Sabtu, 19 Desember 2015

RUU Contempt of Court Ancam Demokrasi?

RUU Contempt of Court Ancam Demokrasi?

W Riawan Tjandra  ;  Pengajar Senior dan Ketua Bagian Hukum Acara
pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
                                                KORAN SINDO, 17 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Draf RUU Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan atau yang lebih dikenal sebagai RUU Contempt of Court (CoC) sungguh mengagetkan dan menjadi ancaman sangat serius bagi demokrasi di negeri ini.  RUU tersebut lebih menyerupai produk legislasi yang bersifat tirani dan bakal mengancam kebebasan pers maupun menjadi racun pembunuh demokrasi di negeri beradab ini.

Tengoklah beberapa ketentuan dalam RUU CoC tersebut yang dikhawatirkan akan mengubah wajah peradilan yang selama ini masih terlihat kusam dengan kejadian kasus-kasus korupsi peradilan (judicial corruption), menjadi berwatak tiran, dan berwajah diktator. Entah apa yang menjadi latar belakang pemikiran Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) sehingga sampai menelurkan RUU yang bisa menjadi momok bagi demokrasi dan berpotensi menebarkan kebencian dari meja hijau yang siap menyeret para pengkritik peradilan menjadi pesakitan di bui.

Setiap orang yang mengakibatkan terganggunya peradilan diancam pidana enam tahun penjara dan denda Rp100 juta, demikian yang diatur pada Pasal 17 RUU CoC. Pasal 19 RUU CoC mengatur bahwa setiap orang yang menghina hakim atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim terancam pidana maksimal enam tahun penjara dan denda maksimal Rp100 juta. Pasal 24 RUU CoC mengancam bagi setiap orang yang memublikasikan proses persidangan yang bertendensi memengaruhi kemerdekaan atau sifat tak memihak hakim dengan ancaman pidana maksimal 10 tahun penjara atau denda Rp1 miliar. Ancaman pidana atau denda yang sama juga terdapat pada Pasal 49 RUU CoC terhadap publikasi yang bertendensi dapat memengaruhi penyelenggaraan peradilan dengan memublikasikan perkara yang sedang berlangsung atau masih aktif.

Bahkan terdapat pengaturan represif yang tak lazim dalam sistem hukum acara yang mengancam saksi yang tidak mau menjawab atau menolak menjawab pertanyaan dengan ancaman penjara maksimal lima tahun dan dengan maksimal Rp75 juta. Demikian pula setiap orang yang tak datang sebagai saksi, ahli, atau juru bahasa atau tidak memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi diancam dengan penjara maksimal satu tahun atau denda maksimal Rp7,5 juta.

Sejatinya, saat ini sudah ada persebaran ketentuan “Contempt of Court“ di beberapa aturan dalam KUHP. Hal itu menunjukkan bahwa perlindungan terhadap wibawa hakim sesungguhnya sudah dijamin dalam KUHP. Dengan demikian, RUU CoC tampaknya tidak mendesak untuk diatur, atau lebih tepatnya RUU CoC hanya berisi peraturan yang mengatur ulang ketentuan KUHP. Ketentuan-ketentuan dalam RUU tersebut alih-alih dapat meningkatkan wibawa peradilan, justru bisa terjadi pemberangusan demokrasi yang kini seharusnya dapat menjadi penopang tegaknya negara hukum demokratis.

Dengan masih banyaknya perilaku koruptif di lingkungan peradilan yang menyeret sejumlah hakim maupun panitera dalam kasus-kasus korupsi, RUU CoC justru akan menjadi perlindungan bagi para koruptor yang bersembunyi di balik toga hakim maupun seragam panitera peradilan. RUU CoC justru terkesan paradoks dengan berbagai upaya untuk menyemaikan kehidupan demokrasi dan akuntabilitas peradilan.

Wibawa peradilan tak perlu dibangun di atas pasal-pasal penebar teror semacam itu, namun seharusnya dibangun melalui sikap dan perilaku para hakim serta kinerja peradilan yang sungguh-sungguh dapat mewujudkan nilai-nilai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi para pencari keadilan.
Lembaga peradilan tak perlu membangun “benteng” bagi diri mereka di tengah masih rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan yang dinilai masih sarat dipenuhi praktik-praktik korupsi peradilan oleh mafia peradilan. Peradilan masih belum dilihat sebagai institusi yang mampu memberikan solusi keadilan yang mampu menyelesaikan sengketa/konflik di masyarakat, namun justru masih dilihat sebagai bagian dari permasalahan struktural yang harus diperbaiki secara serius.

Seluruh larangan yang ada dalam RUU CoC sudah diatur secara terpisah dalam KUHP yang saat ini berlaku. Seperti Pasal 33 RUU CoC yang melarang saksi memberikan keterangan tidak benar di muka sidang pidana, padahal aturan ini sesungguhnya sudah diatur dalam Pasal 242 ayat (2) KUHP dengan ancaman pidana sembilan tahun penjara. Tidak terlihat urgensi untuk melanjutkan legislasi RUU CoC yang justru menjadi bagian dari permasalahan bangsa. Para oknum hakim yang “gatal” telinganya karena banyaknya kritik atas putusan-putusan aneh yang dihasilkannya dalam sistem peradilan yang masih sarat dengan berbagai perilaku koruptif terlihat ingin memaksakan agar RUU CoC tersebut dapat menjadi bagian dari Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2016.
Hakim yang baik tak perlu takut putusannya dikritik oleh masyarakat asalkan yang bersangkutan dalam memutuskan sungguh-sungguh bermahkota keadilan, bukan bermahkota gratifikasi.

Hakim yang memutus “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” seharusnya bisa menjamin tegaknya negara hukum yang demokratis, bukan justru sibuk membentengi diri dengan pasalpasal yang berpotensi mengkriminalisasikan pers maupun pengkritik peradilan. Setelah sukses melucuti jangkauan kewenangan Komisi Yudisial dalam mekanisme seleksi para hakim, kini semakin besar keinginan untuk melucuti jangkauan pengawasan masyarakat terhadap kinerja peradilan dengan menebar pasal-pasal teror demokrasi dan kebebasan pers. Jika RUU tersebut sampai diundangkan, dunia peradilan akan semakin terlihat menjadi monster bagi demokrasi dan tertutup yang bisa mengarah pada pembusukan peradilan. Alih-alih menguatkan independensi hakim, RUU yang sudah ada di meja DPR itu malah bisa membuat kekuasaan hakim tak terkontrol.

Konsep Contempt of Court tidak tepat digunakan dalam konsep peradilan pidana di Indonesia. Di Indonesia hakim memegang kekuasaan yang begitu besar yaitu hakim sebagai pengendali utama peradilan, kedudukan jaksa dan terdakwa juga berbeda karena pembuktian sudah dimulai dari tahapan penyidikan. Di Indonesia konsep ini tidak dibutuhkan karena hakim memiliki kekuasaan besar yang tidak perlu ditutup dengan konsep CoC. Dengan RUU CoC ini, akibatnya, tidak ada satu lembaga atau kekuasaan pun yang dapat melakukan kontrol terhadap kinerja para hakim dalam menjalankan tugasnya.

Hal yang saat ini diperlukan justru reformasi peradilan dan perbaikan sistem pengawasan bagi para hakim serta kinerja peradilan dengan melibatkan kewenangan pengawasan Komisi Yudisial sebagaimana diamanatkan oleh UUD Negara RI 1945. Konsep Trias Politica menghendaki efektivitas sistem pengawasan institusi peradilan untuk mewujudkan keadilan sejati dalam mengawasi pelaksanaan undang-undang oleh lembaga eksekutif. Hal tersebut hanya dapat diwujudkan jika institusi peradilan mampu mewujudkan asas-asas peradilan baik yang meliputi asas-asas: tidak memihak, putusan yang adil dan dapat dikontrol pertimbangan hukumnya, tenggang waktu putusan yang layak dan akuntabilitas institusi, maupun personalia peradilan.

Peradilan yang baik hanya dapat diwujudkan melalui reformasi peradilan baik secara institusional maupun personal, bukan dengan cara membangun benteng-benteng perlindungan terhadap serangan pengkritik peradilan melalui pasal-pasal penebar kebencian yang akan merusak sistem demokrasi dan memberangus kebebasan pers. RUU CoC seperti memutar arah reformasi kembali ke zaman tirani. Negeri ini saat ini telah memasuki era konsolidasi demokrasi sebagai buah keberhasilan reformasi politik. Jangan sampai dunia peradilan justru menjagal keberhasilan pembangunan demokrasi dengan menebar pasal-pasal teror melalui meja hijau!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar