Rabu, 16 Desember 2015

World Class University (WCU)

World Class University (WCU)

Asep Saefuddin  ;  Rektor Universitas Trilogi; Guru Besar FMIPA IPB
                                           MEDIA INDONESIA, 15 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

WCU atau World Class University ialah perangkingan universitas di dunia berdasarkan kriteria tertentu. Fenomena WCU sering muncul menjadi pembahasan para dosen, pimpinan universitas, birokrat Kementerian Ristek dan Dikti, dan kopertis, baik dalam pertemuan formal maupun informal. Di berbagai grup diskusi Watchap (WAG) yang saya ikuti, WCU sering menjadi topik hangat.

Para petinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang kini dilebur dengan Kemenristek itu sejak 10 tahun yang lalu berkeinginan ada beberapa universitas yang masuk ke daftar 500 WCU. Sepertinya sungguh suatu keberhasilan yang sangat membanggakan bila ada perguruan tinggi kita yang tembus 500 besar.

Awalnya istilah WCU itu dilansir sekelompok peneliti SJTU (Shanghai Jiao Tong University) yang merangking universitas di dunia berdasarkan kriteria yang mencakup kualifikasi dosen yang dicirikan dengan berbagai pengakuan dunia, termasuk hadiah Nobel, hasil penelitian yang masuk ke sitasi ilmu-ilmu alam dan sosial, paten yang dihasilkan, manajemen pendidikan tinggi, rasio mahasiswa asing, reputasi alumni, sumber pendanaan, dan beberapa kriteria lainnya yang mencirikan good university governance (GUG). Majalah Time kemudian membuat rangking WCU dalam THES (Time Higher Education Series) dengan kriteria yang relatif sama.

Dari kriteria mentereng itu, ada beberapa langganan universitas di papan atas yang umumnya didominasi AS dan Inggris. Seperti Harvard, Cambridge, Yale, MIT, Stanford, Oxford, Columbia, dan John Hopkins. Universitas dari Asia yang selalu bertengger di 20 besar di antaranya Tokyo University dan Peking University. Dari ASEAN, yang sering tercatat di 100 besar ialah NUS (National University of Singapore), sedangkan Universiti Malaya sering juga bertengger di urutan 200 besar.

Dari Indonesia, jarang sekali ada universitas masuk papan atas. Untuk 500 besar, pernah ada beberapa kampus, tapi keadaannya cukup erratic, artinya tidak terlalu stabil.Kampus-kampus itu adalah UI, ITB, UGM, dan IPB. Dengan mempelajari keadaan seperti ini, titik lemah yang ada di PT Indonesia ialah masalah manajemen, otonomi PT, dan finansial. Sistem manajemen tidak terlalu conform dengan good university governance (GUG).

Sisi profesionalitas GUG kita sangat lemah, terlalu mengandalkan dosen yang dipaksakan masuk ke manajemen. Perubahan PTN menjadi PTN BH (badan hukum) atau dulu disebut PT BHMN itu hanya mengubah struktur dan pola pemilihan Rektor, tidak ditekankan pada penguatan profesionalitas manajemen pendidikan tinggi. Perubahan nama unit dari biro ke direktorat tidak dibarengi dengan pengisian sistem dan personalia yang mumpuni. Hampir semua, direktorat itu diisi dosen yang bergelar doktor. Ini justru salah satu titik lemah. 
Pasalnya, dari segi keilmuan, tentunya seorang doktor sudah sangat spesialis di bidangnya, bukan di tataran praksis manajemen. Selain itu, mereka juga punya tugas pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat.Alhasil, proses dan output tridharma serta manajemen pendidikan tinggi menjadi tidak optimum.

Efek dari kelemahan sistem manajemen sebagai penggerak PT itu terlihat dari munculnya indikator WCU yang tidak stabil. Kadang-kadang baik, kadang-kadang anjlok. Berbeda dengan PT negeri jiran, kalau sudah masuk urutan, cenderung mapan.

PT di Indonesia kurang memberdayakan staf pegawai nondosen untuk menjalankan GUG. Terlalu loncat diambil alih dosen, seolah-olah dosen itu serbabisa. Persoalan lain yang membuat performa PT Indonesia kurang prima ialah minimnya otonomi kampus dan dukungan pendanaan. Kedua komponen itu berkaitan.

PTN sering disuruh lari, tetapi pendanaan diatur dari atas, mirip satuan kerja. Dana riset di Indonesia selain sangat kompetitif, juga ribet. Kita tidak punya konsep block grant untuk para dosen tanpa harus seluruhnya kompetisi.
Tidak adanya block grant pembinaan telah menyebabkan keragaman kualitas dosen di Indonesia sangat besar, bahkan pada tataran dasar sekali pun. Akibatnya, fondasi keilmuan PT kita sangat lemah.

Keadaan itu menyebabkan atmosfer akademik PT kita kurang berkembang. Akhirnya mahasiswa kurang up to date.Manakala lulus, mereka seperti orang asing di negerinya sendiri, kelimpungan. Akhirnya, industri sering melakukan training ulang untuk tenaga kerja baru. Mereka hampir tidak peduli dengan latar belakang program studi calon pegawai. Ini jelas sebuah kemubaziran yang nyata.

Adanya tunjangan struktural di unit-unit birokrasi kampus itu juga membuat dosen-dosen bergelar doktor tergiur. Persoalan kecilnya ialah dana universitas juga menambah kerunyaman manajemen. Sulit sekali pimpinan kampus menerapkan sistem reward and punishment secara ketat. Jika dibandingkan dengan kampus-kampus di ASEAN, dana PT kita memang relatif kecil. Akhirnya, tembus WCU urutan 500 itu sudah satu prestasi gemilang. Ada pepatah jangan mengharap ikan besar dari pancing dan umpan yang kecil.

Terlepas dari itu semua, pada 2007 saya sebagai WR IV IPB pernah mencoba main-main dengan indikator WCU. Pada tahap awal, kami mendaftarkan untuk dikaji tim WCU. Pada tahap kedua, tim WCU IPB melacak kegiatan-kegiatan riset dosen, mencatat alumni berprestasi, dan mencatat jumlah mahasiswa asing (dari Timor Leste sekali pun). Semua data itu kami tampilkan bahkan diunggah ke laman WCU dari THES (Time Higher Education Series). Alhasil, IPB sempat tembus 500 besar dan mendapat penghargaan Mendikbud kala itu. Artinya bisa dan saya yakin data seperti itu di saat ini bukan barang sulit. Dus, untuk semua itu bisa saja PT kita sudah berjalan, tetapi jangan lupa, PT-PT di dunia sedang berlari.

Pada saat kami sedang sibuk mengumpulkan data untuk WCU, Prof Sajogjo (wafat pada 2012) kebetulan mampir ke ruang WR IV. Dengan bangga saya kabarkan kami sedang mempersiapkan data untuk WCU. Dengan gaya tenang, Guru Besar Sosiologi Perdesaan itu berkata, “Untuk apa ikut-ikutan WCU. Apa maknanya untuk masyarakat? Apakah dengan masuk ke WCU masyarakat kita termasuk yang di sekitar kampus itu menjadi sejahtera? Kita tidak perlu membangun menara gading tergiring oleh indikator WCU. Ingat masyarakat sangat memerlukan universitas.“

Suara pelan Prof Sajogjo itu sampai sekarang masih terngiang di telinga saya. Mungkin ini bisa jadi renungan bagi para pengambil kebijakan di Kemenristek dan Dikti untuk membuat pola rangking PT ala Indonesia dengan memasukkan beberapa komponen, seperti kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup, agar kampus bukan menara gading. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar