Isu
Maritim dan Diplomasi Tutup Tahun
Retno LP Marsudi ; Menteri Luar Negeri RI
|
KOMPAS,
04 Januari 2016
Aktivitas diplomasi
Indonesia pada 2015 ditutup pertemuan dengan tiga negara secara
berturut-turut: Pertemuan 2+2 (Menlu-Menhan) RI-Jepang di Tokyo, 18 Desember;
pertemuan Joint Commission Meeting (JCM) RI- Korea Selatan di Seoul, 19
Desember; dan Pertemuan 2+2 (Menlu-Menhan) RI dengan Australia di Sydney, 21
Desember.
Ketiga pertemuan di
penghujung tahun tersebut memiliki makna yang sangat penting. Pertemuan 2+2
dengan Jepang merupakan pertemuan pertama yang dilakukan antara Indonesia dan
Jepang. Pertemuan ini juga merupakan Pertemuan 2+2 pertama yang dilakukan
Jepang dengan negara anggota ASEAN. Sebagai dua negara besar di Kawasan,
Pertemuan 2+2 Indonesia-Jepang hendaknya tidak saja bermanfaat bagi
kepentingan dua negara, tetapi juga harus dapat berkontribusi bagi perdamaian
dan stabilitas kawasan.
Pertemuan dengan Korea
Selatan dalam bentuk JCM juga hal khusus. Sudah sembilan tahun Indonesia
tidak melakukan JCM dengan Korea Selatan. Jeda waktu pertemuan yang sangat
lama tersebut tidak baik bagi sebuah hubungan. Oleh karena itu, pelaksanaan
JCM kali ini sangat diapresiasi oleh Korea Selatan dan memberikan pesan
keseriusan kedua negara dalam melanjutkan hubungan bilateral.
Sementara itu,
Pertemuan 2+2 Indonesia-Australia juga memberikan makna yang sangat khusus.
Pertemuan 2+2 tahun ini menyempurnakan komitmen untuk membuka lembaran baru
yang lebih kokoh, membangun kepercayaan yang lebih kuat, dan saling
menghormati.
Selain upaya memerangi
ekstremisme dan terorisme, di semua pertemuan tersebut Indonesia secara
konsisten membawakan isu pemajuan kerja sama maritim. Patut disyukuri, tanggapan positif
diberikan Jepang, Korea Selatan, dan Australia.
Jepang mengusulkan
kiranya Forum Maritim kedua negara dapat segera dimulai. Jepang juga telah
menyatakan komitmennya untuk bekerja sama menindaklanjuti EAS Statement on
Enhancing Maritime Cooperation.
Sebagai negara observer, Jepang juga bertekad untuk memberikan
kontribusi pemajuan kerja sama maritim dalam Indian Ocean Rim Association
(IORA).
Kerja sama maritim
juga bukan isu baru bagi Indonesia dan Korea Selatan, termasuk kerja sama
pengembangan kapal selam. Dalam
JCM, Korea Selatan berkomitmen untuk
terus meningkatkan kerja sama maritim, termasuk kerja sama maritim dalam
konteks KTT Asia Timur (East Asian
Summit/EAS).
Kerja sama maritim
juga terus dimajukan dengan Australia. Komitmen Pertemuan 2+2 mencatat
beberapa capaian kemajuan kerja sama maritim Indonesia- Australia. Dalam konteks EAS, Australia merupakan
salah satu negara yang menunjukkan dukungan terhadap upaya Indonesia agar EAS
dapat menyepakati statement kerja sama maritim. Dalam konteks IORA, Australia
sangat aktif dalam memajukan kerja sama blue-economy.
Dukungan Australia juga diberikan selama keketuaan Indonesia dalam IORA,
termasuk rencana Indonesia agar IORA dapat membuat sebuah IORA Concord.
Selain melalui
diplomasi bilateral, Indonesia juga telah berupaya memajukan kerja sama
maritim melalui EAS dan IORA.
EAS
Dalam pertemuan di
Kuala Lumpur, November 2015, EAS telah mengadopsi statement mengenai
"Enhancing Regional Maritime Cooperation" yang diinisiasi oleh
Indonesia.
Upaya agar draf
pernyataan mengenai kerja sama maritim tersebut dapat diterima oleh EAS bukan
hal mudah. Konsultasi yang dilakukan Indonesia dengan negara-negara EAS butuh
waktu lebih kurang setahun. Negosiasi atas substansi draf pernyataan itu juga
cukup alot. Sampai detik-detik
terakhir menjelang selesainya pertemuan
EAS, negosiasi terus dilakukan sampai tingkat menteri luar negeri.
Patut disyukuri,
akhirnya draf tersebut dapat disetujui oleh para kepala negara/kepala
pemerintahan EAS. Negara seperti
Tiongkok, AS, Australia, dan Selandia Baru bahkan telah jadi ko-sponsor
terhadap inisiatif tersebut.
Upaya memajukan kerja
sama maritim yang sifatnya praktis dan bilateral umumnya lebih mudah
dilakukan. Namun, tak demikian halnya apabila sudah melibatkan banyak
negara. Keberhasilan Indonesia dalam
EAS (18 negara) paling tidak disebabkan dua hal. Pertama, terdapat
kepercayaan yang besar negara anggota EAS terhadap Indonesia, terhadap
kepemimpinan Indonesia. Kedua, Indonesia berhasil meyakinkan bahwa tantangan
kerja sama maritim akan dapat dikonversikan menjadi potensi kerja sama.
Pernyataan EAS untuk
peningkatan kerja sama di bidang maritim mencakup: (i) pengembangan ekonomi
maritim yang berkelanjutan; (ii)
peningkatan konektivitas maritim; (iii) penanggulangan kejahatan
lintas batas; (iv) pemajuan perdamaian dan keamanan; serta (v) peningkatan kerja
sama di antara lembaga-lembaga riset.
Masalah perdamaian dan
keamanan di kawasan, termasuk di Laut Tiongkok Selatan, menjadi perhatian
semua negara. Tak satu pun negara di kawasan yang menginginkan Laut Tiongkok
Selatan jadi wilayah konflik. Oleh karena itu, Indonesia selalu mendesak
setiap negara memberikan kontribusinya
bagi terciptanya perdamaian/stabilitas dan bukan justru mengambil
tindakan-tindakan yang dapat meningkatkan tensi. Semua negara wajib
menghormati hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982.
Posisi Indonesia untuk
isu Laut Tiongkok Selatan sangat jelas. Indonesia bukan bagian dari negara
pengklaim. Indonesia terus mendorong agar implementasi Declaration of Conduct (DoC) bisa dilakukan secara penuh dan
efektif. Indonesia juga terus mendorong agar pembahasan mengenai Code of Conduct (CoC) dapat segera diselesaikan. Kepemilikan Indonesia terhadap Kepulauan
Natuna juga sudah sangat jelas dan telah didaftarkan ke PBB. Dengan kejelasan
itu akan lebih mudah bagi Indonesia menarik garis batas maritimnya karena
ditarik dari fitur yang sudah jelas kepemilikannya berdasarkan hukum
internasional.
IORA
Pengarusutamaan kerja
sama maritim juga dilakukan dalam konteks IORA. Sebagai Ketua IORA (Oktober
2015-Oktober 2017), Indonesia bertekad memajukan kerja sama maritim di
Samudra Hindia yang damai dan stabil. Tekad ini mengandung dua hal utama:
pertama, pemajuan kerja sama maritim dan kedua, menjadikan Samudra Hindia
kawasan yang stabil dan damai.
Dari dua elemen yang dianggap penting
tersebut, pada pertemuan para menlu IORA di Padang, Oktober 2015, Indonesia
telah mengusulkan perlunya IORA memiliki sebuah concord, semacam
perjanjian/persetujuan untuk menjaga keharmonisan. Jika concord ini nantinya disetujui, akan
lahir satu arsitektur kawasan baru yang akan menjadikan kawasan Samudra Hindia
sebuah kawasan yang damai dan stabil serta maju dalam kerja sama di bidang
maritim. Sebuah Ad Hoc Committee on IORA Concord telah dibentuk dan memulai
kerja pada Februari 2016.
Indonesia juga telah memikirkan
elemen-elemen yang dapat dimasukkan dalam IORA Concord, antara lain
pengembangan norma untuk kerja sama,
perkuatan institusi, serta identifikasi tantangan dan potensi baru
yang dapat dikerjasamakan. Samudra Hindia memegang peran sangat strategis.
Oleh karena itu, menjadi sangat penting artinya perhatian ke Samudra Hindia
mulai harus dilakukan.
Tahun 2015 telah
berakhir. Diplomasi untuk memajukan kerja sama maritim akan dilanjutkan di
tahun-tahun mendatang. Satu fondasi kuat, baik dalam konteks bilateral maupun
regional, telah dibangun di tahun awal pemerintahan JKW-JK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar