Mengenang Ben
Anderson
Membangun Hidup Akademia
Daniel Dhakidae ; PhD in Government, Universitas Cornell,
di bawah bimbingan Ben Anderson
|
KOMPAS,
15 Desember 2015
Perkenalan kami berlangsung
profesional saat urusan penerimaan di universitas. Saya ke Cornell tanpa
melamar, dan lebih menjadi tindakan pro-aktif Ben Anderson dalam mencari
bakat di Indonesia untuk dididik menjadi peneliti dan mampu menyusun teori
sendiri tanpa harus bergantung kepada peneliti asing.
Setelah setahun di Cornell,
Amerika Serikat, suatu hari Ben berkata kepada saya: "Daniel, ada lamaran aneh dari
Indonesia; ini orang tidak ada ijazah secarik pun! Ijazah SMA tidak ada,
ijazah sarjana muda tidak ada, apalagi sarjana, dan mau ambil program doktor
di Cornell!"
Sesudah disebut nama, saya
katakan, saya tidak terlalu paham peraturan Cornell, tetapi saya berani
mengatakan orang tersebut intelijen, tipe manusia pekerja keras, dan tidak
ada masalah dengan bahasa-Inggris ataupun Belanda. Kemudian, lahirlah seorang
pemegang ijazah PhD, George J Aditjondro.
Pengalaman saya dan Aditjondro
menggambarkan betapa Prof Ben Anderson, yang begitu terpandang di Cornell,
seorang polyglot sejati yang menguasai mungkin 15 bahasa, dari Latin, Barat,
hingga Jawa Kuna, memberi perhatian kepada Indonesia. Dia begitu memiliki
komitmen pada studi Indonesia dan orang Indonesia sehingga berani
"pasang badan" mempertaruhkan wibawa profesorialnya untuk membela
orang seperti Aditjondro.
Ben
dan revolusi pemuda
Minat pada Indonesia diperoleh
dalam perkembangan studi sejak Cambridge sampai ke Universitas Cornell.
Namun, inilah orang yang masuk ke dunia akademia tingkat dunia berawal dari
studi Indonesia dan mengambil perspektif berbeda dari gurunya, Prof George
Kahin.
Gurunya membuka studi Indonesia
modern yang kelak diterbitkan menjadi buku sumber paling utama tentang
revolusi Indonesia, yaitu Nationalism
and Revolution in Indonesia. Penelitian gurunya mengambil suatu
pendekatan elitis dengan sumber-sumber yang duduk dalam pemerintahan atau mereka
yang berada di sampingnya.
Ketika memulai studi untuk
disertasi yang kelak dibukukan menjadi Java,
in Time of Revolution, dia mengubah haluan dengan hipotesis bahwa
revolusi Indonesia bukan diledakkan oleh "kaum intelektual yang
tersisihkan (alienated intelligentsia),
bukan oleh kelas tertindas (oppressed
classes), tetapi oleh pemuda, dengan penjelasan kultural bahwa ada suatu
yang disebut sebagai pemuda
consciousness, kesadaran sebagai pemuda yang menggerakkannya".
Salah satu bukti paling utama adalah
meledaknya "Perang Surabaya". Tiga contoh diberikan setelah 17
Agustus. Pertama, sejak 21 Agustus, organisasi pekerja penyulingan minyak
membentuk sayap Angkatan Muda dengan tokoh utama Sumarsono dan Ruslan Widjaja
yang sebelum perang berhubungan dengan Amir Sjarifuddin.
Kedua, setelah organisasi pemuda
terbentuk, maka minggu kedua September 1945, pawai (rally) ke seluruh kota
dimobilisasikan dan mengadakan pertemuan besar di Tambak Sari. Tanggal 11
September dengan pekik "merdeka", pertemuan diadakan dengan
pengawasan ketat pihak Jepang-delapan hari sebelum rally Ikada di Jakarta.
Ketiga, pada 17 September,
Angkatan Muda penyulingan minyak dalam pertemuan di Pasar Turi sudah menuntut
penye- rahan kantor-kantor dan pengambilalihan gedung-gedung. Rangkaian gerak
itu berujung pada 10 November 1945.
Tanpa berpanjang lebar dengan
semua bukti tesis Ben Anderson bahwa pemuda consciousness itu terus menjadi
motor pergerakan dari masa ke masa. Terlepas dari semua kontroversi, para
pemudalah yang menjatuhkan Soekarno. Soeharto tidak dapat bertahan ketika
pemuda menduduki DPR dan MPR. Sangat mungkin yang disebut pemuda
consciousness itu akan tetap berlangsung, mengintip, dan menekan rezim yang
bertentangan dengan rakyat.
Peristiwa
1 Oktober 1965
Kontroversi terbesar Ben Anderson
dalam hubungan dengan sejarah Indonesia adalah posisi- nya ketika berhadapan
dengan Orde Baru. Kelihatan Ben Anderson sebagai cendekiawan sejati dengan
etos tua, sebagaimana dikembangkan dan dibela habis-habisan Julien Benda, yaitu
ethos la fidelité des clercs, kesetiaan seorang cendekiawan terhadap prinsip
kejujuran akademik dan membelanya sebagai nilai-nilai abadi tanpa memedulikan
kepentingannya sendiri.
Masalah paling utama adalah apa
yang disebut sebagai "Cor- nell Paper", nama yang tidak dikenal di
Universitas Cornell, persis seperti restoran padang yang tidak dikenal di
Padang.
Ketika meledak peristiwa 1
Oktober, semua warga dijejali pikiran bahwa pembunuh para jenderal adalah
orang-orang Partai Komunis Indonesia. Kita kemudian tahu bahwa yang menjadi
pembunuh adalah seorang letnan dari kesatuan itu, kapten dari kesatuan ini,
dan letkol dari kesatuan lain lagi.
Namun, di sekolah selalu dikatakan
kelihatannya saja mereka tentara, tetapi hati, jantung, dan otaknya adalah
manusia PKI. Ben Anderson membuka tabir itu sejak bulan-bulan awal.
Awal tahun 1966, dia ke Indonesia
untuk meneliti masalah tersebut yang hasilnya dimuat dalam bentuk laporan
200-an halaman dengan judul dingin, sedingin salju di Ithaca, kota tempat
Cornell berada: "A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in
Indonesia", Interim Report Series; "Analisis Sementara Kudeta 1
Oktober 1965".
Awalnya laporan itu dikirim ke
beberapa kolega profesor, tak lebih dari tujuh orang, untuk
dikomentari/dibantah dengan catatan besar "for your eyes only",
hanya untuk Anda sendiri.
Kalau Ben Anderson memegang teguh
ethos la fidelité des clercs, terutama terhadap kejujuran, seorang koleganya
yang tidak perlu saya sebut namanya justru berprinsip sebaliknya, yang oleh Benda,
disebut la trahison des clercs, pengkhianatan intelektual demi kepentingannya
dan mengirimnya ke penguasa Orde Baru; maka sejak itu nama itu diberikan
Jakarta menjadi "the Cornell Paper".
Secara singkat bisa dikatakan
laporan itu langsung memusatkan diri pada Divisi Diponegoro, dan membagi dua
jenis tentara divisi itu. Pertama adalah tipe serdadu "pembela
negara" yang mengerjakan apa pun yang diperintah atasan demi kepentingan
negara. Mereka anti PKI, anti Islam, anti kiri, anti kanan, dan tidak politis.
Kedua adalah "tentara
Nasakom", yang condong ke kiri, lebih politis, radikal, nasionalis garis
keras. Jenis kedua inilah yang mengambil sikap keras terhadap
jenderal-jenderal intelektual di Staf Umum Angkatan Darat (SUAD), yang
kejakarta-jakartaan, bergaul dalam bahasa asing. Isu "Dewan
Jenderal" sangat mudah termakan tentara jenis kedua di atas.
Di tengah ada Soeharto yang
terkenal dengan keberanian individual, tidak macam-macam, berpendidikan
formal serba sedikit, lebih dekat ke Diponegoro yang memang berasal dan
pernah memimpin di sana.
Dengan tipologi seperti ini dan
melihat latar belakang para pelaku kekerasan penembakan terhadap
jenderal-jenderal, Cornell Paper mengambil kesimpulan bahwa peristiwa 1
Oktober 1965 adalah masalah interen AD. Itulah upaya kaum muda tentara untuk
menyingkirkan jenderal-jenderal dari SUAD, yang dianggap intelektual,
sombong, kaya, dan korup.
Kesimpulan inilah yang menjadi
pembuka kotak pandora dan mengeluarkan 1.001 bencana. Pertama, kalau itu
menjadi wacana publik, pembunuhan jutaan orang dan pembunuhan sosial
anak-cucunya atas nama PKI menjadi kebengisan demi kebengisan. Kedua, seluruh
legitimasi Soeharto hilang pupus dimakan Cornell Paper. Dengan alasan itulah,
dia dilarang masuk Indonesia, menjadi persona non-grata.
Ben Anderson melawan dan menderita
sendirian meski Cornell Paper ditulis beberapa orang dan menanggung
"pembuangan" dari Indonesia selama 26 tahun (1973-1999). Dia hanya
bisa diselamatkan oleh reformasi, yang dalam analisis lebih lanjut memenuhi tesisnya
sendiri tentang pemuda consciousness yang menjatuhkan Soeharto.
Kematiannya yang mendadak dan
dalam arti tertentu banyak hubungan dengan tesis pemuda consciousness itu.
Dalam 26 tahun "pembuangan", dia berhubungan dengan anak-anak muda
yang terhimpun dalam berbagai organisasi, seperti Bambu Runcing dan
lain-lain. Terakhir adalah pemuda-pemuda yang berhimpun dalam penerbit Margin
Kiri yang menerbitkan terjemahan bukunya, Under Three Flags, yang membahas
anarkisme dan imajinasi anti kolonial.
Semuanya menghubungkan apa yang
diidamkan Ben Anderson sejak muda, yaitu, pertama, Indonesia-studinya,
tanahnya, orangnya; terutama, kedua, pemudanya; dan ketiga, akhirnya
seolah-olah dia merancang kematiannya sendiri dengan meluncurkan buku di
Jakarta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar