World Class University (WCU)
Asep Saefuddin ; Rektor Universitas Trilogi; Guru Besar
FMIPA IPB
|
MEDIA
INDONESIA, 15 Desember 2015
WCU atau World Class University ialah perangkingan
universitas di dunia berdasarkan kriteria tertentu. Fenomena WCU sering
muncul menjadi pembahasan para dosen, pimpinan universitas, birokrat
Kementerian Ristek dan Dikti, dan kopertis, baik dalam pertemuan formal
maupun informal. Di berbagai grup diskusi Watchap (WAG) yang saya ikuti, WCU
sering menjadi topik hangat.
Para petinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang
kini dilebur dengan Kemenristek itu sejak 10 tahun yang lalu berkeinginan ada
beberapa universitas yang masuk ke daftar 500 WCU. Sepertinya sungguh suatu
keberhasilan yang sangat membanggakan bila ada perguruan tinggi kita yang
tembus 500 besar.
Awalnya istilah WCU itu dilansir sekelompok peneliti SJTU
(Shanghai Jiao Tong University)
yang merangking universitas di dunia berdasarkan kriteria yang mencakup
kualifikasi dosen yang dicirikan dengan berbagai pengakuan dunia, termasuk
hadiah Nobel, hasil penelitian yang masuk ke sitasi ilmu-ilmu alam dan
sosial, paten yang dihasilkan, manajemen pendidikan tinggi, rasio mahasiswa
asing, reputasi alumni, sumber pendanaan, dan beberapa kriteria lainnya yang
mencirikan good university governance
(GUG). Majalah Time kemudian membuat rangking WCU dalam THES (Time Higher Education Series) dengan
kriteria yang relatif sama.
Dari kriteria mentereng itu, ada beberapa langganan
universitas di papan atas yang umumnya didominasi AS dan Inggris. Seperti
Harvard, Cambridge, Yale, MIT, Stanford, Oxford, Columbia, dan John Hopkins.
Universitas dari Asia yang selalu bertengger di 20 besar di antaranya Tokyo
University dan Peking University. Dari ASEAN, yang sering tercatat di 100
besar ialah NUS (National University of
Singapore), sedangkan Universiti Malaya sering juga bertengger di urutan
200 besar.
Dari Indonesia, jarang sekali ada universitas masuk papan
atas. Untuk 500 besar, pernah ada beberapa kampus, tapi keadaannya cukup
erratic, artinya tidak terlalu stabil.Kampus-kampus itu adalah UI, ITB, UGM,
dan IPB. Dengan mempelajari keadaan seperti ini, titik lemah yang ada di PT
Indonesia ialah masalah manajemen, otonomi PT, dan finansial. Sistem
manajemen tidak terlalu conform
dengan good university governance
(GUG).
Sisi profesionalitas GUG kita sangat lemah, terlalu
mengandalkan dosen yang dipaksakan masuk ke manajemen. Perubahan PTN menjadi
PTN BH (badan hukum) atau dulu disebut PT BHMN itu hanya mengubah struktur
dan pola pemilihan Rektor, tidak ditekankan pada penguatan profesionalitas
manajemen pendidikan tinggi. Perubahan nama unit dari biro ke direktorat
tidak dibarengi dengan pengisian sistem dan personalia yang mumpuni. Hampir
semua, direktorat itu diisi dosen yang bergelar doktor. Ini justru salah satu
titik lemah.
Pasalnya, dari segi keilmuan, tentunya seorang doktor sudah
sangat spesialis di bidangnya, bukan di tataran praksis manajemen. Selain
itu, mereka juga punya tugas pengajaran, penelitian, dan pengabdian
masyarakat.Alhasil, proses dan output tridharma serta manajemen pendidikan
tinggi menjadi tidak optimum.
Efek dari kelemahan sistem manajemen sebagai penggerak PT
itu terlihat dari munculnya indikator WCU yang tidak stabil. Kadang-kadang
baik, kadang-kadang anjlok. Berbeda dengan PT negeri jiran, kalau sudah masuk
urutan, cenderung mapan.
PT di Indonesia kurang memberdayakan staf pegawai nondosen
untuk menjalankan GUG. Terlalu loncat diambil alih dosen, seolah-olah dosen
itu serbabisa. Persoalan lain yang membuat performa PT Indonesia kurang prima
ialah minimnya otonomi kampus dan dukungan pendanaan. Kedua komponen itu
berkaitan.
PTN sering disuruh lari, tetapi pendanaan diatur dari
atas, mirip satuan kerja. Dana riset di Indonesia selain sangat kompetitif,
juga ribet. Kita tidak punya konsep block
grant untuk para dosen tanpa harus seluruhnya kompetisi.
Tidak adanya block
grant pembinaan telah menyebabkan keragaman kualitas dosen di Indonesia
sangat besar, bahkan pada tataran dasar sekali pun. Akibatnya, fondasi
keilmuan PT kita sangat lemah.
Keadaan itu menyebabkan atmosfer akademik PT kita kurang
berkembang. Akhirnya mahasiswa kurang up to date.Manakala lulus, mereka
seperti orang asing di negerinya sendiri, kelimpungan. Akhirnya, industri
sering melakukan training ulang untuk tenaga kerja baru. Mereka hampir tidak
peduli dengan latar belakang program studi calon pegawai. Ini jelas sebuah
kemubaziran yang nyata.
Adanya tunjangan struktural di unit-unit birokrasi kampus
itu juga membuat dosen-dosen bergelar doktor tergiur. Persoalan kecilnya
ialah dana universitas juga menambah kerunyaman manajemen. Sulit sekali
pimpinan kampus menerapkan sistem reward
and punishment secara ketat. Jika dibandingkan dengan kampus-kampus di
ASEAN, dana PT kita memang relatif kecil. Akhirnya, tembus WCU urutan 500 itu
sudah satu prestasi gemilang. Ada pepatah jangan mengharap ikan besar dari
pancing dan umpan yang kecil.
Terlepas dari itu semua, pada 2007 saya sebagai WR IV IPB
pernah mencoba main-main dengan indikator WCU. Pada tahap awal, kami
mendaftarkan untuk dikaji tim WCU. Pada tahap kedua, tim WCU IPB melacak
kegiatan-kegiatan riset dosen, mencatat alumni berprestasi, dan mencatat
jumlah mahasiswa asing (dari Timor Leste sekali pun). Semua data itu kami
tampilkan bahkan diunggah ke laman WCU dari THES (Time Higher Education Series). Alhasil, IPB sempat tembus 500
besar dan mendapat penghargaan Mendikbud kala itu. Artinya bisa dan saya
yakin data seperti itu di saat ini bukan barang sulit. Dus, untuk semua itu
bisa saja PT kita sudah berjalan, tetapi jangan lupa, PT-PT di dunia sedang
berlari.
Pada saat kami sedang sibuk mengumpulkan data untuk WCU,
Prof Sajogjo (wafat pada 2012) kebetulan mampir ke ruang WR IV. Dengan bangga
saya kabarkan kami sedang mempersiapkan data untuk WCU. Dengan gaya tenang,
Guru Besar Sosiologi Perdesaan itu berkata, “Untuk apa ikut-ikutan WCU. Apa maknanya untuk masyarakat? Apakah
dengan masuk ke WCU masyarakat kita termasuk yang di sekitar kampus itu
menjadi sejahtera? Kita tidak perlu membangun menara gading tergiring oleh
indikator WCU. Ingat masyarakat sangat memerlukan universitas.“
Suara pelan Prof Sajogjo itu sampai sekarang masih terngiang
di telinga saya. Mungkin ini bisa jadi renungan bagi para pengambil kebijakan
di Kemenristek dan Dikti untuk membuat pola rangking PT ala Indonesia dengan
memasukkan beberapa komponen, seperti kesejahteraan masyarakat dan lingkungan
hidup, agar kampus bukan menara gading. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar