Selasa, 05 Januari 2016

Dampak Kenaikan Suku Bunga AS

Dampak Kenaikan Suku Bunga AS

  Erwin Haryono  ;  Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia New York
                                                       KOMPAS, 05 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Setelah hampir satu dasawarsa tidak pernah naik, dengan tujuh tahun di antaranya berada pada posisi mendekati nol persen, suku bunga acuan kebijakan bank sentral Amerika Serikat, Fed fund rate, akhirnya naik.
Ironisnya, langkah normalisasi yang sudah sejak lama ditunggu ini justru menimbulkan kekhawatiran karena akan memicu kondisi tidak normal di perekonomian negara berkembang, khususnya emerging market economies (EMEs). Sejauh ini tidak terjadi gejolak yang mengkhawatirkan, tetapi langkah waspada tetap diperlukan.

Turbulensi dalam bentuk depresiasi nilai mata uang EMEs akhir-akhir ini adalah hal yang nyata. Kondisi di beberapa negara Amerika Latin saat ini bahkan lebih mengkhawatirkan karena berbarengan dengan kelemahan domestik, seperti defisit fiskal dan neraca pembayaran, tingginya inflasi, dan bahkan instabilitas politik. Sebagai contoh, resesi di Brasil saat ini sudah dikategorikan sebagai nyaris krisis oleh banyak pengamat.

Resep standar pada kondisi semacam itu di negara berkembang adalah langkah konservatif, di antaranya dengan menjaga kebijakan moneter pada kondisi siaga. Dilemanya adalah pada saat yang sama tengah terjadi penurunan aktivitas ekonomi yang justru membutuhkan langkah pelonggaran moneter domestik. Banyak bank sentral berada di persimpangan jalan. Di dalam negeri, media banyak memunculkan adanya perbedaan pandangan antara pemerintah dan Bank Indonesia.

Perbedaan pandangan antara otoritas moneter dan fiskal adalah hal yang jamak. Inovasi keuangan dan aliran modal yang masif menyebabkan sangat sulitnya menjaga kestabilan moneter. Bank sentral kini terkesan terlalu berhati-hati. Pemerintah pada sisi yang lain tidak mau momentum pertumbuhan ekonomi menjadi hilang karena pelajaran yang diperoleh di banyak kasus dan banyak waktu menunjukkan sulitnya mengangkat kembali momentum yang hilang. Namun, dilema semacam itu bukannya tanpa solusi. Menempatkan persoalan tersebut dalam konteks yang tepat, termasuk pembedaan perspektif jangka pendek dan panjang, akan membuat persoalan jadi lebih jelas.

Resep kondisi anomali

Normalisasi kebijakan The Fed yang justru berdampak pada kondisi tidak normal di EMEs adalah sebuah anomali. Bukankah EMEs sendiri yang dulu mengecam langkah stimulus luar biasa itu sebagai sebuah "pencetakan uang" global yang akan berdampak seperti  "tsunami" bagi perekonomian global?

Mengapa upaya untuk menormalkan kembali stimulus moneter yang luar biasa itu kini justru menjadi sumber bencana bagi EMEs? Lalu, apakah Indonesia juga harus takut terhadap langkah normalisasi The Fed?

Ada tiga konteks penting bagi penjelasan anomali itu. Pertama adalah dominasi dollar AS dalam sistem moneter internasional, di mana kini hampir tidak ada pilihan lain yang fisibel bagi penempatan selain dalam US dollar assets. Kedua, kondisi pasar keuangan global yang masih belum sepenuhnya normal pasca krisis, di mana pasar masih mudah panik dan dalam kondisi semacam itu mereka selalu adu cepat mengamankan diri, yaitu menempatkan posisinya dalam aset yang likuid, yang tidak lain adalah dalam US dollar assets.

Terakhir adalah divergensi pemulihan ekonomi global dan dengan demikian divergensi kebijakan ekonomi, khususnya kebijakan moneter. Saat ini, secara relatif pemulihan ekonomi paling solid terjadi di Amerika. Hal itu saja sudah membuat preferensi lebih bagi penempatan aset di AS. Ditambah dengan "bumbu" peningkatan suku bunga kebijakan, lengkap sudah alasan bagi pelaku pasar untuk menempatkan dana dalam US dollar assets.

Kita perlu kembali pada tahun 2011 untuk dapat memahami drama yang mungkin terjadi. Saat itu, Standard & Poor's menurunkan credit rating  Pemerintah AS dari posisi tertinggi AAA karena persoalan utang Pemerintah AS yang tidak terselesaikan dan mengancam government shutdown. Bagi pelaku pasar, penurunan peringkat berarti meningkatnya premi risiko. Selanjutnya, minat terhadap surat utang yang diterbitkan oleh lembaga/negara yang mengalami penurunan peringkat seharusnya ikut berkurang dan yield meningkat karena berkurangnya permintaan terhadap surat berharga yang diterbitkan.
Saat itu politisi dan ekonom memberikan peringatan bagi mulai berakhirnya kejayaan AS sebagai pusat keuangan global. Namun, yang kemudian terjadi justru sebaliknya: posisi US dollar assets justru menguat.

Pasca penurunan peringkat, kapital semakin deras masuk ke AS karena pasar melihatnya sebagai tambahan ketidakpastian dan dalam kondisi itu mereka cenderung cari aman dengan memperbesar likuiditas. Dan, likuiditas global, suka atau tidak, masih saja US dollar assets.

Kini, tahun 2015, dalam kondisi pasar yang sama, pemulihan ekonomi Amerika semakin terkonfirmasi di tengah penurunan kinerja ekonomi di wilayah lain, khususnya EMEs. Apalagi dengan alasan itu suku bunga dinaikkan sehingga menambah preferensi pasar. Dalam jangka pendek, fenomena penguatan dollar AS pasca kenaikan suku bunga acuan Fed relatif terhadap semua mata uang EMEs jadi tidak terhindarkan.

Di sini, yang harus benar-benar dijaga adalah kondisi terburuk. Pelemahan mata uang sudah terjadi dan pasar sejak lama melakukan penyesuaian. Namun, merosotnya kepercayaan terhadap mata uang domestik dan skenario yang lebih buruk masih bisa terjadi. IMF menyebut enam hal penting yang akan menjaga ketahanan EMEs pada kondisi seperti ini: fleksibilitas kebijakan nilai tukar, keterbukaan arus modal, kredibilitas bank sentral, persepsi atas kerentanan fiskal, dolarisasi, dan efektivitas penggunaan instrumen moneter.

"Timing" elemen kebijakan

Pada keenam elemen itu, otoritas sudah banyak memperkuat diri. Indonesia kini sudah "lulus" dari predikat fragile five. Namun, ekonomi Indonesia sendiri dipandang pasar masih memiliki kerentanan eksternal, seperti pada defisit di current account dan akselerasi utang korporasi. Dalam perspektif jangka pendek yang masih belum aman ini, penting untuk lebih berhati-hati, to err on the safe side. Seperti The Fed yang sabar menunggu kondisi yang lebih aman untuk melakukan normalisasi, ada baiknya kita juga menunggu semua hal menjadi lebih jelas. Itu lebih baik ketimbang harus mengoreksi kebijakan apabila di kemudian hari keadaan menjadi lebih buruk dari yang diperkirakan.

Pada perspektif yang lebih berjangka panjang, kondisi EMEs masih sangat baik. Potensi peningkatan produktivitas (umur demografis yang lebih produktif dibandingkan tenaga kerja yang menua di negara maju), daya dorong sosial untuk menjadi lebih baik, demokratisasi, ketersediaan sumber daya alam, rasio utang, semuanya akan jadi modal penting bagi sumber pertumbuhan di EMEs yang lebih baik daripada di negara maju. Namun, sampai itu terjadi, lebih baik menunggu badai mereda.

Diiringi langkah reformasi struktural dan perbaikan infrastruktur yang kini terus dilakukan, pelonggaran moneter pada waktunya hanyalah sebuah keniscayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar