Senin, 14 Desember 2015

Skandal Persekongkolan Freeport

Skandal Persekongkolan Freeport

Fahmy Radhi  ;  Pengajar UGM; Mantan Anggota Tim Anti-Mafia Migas
                                               KORAN TEMPO, 08 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Terkuaknya skandal persekongkolan perpanjangan kontrak karya (KK) Freeport semakin menorehkan noda kelam dalam perjalanan panjang KK Freeport di Indonesia. Menurut hasil rekaman percakapan—yang diduga dilakukan antara Ketua DPR Setya Novanto, pengusaha Muhammad Riza Chalid, dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PT FI) Maroef Sjamsoeddin—terungkap bahwa skandal persekongkolan perpanjangan KK Freeport dilakukan dengan mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden untuk mendapatkan saham Freeport.

Terbongkarnya skandal itu sesungguhnya mengkonfirmasi indikasi skandal persekongkolan serupa yang terjadi pada saat perjanjian kontrak karya Freeport ditandatangani pertama kali pada 1967 maupun pada keputusan perpanjangan KK Freeport pada 1991. Adanya praktek persekongkolan Freeport yang berkelanjutan ini diduga menjadi faktor utama terjadinya "perampokan legal" terhadap kekayaan alam bumi Papua yang sudah berlangsung selama hampir 50 tahun.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Modal Asing, kontrak karya Freeport ditandatangani pertama kali pada 7 April 1967 antara pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia, anak perusahaan Freeport McMoran Copper & Gold Inc. PT FI memperoleh konsesi wilayah penambangan lebih dari 1.000 hektare dengan waktu konsesi selam 30 tahun. Anehnya, perjanjian kontrak karya saat itu tidak secara tegas mengatur porsi pembagian saham dan royalti yang harus diberikan kepada pemerintah Indonesia. Mengemukanya keanehan itu tidak menutup kemungkinan adanya indikasi skandal suap di balik keputusan itu.

Anomali kembali muncul pada saat diputuskan perpanjangan kontrak karya Freeport pada 1991. Perpanjangan itu seharusnya diputuskan pada 1997, tapi enam tahun sebelum berakhirnya masa kontrak, KK Freeport sudah diperpanjang lagi selama 20 tahun, hingga berakhir pada 2021. Keanehan lainnya adalah adanya keputusan penambahan area penambangan dan penentuan pembagian saham serta penetapan royalti. Pemerintah RI mau-maunya memberikan tambahan area penambangan hingga menjadi 2,6 juta hektare dan bersedia menerima begitu saja pembagian saham hanya sebesar 9,36 persen, sedangkan PT Freeport Indonesia menggenggam saham mayoritas sebesar 90,64 persen. Adapun royalti yang diberikan PT FI kepada pemerintah RI hanya 1-3,5 persen.

Perpanjangan kontrak karya pada 1991 ternyata tidak lepas dari adanya persekongkolan makelar saham yang menangguk keuntungan besar atas jasanya memfasilitasi perpanjangan KK Freeport pada saat pemerintahan Orde Baru. Konon, pada saat itu pejabat setingkat menteri dan pengusaha beserta kroni-kroninya mendapat pembagian sejumlah saham dari PT Freeport Indonesia. Namun, tidak berapa lama kemudian, saham tersebut dijual kembali kepada PT FI.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014, proses renegosiasi perpanjangan KK Freeport hanya bisa dilakukan dua tahun sebelum kontrak berakhir, yakni pada 2019. Namun Chairman Freeport-McMoran James Robert Moffett dan Direktur Utama PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin sangat agresif melobi Presiden, Menteri ESDM, dan Ketua DPR dengan tujuan mengupayakan perpanjangan KK Freeport. Ini untuk mengamankan rencana investasi sebesar US$ 81 miliar atau Rp 1.215 triliun untuk membiayai penambangan bawah tanah.

Di luar alasan itu, pemimpin Freeport sesungguhnya sangat khawatir akan kemerosotan tajam harga saham Freeport-McMoRan (FCX) secara berkelanjutan akibat tidak adanya kepastian perpanjangan KK Freeport. Setelah mengalami penurunan dalam dua pekan lalu, saham FCX memang sempat rebound sebesar 3,75 persen hingga harganya US$ 8,33 per saham pada November 2015. Namun, sejak awal 2015, saham FCX cenderung mengalami kemerosotan secara akumulatif hingga 64,23 persen dalam setahun. Penurunan saham itu telah menggerogoti modal FCX sendiri, sehingga total debt equity ratio (rasio utang terhadap ekuitas) mencapai minus 189,09 persen, yang berarti total utang FCX lebih besar daripada total modal sendiri.

Barangkali kemerosotan harga saham dan modal sendiri Freeport-McMoran ini menjadi pendorong utama pemimpin Freeport ngotot untuk memaksakan perpanjangan KK Freeport. Sayangnya, upaya itu dilakukan dengan menghalalkan berbagai cara, termasuk melakukan persekongkolan untuk perpanjangan KK Freeport, yang melibatkan Ketua DPR dan pengusaha. Untungnya, persekongkolan tersebut segera terbongkar. Kalau skandal persekongkolan perpanjangan KK Freeport tidak terbongkar, barangkali KK Freeport akan diperpanjang dalam waktu dekat ini. Dalam perpanjangan tersebut, porsi pembagian saham antara PT FI dan pemerintah Indonesia tidak jauh berbeda dengan porsi pembagian saham pada keputusan perpanjangan kontrak karya 1991.

Terkuaknya skandal persekongkolan ini merupakan momentum yang tepat bagi Presiden Jokowi untuk memanfaatkan hasil tambang Freeport sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat, bukan lagi bagi kemakmuran perusahaan asing, bukan pula bagi para makelar pemburu rente. Presiden harus segera memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak karya Freeport. Pada saat berakhirnya KK Freeport pada 2021, pengelolaan Freeport diserahkan sepenuhnya kepada BUMN, yang seratus persen sahamnya dikuasai oleh negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar