Xi Jinping dan Pemberantasan Korupsi di Cina
A Dahana ; Guru Besar Studi Cina Universitas Indonesia
|
KORAN
TEMPO, 21 Desember 2015
Negeri kita
yang dikenal dengan sebutan "untaian mutiara di bawah garis
khatulistiwa" ini dihebohkan oleh kasus "Papa Minta Saham"
yang melibatkan politikus papan atas Partai Golkar sekaligus Ketua DPR, Setya
Novanto. Sampai pekan lalu, kendati sudah mundur dari jabatan Ketua DPR,
Setya tak dinyatakan bersalah secara etik oleh Mahkamah Kehormatan Dewan.
Sementara
itu, di Republik Rakyat Cina—negeri tetangga terbesar di belahan bumi
selatan—gerakan antikorupsi tampaknya berjalan dengan lancar tanpa
pro-kontra. Penyebab utamanya adalah pusat kekuatan dan kekuasaan politik
hanya berada di satu titik: Partai Komunis Cina (PKC)—yang paling berkuasa
menentukan dalam segala segi, dari penentuan kebijakan sampai ke masalah
apakah seseorang bersalah atau tidak.
Deng Xiaoping
memperkenalkan reformasi pada 1978, dua tahun setelah Ketua Mao menghadap
Thian. Reformasi pada dasarnya merupakan kombinasi antara kapitalisme dan
kediktatoran satu partai. Jadi, ketika Deng memperkenalkan reformasi, tujuan
utamanya justru untuk memperkuat kembali dan melanggengkan cengkeraman PKC
atas segala kehidupan di negeri itu. Mengapa disebut memperkuat kembali?
Karena rakyat Cina sudah lelah oleh kampanye politik Mao yang berlangsung
selama lebih dari 20 tahun (1955-1976).
Warisan Deng
itu dipegang teguh para penerus kepemimpinannya. Jiang Zemin memperkenalkan
prinsip Tiga Representasi (Sange Daibiao) yang membolehkan para kapitalis
(umumnya dari Shanghai) menjadi anggota partai. Tesisnya, kalau partai
menguasai ekonomi, tidak akan ada yang bisa menentangnya.
Penggantinya,
Hu Jintao, meninggalkan jejak politik lewat teorinya tentang "masyarakat
harmonis" (hexie shehui). Hu mungkin merasa, dengan berlakunya sistem
kapitalis, "parasit penyakit kapitalisme" juga ikut menyebar,
khususnya jurang kaya-miskin. Hu berpendapat bahwa penciptaan masyarakat
harmonis dan adil merupakan cara mengatasi "penyakit kapitalisme"
itu dan kalau terealisasi, posisi PKC tak akan ada yang mampu menggugat.
Xi Jinping,
yang berkuasa saat ini, lain lagi. Tak lama setelah dilantik menjadi
Sekretaris Jenderal PKC pada 2012, ia mengeluarkan teori mengenai Impian Cina
(Zhongguo Meng). Pada dasarnya itu merupakan isyarat bahwa, demi
kesejahteraan rakyat dan kekuasaan negara dan partai serta kebesaran bangsa,
reformasi ekonomi tetap dikembangkan.
Namun Xi
bertindak lebih jauh lagi dan lebih konkret daripada kedua pendahulunya. Bagi
dia, Impian Cina tidak mungkin terealisasi tanpa terlebih dulu membereskan
rumah tangga sendiri (partai, birokrasi, dan angkatan bersenjata).
Pembersihan terhadap korupsi adalah langkah pertamanya begitu memegang dua
jabatan kunci: Sekretaris Jenderal PKC dan Presiden Republik Rakyat Cina.
Xi mengatakan
ia akan mengganyang semua pelaku korupsi, dari tingkat paling rendah yang
disebutnya kelas "lalat" (ying) sampai kelas paling tinggi yang
dijuluki kelas "macan" (hu). Konon, sebagai hasil kampanye antikorupsi
itu sampai menjelang akhir tahun, sudah ada sekitar 100 ribu lalat dan macan
yang terjerat dan telah dijatuhi hukuman, dari eksekusi mati, hukuman seumur
hidup, sampai hukuman penjara.
Untuk
menjalankan kampanye antikorupsi ini, Xi membentuk sebuah satuan tugas dengan
kekuasaan besar bernama Komisi Pusat untuk Inspeksi Kedisiplinan dan dipimpin
oleh sekutunya, Wang Qingshan. Kata kunci untuk tindak korupsi adalah
"pelanggaran atas disiplin partai". Diramalkan, sepuluh tahun lagi,
ketika masa pemerintahan Xi berakhir, Wang yang akan memegang kemudi partai
dan negara.
Sebegitu jauh
kelihatannya kampanye antikorupsi itu dijalankan tanpa tebang pilih. Hingga
kini, paling tidak ada tiga atau empat "macan" yang terperangkap.
Yang paling dulu dikerjain adalah suami-istri Bo Xilai, bos partai di Kota
Chongqing dan mantan Wali Kota Dalian.
Selama
menjabat Wali Kota Dalian, dia dituduh telah menerima suap US$ 4 juta.
Bersama istrinya, Bo Xilai dituduh membunuh seorang pengusaha Inggris rekan
bisnis istri Bo. Tuduhan terhadap Bo lebih berat lagi: korupsi, penggelapan,
penyalahgunaan kekuasaan, dan "melakukan hubungan seksual tak pantas
dengan beberapa perempuan".
Korban kelas
macan berikutnya adalah Zhou Yongkang. Tokoh yang paling ditakuti lantaran
mengepalai keamanan dalam negeri ini dituduh menerima suap US$ 20 juta dan
telah memanfaatkan posisinya untuk kepentingan pribadi.
Namun
sebagian pengamat berpendapat kampanye antikorupsi ini tak bisa dilepaskan
dari power struggle yang selalu
menghantui PKC manakala partai penguasa itu memasuki pergantian kepemimpinan.
Ada lagi tuduhan lain yang diarahkan pada kasus Bo dan Zhou yang mengarah ke
politik. Kedua macan itu dituding, antara lain, telah "bersekongkol
untuk merebut kekuasaan".
Bo Xilai
dikenal sebagai politikus andal, cerdik, dan sebelumnya diperkirakan menjadi
pesaing Xi Jinping. Kalau saja kariernya mulus dan hubungannya dengan Xi
baik, paling tidak ia akan menjadi salah satu dari tujuh anggota
Politbiro—badan partai yang paling berkuasa.
Di
bawah sistem PKC tidak akan ada organisasi semacam Mahkamah Kehormatan Dewan
dan permainan saling tuduh dan saling bela. Barangkali apa yang terjadi di
Cina kurang layak ditiru, tapi hanya sebagai perbandingan dan menambah pengetahuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar