Selasa, 05 Januari 2016

Misi Melayani Publik

Misi Melayani Publik

  Amzulian Rifai  ;  Guru Besar dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
                                                       KOMPAS, 05 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tahun 2015 ditutup dengan kualitas pelayanan publik yang masih rendah. Padahal, implikasinya dapat ke mana-mana, termasuk bertransformasinya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi budaya. Diharapkan tahun 2016 ini penyelenggara negara dan pemerintahan lebih memiliki misi melayani publik.

Sekitar tujuh tahun saya belajar sekaligus bekerja di kota Melbourne, Australia. Salah satu yang membuat terkesan adalah kualitas pelayanan publik yang luar biasa hampir merata di seluruh negeri. Jangan heran jika kota Melbourne dinobatkan sebagai kota paling nyaman di dunia untuk didiami.

Pelayanan publik di Australia tergolong luar biasa hingga kepada kaum disabilitas/difabel (penyandang cacat) dan lanjut usia yang mendapatkan prioritas. Ada banyak cerita yang menggugah soal pelayanan publik bagi kaum disabilitas.

Kelompok disabilitas di Melbourne mudah bepergian ke mana-mana karena tersedianya fasilitas yang ramah untuk diakses. Bahkan, seorang penyandang tunagrahita berkursi roda dapat menaiki kereta api seorang diri. Ternyata, dalam pemberhentian di antara stasiun, sang masinis turun menghampiri penyandang tunagrahita itu, memasang papan penghubung ke kereta sehingga ia dapat mandiri menjalankan kursi roda listriknya menaiki kereta.

Kelemahan kita justru pada pelayanan publik yang secara umum kualitasnya masih rendah. Ada ungkapan, di Indonesia, jangankan pelayanan kepada para disabilitas, pelayanan kepada orang sehat saja masih jauh dari harapan. Padahal, ada beberapa undang-undang yang seharusnya menjadi rujukan dalam soal ini.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas mengharuskan Indonesia memperhatikan hak-hak anggota masyarakat penyandang disabilitas. Negara juga wajib menyesuaikan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangannya dengan konvensi tersebut.

Pada era sekarang, pelayanan publik telah menjadi tolok ukur internasional dalam menilai keberhasilan penyelenggara negara dan pemerintahan suatu negara. Malah bagi Indonesia, pemenuhan pelayanan publik yang prima adalah manifestasi cita-cita bangsa dan negara sebagaimana tertuang dalam konstitusi.

Persoalannya, saat ini pelayanan publik di Indonesia dinilai masih karut-marut dan belum berhasil diselenggarakan dengan baik. Menurut Bank Dunia, tahun lalu, indeks pelayanan publik kita masih berada di urutan ke-129 dari 188 negara.

Sementara dari aspek akses dan kemudahan, Bank Dunia menetapkan Indonesia berada di peringkat ke-114 dari 188 negara. Survei Transparency International semakin menggenapkan problematika kita dengan menempatkan Indonesia sebagai negara yang indeks korupsinya berada pada peringkat ke-117 dari 175 negara di dunia dengan skor 34 dari skala 0-100 (0 berarti sangat korupsi dan 100 berarti sangat bersih). Keadaan ini tertinggal jauh dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Kelemahan kita pada kesadaran untuk memberikan pelayanan terbaik kepada publik. Terkadang justru penyelenggara negara menonjolkan sisi "pegawai negara" ketimbang sebagai "pelayan publik". Padahal, salah satu misi pemerintah adalah melayani publik sebaik-baiknya. Komitmen Indonesia dalam pelayanan publik dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Langkah ke depan

Pada 2016 mesti ada perbaikan pelayanan publik di Indonesia secara signifikan. Apabila penurunan korupsi dan peningkatan kesejahteraan sebagai tujuan, kita tidak memiliki pilihan kecuali meningkatkan pelayanan publik dalam berbagai aspek. Tanpa peningkatan pelayanan publik, korupsi akan semakin merata dan kesejahteraan rakyat tetap saja berupa utopia.

Kualitas pelayanan dapat diartikan sebagai bentuk kesiapan, yang diperoleh dengan cara membandingkan persepsi pelanggan atas layanan yang senyatanya diterima (performance) dengan layanan yang diharapkan (expectation). Jika kenyataan lebih besar daripada yang diharapkan, layanan dapat dikatakan bermutu (ideal). Sebaliknya, apabila senyatanya kurang dari yang diharapkan, mutu layanan buruk. Sementara apabila kenyataan pelayanan sama dengan harapan, layanan disebut baik dan memuaskan.

Ke depan, sebaiknya pemerintah memiliki target yang jelas terhadap bidang-bidang pelayanan publik yang menjadi prioritas sejajar dengan negara-negara maju. Memang semua bidang pelayanan publik itu penting, tetapi faktanya negara memiliki keterbatasan mewujudkan seluruhnya itu dalam waktu bersamaan. Alternatif prioritas pelayanan publik setidaknya dalam bidang kesehatan, pertanahan, perizinan, dan fasilitas umum. Keempat bidang ini memberikan pengaruh signifikan terhadap bidang-bidang lain. Kesempurnaan pelayanan publik dalam bidang tersebut saja dapat memberikan peningkatan nilai pelayanan publik yang signifikan di mata publik internasional.

Pelayanan kesehatan di Indonesia yang buruk adalah fakta dengan berbagai implikasinya. Indikasinya, semakin banyak pasien dari kelas sosial menengah- atas yang beralih berobat ke luar negeri. Ada berbagai keluhan setelah mendapatkan pelayanan kesehatan di negeri sendiri. Berobat di dalam negeri dirasa tidak tuntas dan sering kali miskin informasi. Malah terjadi di saat berobat diwajibkan menjalani operasi, tetapi ketika beralih berobat ke negara tetangga ternyata operasi itu tidak diperlukan. Ke depan, harus ada pembenahan total agar terjadi peningkatan kepercayaan terhadap pelayanan kesehatan dalam negeri.

Bidang pertanahan harus juga menjadi perhatian apabila ingin memperbaiki peringkat pelayanan publik di Indonesia. Hanya soal penerbitan sertifikat saja, pastilah banyak cerita yang bertentangan dengan prinsip-prinsip melayani publik. Ke depan, harus dibangun sistem agar tidak ada lagi celah bagi munculnya praktik-praktik pungutan liar yang menyusahkan masyarakat dalam mengurus sertifikat tanah.

Perizinan juga menjadi penghambat bagi Indonesia menempati urutan terhormat di mata dunia dalam soal pelayanan kepada publik. Ada berbagai perizinan yang sangat rentan terhadap pungutan liar, mulai dari izin keramaian, surat izin mengemudi, izin mendirikan bangunan, hingga izin berusaha.

Hanya soal izin usaha saja, umumnya ada tiga tahap terkait pendirian usaha, pembangunan tempat usaha, dan operasional usaha. Tahapan yang dinilai paling rumit oleh pelaku usaha adalah perizinan terkait pembangunan tempat usaha karena harus mengurus analisis mengenai dampak lingkungan dan izin mendirikan bangunan. Prosedur untuk mendapatkan surat izin usaha perdagangan-tanda daftar perusahaan masih sangat lama, sekitar 15 hari.

Pengurusan izin untuk pembangunan tempat usaha pun masih jauh dari harapan. Sebagai perbandingan, jumlah prosedur di Indonesia dua kali lebih banyak daripada Hongkong dengan waktu enam kali lebih lambat dibandingkan di Singapura. Padahal, biayanya lebih mahal 25 kali lipat dibandingkan Brunei.

Ke depan, perbaikan fasilitas umum harus juga diprioritaskan. Semestinya semua penyelenggara negara dan pemerintahan meningkatkan kualitas berbagai fasilitas umum bidang keamanan, komunikasi, rekreasi, olahraga, pendidikan, administrasi publik, keagamaan, dan sosial budaya.

Pada tahun 2016 semestinya penyelenggara negara dan penyelenggara pemerintahan menegaskan kembali komitmen mereka bahwa misi negeri ini untuk melayani publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar