Kebebasan yang Kebablasan
Jazuli Juwaini ;
Ketua
Fraksi PKS DPR RI
|
KORAN SINDO, 30 Januari
2016
Masyarakat hari-hari
ini banyak memperbincangkan dengan nada keprihatinan mendalam maraknya
praktik dan kampanye lesbi, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) atau yang
paling menonjol adalah tentang hubungan sesama jenis.
Aktivitas kelompok ini
bahkan sudah mengarah pada upaya pelegalan perkawinan/pernikahan sesama
jenis. Gelombang praktik dan kampanye terbuka pelegalan LGBT sendiri antara
lain didorong pelegalan serupa di Amerika Serikat pertengahan tahun lalu.
Berdasarkan keputusan Supreme Court Amerika Serikat, konstitusi Amerika
menjamin pernikahan sesama jenis (Juni 2015).
Pelegalan ini menyusul
22 negara lain yang telah melakukan hal serupa di mana mayoritas negaranegara
Barat yang berpaham liberal. Dalil kelompok LGBT dan para pendukungnya adalah
hal ini merupakan ekspresi kebebasan dan hak asasi manusia sehingga negara
harus menjamin eksistensi LBGT dan menjamin kesamaan perlakuan hukum
(nondiskriminasi) kepada kelompok ini.
Dalil Kebebasan yang Terbantahkan
Argumentasi yang
disampaikan kelompok LGBT masuk di akal dengan mengaitkan perilaku mereka
dengan hak asasi manusia. Sayangnya, Indonesia tidak menganut kebebasan tanpa
batas dan paham liberalisme sebagaimana yang dianut sebagian besar
negaranegara Barat. Di sinilah leverage
(keunggulan) bangsa ini dalam membangun negara-bangsa yang beradab dan
bermartabat.
Pelaksanaan hak asasi
tetap tidak boleh bertentangan dengan nilai agama dan budaya luhur. Hal itu
jelas termaktub dalam Pasal 28 J UUD NRI Tahun 1945, ayat (1) ”Setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.”
Sementara ayat (2) ”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undangundang dengan maksud semata- mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Dasar negara kita
Pancasila jelas mencantumkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab. Pun, di banyak pasal konstitusi kita, UUD 1945,
ditegaskan kembali hakikat identitas dan karakter kita sebagai sebuah bangsa,
yang menempatkan nilai luhur moral, agama, dan budaya sebagai rujukan atau
tuntunan utama dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Jelas dan tegas kita
tidak menganut kebebasan dalam imaji masyarakat Barat.
Dalam kacamata negara,
praktik dan kampanye LGBT tidak memiliki tempat dan bahkan terlarang. Praktik
ini jelas melanggar norma agama dan hukum positif. Dua hukum ini adalah
pegangan kita dalam hidup bernegara di Indonesia. Bisa saja negara lain,
seperti di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, melegalkan, tapi sekali
lagi identitas dan karakter negara kita beda, visi kebangsaan kita beda.
Dasar negara kita
Pancasila dan negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Maknanya, meski
Indonesia bukan negara agama, by law
dan by constitution nilai ajaran
agama dijunjung tinggi, bahkan mendasari kehidupan berbangsa dan bernegara.
Maka itu, dengan sadar para pendiri republik melahirkan sila pertama
Pancasila tersebut sehingga jelas kita bukan negara liberal, apalagi menganut
kebebasan tanpa batas.
Tidak ada satu agama
pun yang melegalkan hubungan sesama jenis karena jelas mudaratnya
(kerusakannya). Terngiang dalam benak kita cerita tentang kaum Nabi Luth yang
dikenal sebagai kaum Sodom yang gemar melakukan hubungan sesama jenis. Kisah
mereka berakhir tragis, Tuhan menimpakan azab hujan batu ke kaum ini karena
perbuatannya yang menyimpang.
Pertanyaannya, apakah
kita punya imajinasi membangun masyarakat atau peradaban yang seperti ini?
Tentu tidak! Jika kita rujuk hukum positif yang berlaku di Indonesia, juga
jelas larangan tersebut. Praktik ini menyimpangi lembaga perkawinan yang
sakral dan bertujuan mulia.
Berdasarkan UU Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1 menyatakan, ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Melalui aturan ini,
Indonesia menempatkan lembaga perkawinan di tempat yang mulia, dengan tujuan
yang mulia, dilandaskan pada nilai dan ajaran agama. Lalu, di mana kita
meletakkan hubungan sesama jenis? Selain itu, KUHP Pasal 292 juga menyatakan
larangan dengan pidana: ”Orang yang
cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin,
yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Pasal pidana ini
memang tidak eksplisit merujuk pada hubungan sesama jenis yang sudah samasama
cukup umur, tetapi secara implisit menyiratkan perbuatan sejenis dilarang.
Pun, saat ini ada semangat kuat untuk melarang hubungan sesama jenis dalam
pembahasan RUU KUHP di DPR. Dus, ditinjau dari hukum agama maupun hukum
negara, hubungan sesama jenis tidak dibenarkan.
Perilaku mereka
melanggar agama (yang berarti dosa) dan melanggar hukum negara (yang berarti
tindakan melawan hukum dan konstitusi). Kampanye LGBT bisa masuk kategori
perbuatan makar terhadap konstitusi negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Kembali pada Jati Diri
Globalisasi membawa
ekses lunturnya identitas dan karakter kita sebagai bangsa. Budaya dominan
cenderung akan mengooptasi budaya pinggiran (kecil). Tidak dapat dipungkiri
budaya masyarakat kita makin permisif. Akibatnya, kebebasan dipahami secara
kebablasan sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Sebagai
bangsa yang berkarakter, globalisasi harus disikapi secara bijak dengan tetap
berpegang teguh pada prinsip dan identitas kita dalam berbangsa dan
bernegara.
Jangan sampai justru
kita larut dalam kebebasan yang tanpa batas, kebebasan yang kebablasan,
dengan abai, mengaminkan, atau bahkan mengampanyekan produk budaya yang tidak
sesuai jati diri kita seperti perilaku LGBT. Karena itu, mari kita kembali
pada jati diri kita, kembali pada falsafah Pancasila dan UUD 1945 dengan cara
menanamkan nilai-nilai agama dan budaya luhur. Kita bentengi keluarga,
khususnya anak-anak kita dari perilaku yang menyimpang.
Dan, kita ajak kembali
mereka yang telanjur melakukan praktik menyimpang dengan cara yang bijak.
Terakhir, negara harus hadir terdepan dalam membentuk dan menjaga identitas
dan karakter kita sebagai bangsa sebagaimana termaktub dalam konstitusi.
Kebijakan negara harus jelas dan tegas, bukan malah menyuburkan perilaku yang
menyimpangi identitas kebangsaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar