Pimpinan KPK Jilid IV
Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus Unpad dan Guru Besar
Unpas, Bandung
|
KORAN
SINDO, 21 Desember 2015
Sejak awal
penulis telah tidak sepakat atas hasil kinerja Panitia Seleksi (Pansel) KPK
jilid IV dengan formasi calon pimpinan (capim) KPK yang tidak berlatar
belakang hukum, ekonomi, keuangan, dan perbankan serta lebih tidak sepakat
lagi dengan tidak adanya unsur pimpinan penuntut umum nonjaksa.
Namun seleksi
dilanjutkan dengan konsekuensi sebagaimana penulis perkirakan bahwa akan
terdapat pimpinan KPK jilid IV yang tidak memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan di dalam Pasal 29 huruf d jo Pasal 21 (4) jo Pasal 21 ayat (5) UU
KPK 2002. Diperkuat lagi dengan ketentuan Pasal 39 ayat (2) dan ayat (3) UU
KPK 2002.
Jika diteliti
kembali bunyi pasal-pasal dan ayat-ayat tersebut dan dihubungkan satu sama
lain, terbentuk suatu konfigurasi pola kepemimpinan KPK yang terdiri atas
unsur pemerintah dan masyarakat (Pasal 43 ayat 3 UU Tipikor 1999). Unsur
pemerintah yang bergerak dalam pemberantasan korupsi adalah Polri dan
kejaksaan.
Keterlibatan
unsur pimpinan dengan latar belakang nonhukum bersifat limitatif dan bersifat
komplementer terhadap unsur pimpinan KPK berlatar belakang hukum. Hal ini
sesuai dengan mandat kepada pimpinan KPK sebagaimana tercantum dalam Pasal 6
UU KPK 2002 tentang tugas KPK dan wewenang KPK sebagaimana dicantumkan dalam
Pasal 7 sd Pasal 14 UU KPK 2002.
Intinya di
sana membedakan tugas dan wewenang pro justisia (penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan) dan non-pro justisia (pencegahan dan monitoring
penyelenggaraan negara) serta latar belakang nonhukum dibatasi hanya untuk
keahlian di bidang ekonomi, keuangan, dan perbankan. Logika latar belakang
keilmuan ini disebabkan relevan dengan modus operandi tindak pidana korupsi
yang selalu berkaitan dengan pengetahuan akuntansi dan perbankan.
Penulis tidak
ingin membebankan kekeliruan kepada siapa pun untuk menghormati jerih payah
Pansel KPK jilid IV yang telah diberi kepercayaan oleh pemerintah, melainkan
mari kita prediksi kemungkinan yang akan terjadi dari aspek hukum dan
bagaimana solusi sementara yang perlu dilakukan.
Kemungkinan
kinerja KPK jilid IV akan tersendat-sendat karena kekuatan hukum kelima
pimpinan KPK terletak hanya di pundak Basaria Panjaitan dan Alex Marwata yang
berlatar belakang hukum dan berpengalaman dalam praktik hukum. Mestinya kita
sadar di dalam UU KPK 2002 telah ditegaskan bahwa pimpinan KPK adalah
”penyidik dan penuntut umum dan sekaligus penanggung jawab tertinggi KPK ”
dan wajib bekerja ”secara kolektif, yaitu bahwa setiap pengambilan keputusan
harus disetujui dan diputuskan secara bersamasama oleh pimpinan KPK ”.
Masalah
pengambilan keputusan untuk mulai melakukan penyelidikan sampai pada
peningkatan status kasus tipikor ke penyidikan dan penuntutan sangat
ditentukan oleh hasil olah laporan pengaduan masyarakat (dumas) dari sisi
aspek hukum pidana, khususnya Undang-Undang Tipikor Nomor 31 tahun 1999.
Lebih dalam lagi, kelima pimpinan KPK harus memahami secara detail UU RI
Nomor 31 Tahun 1999 dan turunannya UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pemahaman kedua
undang-undang aquo tidak terbatas pada pemahaman normatif setiap pasal-pasal
di dalam kedua undang-undang aquo, melainkan juga harus dipahami latar
belakang aspek filosofi, sosiologi, dan yuridis serta komparatif keberadaan
UU KPK dan kedua undang-undang tersebut di dalam tataran praktis penanganan
perkara tipikor sejak penyelidikan sampai dengan penuntutan.
Selain itu
pemahaman teori atau doktrin hukum pidana serta yurisprudensi Mahkamah Agung
RI dalam perkara tipikor dan TPPU merupakan prasyarat utama bagi kelima
pimpinan KPK agar penanganan perkara tipikor yang sulit pembuktiannya dapat
dilaksanakan secara efektif dan efisien. Latar belakang pendidikan ilmu hukum
selain nonilmu hukum penting untuk menghadapi upaya hukum tersangka/terdakwa
sesuai KUHAP, termasuk objek praperadilan yang telah diperluas oleh
yurisprudensi dan putusan MK RI.
Kebijakan
pimpinan KPK yang menyerahkan sepenuhnya proses penanganan perkara tipikor
kepada penyidik dan penuntut sekalipun berasal dari Polri dan kejaksaan
merupakan tindakan yang tidak bijak dan tidak patut. Langkah itu bertentangan
dengan ketentuan pasal-pasal UU KPK sebagaimana telah diuraikan di atas.
Khusus
penetapan pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut dan penanggung jawab
tertinggi dalam pemberantasan korupsi yang harus diartikan bahwa tanggung
jawab sepenuhnya berada pada kelima pimpinan KPK, bukan pada penyidik dan
penuntut KPK.
Tidak mungkin
dan seharusnya tidak terjadi penyidik dan penuntut KPK lebih berpengalaman
dari pimpinan KPK itu sendiri dan keadaan ini dapat menimbulkan moral hazard
dalam proses penanganan kasus tipikor. Memang benar integritas dan
akuntabilitas penyidik dan penuntut KPK tidak dapat diragukan setelah melalui
tes integritas.
Namun control
assessment yang bersifat pro justisia terhadap kinerja penyidikan dan
penuntutan justru harus dilakukan oleh atasan yang memang memiliki keahlian
paripurna melebihi keahlian penyidik dan penuntut KPK serta sekaligus
menegakkan prinsip checks and balances .
Kelemahan
control assessment dari kelima pimpinan KPK dapat mengakibatkan terjadi
korban-korban penetapan tersangka yang keliru secara hukum sehingga rentan
terhadap pelanggaran hak asasi tersangka/terdakwa yang seharusnya memperoleh
perlindungan hukum sekaligus hak konstitusional yang bersangkutan. Ketentuan
bahwa KPK tidak boleh menerbitkan SP3 merupakan sinyal merah bagi kelima
pimpinan KPK dalam hal penetapan tersangka.
Sekali
terjadi kekeliruan–tanpa bukti permulaan yang cukup sekalipun hasil
penyadapan–, kekeliruan tersebut tidak dapat diperbaiki-dianulir. Jika hal
tersebut terjadi, terjadi pula korban-korban yang tidak berdosa yang tidak
perlu seperti pemblokiran rekening yang bersangkutan/istri dan anak-anaknya
maupun pencekalan dan penyitaan harta kekayaannya tanpa dasar hukum yang kuat
dan tidak jelas.
Hal-hal
sebagaimana telah diuraikan penulis bukan isapan jempol belaka, melainkan
fakta dari hasil pengamatan penulis terhadap kinerja KPK selama 2009 sampai
dengan 2014, termasuk hasil analisis Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan
Publik (LPIKP) di mana penulis sebagai direktur LPIKP.
Kontrol
eksternal terutama dari ICW dan koalisi LSM antikorupsi masih jauh dari
harapan penulis dari sisi akuntabilitas dan integritas sebagai lembaga
nonpartisan dalam pemberantasan korupsi yang diharapkan dapat membantu
kinerja KPK dengan kontrol yang ketat dan memberikan masukan introspeksi atas
kinerja KPK.
Alih-alih memberikan
kontribusi hukum yang bermanfaat, sebaliknya LSM Koalisi Antikorupsi hanya
fokus pada keberhasilan– output –secara kuantitatif, tetapi tidak memberikan
dampak outcome secara kualitatif mengenai ketaatan pimpinan KPK terhadap
asas-asas hukum pidana pada umumnya, khususnya asas legalitas termasuk asas
nonretroaktif.
Keberadaan
KPK untuk melengkapi kepolisian dan kejaksaan terbukti tidak juga dapat
menaikkan peringkat Indonesia dalam forum internasional pemberantasan
korupsi. IPK Indonesia, tahun 2014, hanya mencapai 34/100 dan peringkat
107/175, masih jauh di bawah Singapura (IPK 84/100, peringkat 7/175),
Malaysia (IPK 52/100, peringkat 50/175), dan Filipina (IPK 38/ 100, peringkat
85/175).
Dari sisi
penyelamatan kerugian keuangan negara yang diketahui LPIKP dari laporan
tahunan KPK, ternyata selama 2009-2014 KPK hanya berhasil menyelamatkan
kerugian keuangan negara sebesar Rp722.687.955.078, sedangkan kejaksaan
Rp6.637.161.971.801 (Laporan Penyelamatan Kerugian Keuangan Negara Tahun
2009-2014).
Solusi
pertama yang harus dipertimbangkan adalah merevisi UU KPK 2002, yaitu
strategi KPK mengutamakan pencegahan dan penindakan KPK hanya terbatas pada
kasus korupsi tertentu dengan memberikan perhatian pada ketentuan Pasal 11 UU
KPK 2002 yang diperluas. Selain itu strategi pencegahan juga harus memperkuat
pemerintah membangun sistem pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN
bekerja sama dengan inspektorat jenderal K dan SPI lembaga-lembaga negara
serta pengawasan secara intensif oleh deputi pencegahan KPK.
Solusi kedua,
untuk mencegah upaya hukum tersangka korupsi, KPK perlu bekerja sama dengan
Kejaksaan Agung untuk melimpahkan tahap penuntutan perkara tipikor kepada
kejaksaan. Solusi ketiga, perlu perluasan pengertian penyelenggara negara
sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 2 UU RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN sehingga dapat
menjangkau direksi dan pegawai BUMN/BUMD, termasuk anak perusahaannya.
Solusi
keempat, penguatan peningkatan kinerja KPK dengan mendayagunakan fungsi
trigger mechanism diperkuat oleh fungsi koordinasi dan supervisi (korsup)
yang selama ini dalam praktik tidak efektif memperkuat strategi pencegahan
KPK dan memperluas fungsi tersebut meliputi terhadap penyelenggaraan sistem
birokrasi di K/L.
Solusi kesatu
sampai keempat merupakan alternatif solusi ketika kelima pimpinan KPK jilid
IV harus melaksanakan UU KPK 2002—kecuali UU KPK hasil revisi melakukan
perubahan orientasi KPK jilid IV sebagaimana perkembangan terkini di Korea
Selatan. KPK Korea Selatan dibubarkan dan dialihkan ke Ombudsman dan fungsi
penuntutan ke Kejaksaan Agung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar