti Ari Dwipayana- dan
Sukardi Rinakit. Namun, tim itu pun ternyata tidak difungsikan sebagai jubir
presiden secara resmi.
Penulis yang
sempat berdialog langsung dengan Sukardi Rinakit dalam suatu pertemuan
menanyakan posisi jubir presiden tersebut kepada anggota Tim Komunikasi
Presiden itu. Cak Kardi, panggilan akrab Sukardi Rinakit menjawab bahwa
presiden memang belum menginginkan seorang jubir karena bagi presiden
jubirnya adalah menteri-menterinya sendiri. Sebab, menurut presiden, setiap
menteri adalah orang yang paling mengerti kondisi teknis setiap kementerian.
Namun,
agaknya, presiden tidak cukup puas. Sebab, ternyata setiap menteri mempunyai
langgam sendiri ketika mengomunikasikan kebijakan kepada masyasakat. Bahkan, tidak jarang
komunikasi antarmenteri saling bertabrakan di media. Merespons hal tersebut,
25 Juni 2015, presiden akhirnya mengeluarkan Instruksi Presiden No 9 Tahun
2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik yang menugaskan menteri komunikasi
dan informatika untuk melakukan media monitoring, menganalisis konten media,
hingga menyusun narasi tunggal terkait dengan kebijakan serta program
pemerintah kepada publik sesuai dengan arahan presiden.
Berbagai
langkah presiden tersebut, mulai pembentukan Tim Komunikasi Presiden hingga
mengeluarkan inpres tentang komunikasi publik, menyiratkan bahwa presiden
menaruh perhatian besar dalam hal penyampaian informasi kepada masyarakat
secara komprehensif, berkesinambungan, serta mudah dimengerti. Ini rasanya
wajar menjadi perhatian Presiden Jokowi setelah beberapa kali kebijakan dan
langkah geraknya kerap menjadi ‘sasaran tembak’ media dan netizen.
Sampai-sampai, Kapolri Badrodin Haiti harus mengeluarkan Surat Edaran tentang
Ujaran Kebencian untuk meredam hal tersebut.
Masih segar
dalam ingatan kita bagaimana kebijakan kartu Indonesia sehat yang diluncurkan
Jokowi yang dipelesetkan menjadi kartu Indonesia sabar oleh sebagian netizen.
Atau, foto-foto presiden yang berdialog langsung dengan suku Anak Dalam di
Jambi dianggap rekayasa. Juga, yang terbaru, foto Jokowi ketika menikmati
fajar pertama pada tahun 2016 di Darmaga Waiwo, Raja Ampat, yang dianggap
palsu.
Tidak adanya
jubir pada akhirnya kerap merepotkan presiden sendiri. Sebab, fungsi juru
bicara sebenarnya adalah orang pertama yang pasang badan atas beberapa hal
yang harus disampaikan presiden. Sebab, jika juru bicara keliru, akan ada
presiden yang membetulkan. Selain itu, peran jubir juga penting untuk
menciptakan agenda setting hingga
meng-counter isu negatif di media
massa.
Hadirnya
seorang jubir juga akan memperjelas fungsi sekretaris kabinet, menteri
sekretaris negara, hingga kantor staf kepresidenan. Masing-masing dapat
bekerja sesuai dengan tugas dan fungsinya tanpa perlu merangkap menjadi
corong presiden di media. Adanya jubir juga akan mempersempit ruang untuk
perang pernyataan antarpejabat negara. Sebab, jubir presiden berbicara atas
nama presiden. Karena itu, jika ada menteri atau pejabat Negara yang lain
berbeda pendapat dengan juru bicara, berarti dia berbeda pendapat dengan
presiden.
Akhirnya,
dapat kita katakan, penunjukan juru bicara presiden adalah langkah yang
tepat. Sebab, informasi pemerintahan akan keluar dari satu pintu, melalui
jubir. Itu tentu akan mengurangi distorsi informasi, beda penafsiran, hingga
perang pernyataan antara pembantu presiden yang saat ini masih kerap terjadi.
Fungsi kehumasan pemerintah pun akan semakin mudah karena jubir presiden
adalah penyampai narasi tunggal atas kebijakan pemerintah. Tidak ada
kebijakan lain atau penafsiran lain selain yang disampaikan sang jubir.
Semoga dengan penunjukan Johan
Budi sebagai juru bicara presiden yang secara khusus juga mendapat tugas mengoordinasi
humas-humas di kementerian akan mengurangi keruwetan informasi pemerintahan.
Sehingga tidak lagi saling silang sengkarut seperti saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar