Sisi Progresif Kebudayaan
Ignas Kleden ;
Sosiolog, tinggal di Jakarta
|
KOMPAS,
04 Desember 2015
Kurun waktu 1980-an
hingga 1990-an dikenal dalam kalangan ilmuwan sosial sebagai masa terjadinya cultural turn, tatkala kebudayaan
mendapat perhatian besar dan aktualitas baru dalam bidang-bidang pendidikan,
bisnis, politik, dan pembentukan struktur sosial, hingga ke teori-teori
revolusi.
Masa ini muncul
setelah lewat dasawarsa 1970-an ketika terjadi structural turn, berupa dominannya teori-teori struktural dalam
ilmu sosial di bawah pengaruh Theda Skocpol, Jeffery Paige, dan Charles
Tilly, untuk menyebutbeberapa nama terpenting, yang menerapkan pendekatan
struktural dalam studi mereka tentang perubahan sosial umumnya danrevolusi
sosial khususnya.
Tiga aliran besar
Bangkitnya perhatian
luas dan mendalam kepada kebudayaan terjadi berkat pengaruh pertemuan tiga
aliran besar dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu menguatnya sosiologi kebudayaan di
Amerika Serikat yang sebagian besar berpusat di Universitas Yale, munculnya
cultural studies Inggris yang digerakkan pada awalnya oleh Birmingham Centre for Contemporary
Cultural Studies, dan berkembangnya post-strukturalisme di Perancis yang
kemudian menyebar ke berbagai akademia di negara-negara lain.
Cultural studies di Inggris, yang diterjemahkan dengan kajian
budaya, dimulai tahun 1960-an oleh Stuart Hall dan rekan-rekannya, dengan
memberi fokus baru dalam studi kebudayaan, berupa hubungan kebudayaan dengan
kelas sosial, ras, dan jender, demi memberi perhatian kepada
kelompok-kelompok yang dianggap minoritas kualitatif menghadapi kelas
dominan. Pendekatan kajian budaya ini disambut di negara-negara berkembang
dengan karya-karya yang kemudian melahirkan teori-teori post-kolonial dan
post-modernisme sebagaimana terlihat dalam studi-studi Edward Said, Fredric
Jameson, dan Aijaz Ahmad, yang diperkuat oleh studi sejenisnya di Amerika
Latin.
Pemikiran dan metode
kajian budaya disambut di Amerika oleh orang-orang, seperti James Scott yang
meneliti secara khusus kelompok tertindas, seperti para petani di desa-desa,
yang melakukan perlawanan terhadap kelas-kelas dominan dengan mengembangkan
apa dinamakannya hidden transcript,
berupa wacana yang tersembunyi bagi kelompok-kelompok luar dan hanya bisa
dipahami kalangan petani yang senasib. Bukunya tentang petani di desa-desa
Malaysia berjudul Weapons of the Weak:
Everyday Forms of Peasant Resistance (Senjata
Kaum Lemah: Bentuk-bentuk Perlawanan Petani dalam Kehidupan Sehari-hari)
dan Moral Economy of Peasants, yang
sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, menjadi Moral Ekonomi Petani, dapat
banyak bercerita tentang senjata kaum lemah ini.
Di Perancis, Michel
Foucault menggagas pandangan alternatif tentang kekuasaan, sebagai entitas
yang tidak bersifat terpusat, tetapi tersebar dalam berbagai bentuk dan
berasal dari berbagai sumber. Kekuasaan tak hanya berbentuk kekuasaan
politik, tetapi dapat ditemukan dalam pendidikan, perdagangan,persahabatan,
percintaan, hubungan seks, dan berbagai bentuk lain. Dalil Sigmund Freud tentang
seksualitas, sebagai suatu tenaga yang difus dan tak terkonsentrasi hanya
pada alat genital tubuh manusia, dikembangkan oleh Foucault secara berhasil
pada kekuasaan sebagai suatu kekuatan yang juga menyebar dan bukan terpusat
pada satu sumber. Dia mendorong cara baru penulisan sejarah, dengan
menggunakan konsep genealogi, yaitu bagaimana kekuasaan terlibat dalam
interseksi dengan wacana-wacana tertentu, dan kemudian
melahirkanpranata-pranata, seperti penjara modern, klinik rumah sakit,
asylum, disiplin akademis, pemikiran tentang seksualitas, peradaban,
ketertiban dan hukuman, dan berbagai pranata modern lain.
Semua ini dilakukannya
dengan menerobos batas-batas strukturalisme, dan menerobos juga batas-batas
disiplin ilmu sehingga dia tidak peduli apakah dia sebenarnya seorang
psikolog, sosiolog, filosof atau ahli sejarah. Pengetahuan yang ada sekarang
hanya dapat dipahami kalau orang mengetahui riwayat pengetahuan itu dan
evolusinya dalam sejarah, dan memahami arkeologi pengetahuan itu, untuk
menemukan di mana terdapat kesinambungan atau keterputusan epistemologis
dalam perkembangannya, dan mengapa terdapat kontinuitas dan mengapa terjadi epistemological rupture.
Pemikirannya menerobos
berbagai negara dan mendapat sambutan yang khusus di AS pada 1970-an. Dalam
penilaian tentang Clifford Geertz dan karyanya sebagai pendasar sosiologi
kebudayaan di AS, Robert Darnton, university professor di Harvard dan jadi
direktur perpustakaan di universitas itu berkomentar, ilmu sejarah dan
antropologi seakan dua disiplin yang berpasangan, diciptakan satu untuk yang
lainnya. Karena, sejarawan mempelajari apa yang jauh dalam waktu, sementara antropolog
menyelidiki apa yang jauh dalam ruang. Tahun 1970-an kedua disiplin itu
seakan terlibat dalam love affair
di tangan Geertz. Dalam pemahaman saya, kesan yang dilukiskan Darnton, sangat
mirip dengan yang dilakukan Foucault.
Gelombang ketiga
adalah sosiologi budaya di AS, yang mendapat bentuknya yang mantap tahun
1980-an, meski dasar-dasarnya sudah ada dalam karya-karya Geertz, dan
dikembangkan lebih lanjut melalui Center
for Cultural Sociology di Universitas Yale dengan tokoh-tokoh, seperti
Jeffrey C Alexander, Ron Eyerman,Philip Smith, dan Matthew Norton. Mereka
menerbitkan jurnal Cultural Sociology sebagai forum akademis dan intelektual
untuk mematangkan gagasan mereka tentang sosiologi kebudayaan.
Ciri khas sosiologi
budaya adalah penekanan pada penelitian empiris dengan menggunakan
teori-teori yang diterapkan dalam berbagai variasi untuk berbagai kasus yang
diteliti. Teori tak diperlakukan secara ketat dan rigoristis, tetapi dianggap
tunduk pada theoretical inflection agar dapat menampung lebih banyak insight
dari lapangan, sebagaimana dilakukan Geertz dalam berbagai penelitiannya.
Bisa dikatakan, peranan Geertz bagi sosiologi kebudayaan di AS, kurang lebih
sama dengan peranan Raymond Williams untuk lahirnya kajian budaya di Inggris.
Bedanya, dalam
sosiologi budaya terbanyak penelitian dilakukan di luar AS, sedangkan
Williams meneliti kebudayaan dan masyarakat Inggris dalam kurun 1780–1950,
seperti juga Foucault meneliti seluruh arsip Perancis tentang penjara untuk
menelusuri telaahnya tentang arkeologi penjara dan hukuman. Beda yang lain
ialah sosiologi budaya tak secara khusus menonjolkan aspek politis, sedangkan
kajian budaya dan post-strukturalisme memandang kebudayaan dari segi politis,
dengan menerapkan secara asimetris fungsi kebudayaan sebagai legitimasi
kekuasaan politik.
Apa yang patut dicatat
ialah kebudayaan punya atau diberi peran jauh lebih luas dari fungsinya dalam
menciptakan integrasi sosial-budaya. Berbagai potensi energi yang tertutup
dalam pengertian integrasi sosial-budaya, disingkapkan, diungkapkan, dan
diperlihatkan melalui penelitian tentang perubahan sosial-budaya. Dalam batas
terjauh John Foran, sosiolog dari Universitas California, menerbitkan buku
yang dieditnya berjudul Theorizing
Revolutions (1997). Dua bab yang ditulisnya, dan jadi titik-tolak artikel
yang sedang Anda hadapi ini, menekankan peranan kebudayaan dalam mendukung
perlawanan dan oposisi kelompok-kelompok yang mengalami marjinalisasi menjadi
minoritas kualitatif dengan hak-hak dan kesempatan hidup serba terbatas.
Kebudayaan sebagai political culture of
resistance and opposition memungkinkan lahirnya solidaritas dan koalisi
yang luas di antara mereka yang dalam posisi lemah. Kebudayaan keluardari
wataknya yang apolitis sebagaimana terdapat dalam etnologi dan antropologi
budaya, jadi sarana politis dalam perjuangan untuk perubahan sosial menembus
kemapanan yang menyembunyikan banyak ketidakadilan.
Dalam paham-paham yang
baru diuraikan, kebudayaan tidak hanya dilihat dalam hubungan dengan
integrasi sosial-budaya, tetapi juga dan bahkan terutama dalam hubungan
dengan kekuasaan secara politis dan dominasi secara sosiologis. Kebudayaan
bukanlah entitas tunggal yang serba padu, tetapi mengandung berbagai lapis
yang berhubung dengan segmen-segmen dalam struktur sosial dengan kepentingan
yang berbeda.
Perspektif baru
Hadirnya perspektif
baru kebudayaan di antara para peneliti dan pengkaji kebudayaan, memberi
tawaran dan sekaligus membuka tantangan terhadap kebiasaan kita memandang dan
memperlakukan kebudayaan. Apakah cara kita memandang dan memperlakukan
kebudayaan tetap dapat dipertahankan dalam menghadapi perkembangan baru dalam
wacana, temuan dan kajian tentang kebudayaan? Selalu butuh pengujian kembali
pemahaman dan penghayatan kita tentang kebudayaan. Akan selalu ada dan perlu
ada kontestasi antara pandangan yang biasa dianut partisipan kebudayaan,
yaitu orang-orang yang hidup dalam suatu kebudayaan, dengan pandangan lain
yang berkembang dalam wacana tentang kebudayaan, khususnya oleh orang-orang
yang melihat kebudayaan tak sebagai partisipan, tetapi sebagai pengkaji,
pengamat, dan peneliti.
Dalam istilah Williams
kebudayaan yang diharap berkembang dan sanggup memperbarui dirinya, haruslah
berhadapan dengan kritik kebudayaan dan membuka diri terhadapnya. Kontestasi
dan pengujian itu berlaku untuk nilai-nilai dan perilaku budaya, khususnya
nilai dan perilaku yang dianggap unggul atau luhur. Kritik kebudayaan dalam
bentuk kontestasi ini dibutuhkan karena beberapa alasan yang saling
berkaitan.
Pertama, nilai-nilai
budaya tak bersifat final dan imun, tetapi selalu dipengaruhi perubahan
sosial, ekonomi, dan politik. Tak mungkinlah dalam kehidupan di kota-kota
besar di Indonesia sekarang orang masih mengharapkan bertahannya kerukunan,
tolong-menolong, gotong royong, dan kekeluargaan sebagaimana terdapat di desa-desa
di mana semua orang saling mengenal dan banyak anggota komunitas punya
hubungan kekeluargaan dan kekerabatan. Sampai tingkat tertentu terjadi
pergeseran dari Gemeinschaft ke Gesellschaft atau peralihan dari
solidaritas mekanis ke solidaritas organis sebagaimana diajarkan E Durkheim.
Itu sebabnya, kalau masih ada klaim saat ini tentang kekeluargaan, gotong
royong, dan keharmonisan yang rukun dalam kebudayaan di kota-kota modern di
Indonesia, maka jelas tidak realistisdan menutup mata terhadap perubahan
budaya yang berlangsung bersama dan di bawah pengaruh atau tekanan dalam
bidang-bidang lain.
Kedua, kebudayaan juga
tak pernah monolitik dalam wataknya. Maksudnya, nilai-nilai dan perilaku yang
berlaku dan diterima dalam kalangan tertentu sangat mungkin asing atau tak
diterima dalam kelompok lain, yang berbeda kelas sosial atau berbeda kelompok
etniknya. Sebagai contoh, apakah ketika berbicara dengan pihak lain orang
harus berbicara keras dan lantang atau harus berbicara dengan suara rendah
yang halus? Apakah berbicara dengan suara lantang adalah santun, karena
memudahkan lawan-bicara segera mendengar dan menyimak, ataukah santun kalau
orang bersuara rendah dan halus, agar tidak mengagetkan lawan-bicara?
Ketiga, hubungan
kebudayaan dengan politik dan ekonomi patut diuji kembali karena penuh dengan
asimetri yang mengaburkan realitas. Dalam politik, kebudayaan dirujuk kalau
ada keperluan membenarkan suatu tindakan politik. Akan tetapi, kalau
kebudayaan yang sama dirujuk untuk suatu kritik politik, ini dianggap tak
sesuai watak kebudayaan. Demikian pun kalau pembangunan ekonomi berhasil,
kebudayaan dianggap jadi tenaga pendorong kemajuan dan pertumbuhan ekonomi,
seperti dipercaya dalam mitos Asian Values, khususnya dalam teori tentang
keunggulan kebudayaan Sinik yang dimaklumkan oleh Huntington dan mungkin
dipercaya sekali oleh Lee Kuan Yew di Singapura. Sebaliknya kalau ekonomi tak
berkembang, tak dijelaskan mengapa gerangan kebudayaan gagal mendorong
kemajuan ekonomi, tetapi dipersalahkan orang- orang yang hidup dalam
kebudayaan itu, yang seakan diblokir kemampuan mereka oleh halangan-halangan
mental.
Dari perspektif itu
gagasan Presiden Joko Widodo tentang Nawacita, dapat dipandang sebagai suatu
kerangka budaya atau cultural framework untuk menggerakkan politik dan
ekonomi Indonesia secara baru. Kebudayaan tak hanya dilihat sebagai sarana
integrasi sosial-budaya, tetapi sebagai sarana untuk melakukan cultural
resistance terhadap berbagai hubungan timpang akibat dominasi yang
berlebihan. Gagasan memperkuat sektor strategis dalam ekonomi domestik adalah
panggilan untuk melakukan resistensi terhadap dominasi global dalam ekonomi.
Gagasan menggerakkan
pembangunan dari pinggir dengan memperkuat desa-desa adalah intuisi untuk
melakukan resistensi terhadap sentralisme yang demikian dominan dalam ekonomi
dan politik. Imbauan untuk menekankan pentingnya pendidikan karakter adalah
jalan kepada resistensi terhadap pragmatisme politik, konsumerisme ekonomi,
dan sikap permisif dalam moralitas.Kalau saja para pelaksana pemerintahan,
seperti menteri kabinet dapat menangkap semangat Nawacita sebagai kerangka
budaya untuk pembangunan, kita dapat berharap banyak untuk Indonesia dalam
masa depan yang dekat, setelah kebudayaan memperlihatkan sisinya yang lain
dengan wataknya yang progresif berupa resistensi kreatif yang menggerakkan
perubahan menuju kemajuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar