RUU Contempt of Court Ancam Demokrasi?
W Riawan Tjandra ; Pengajar Senior dan Ketua Bagian Hukum
Acara
pada Fakultas Hukum Universitas
Atma Jaya Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 17 Desember 2015
Draf RUU Tindak Pidana
Penyelenggaraan Peradilan atau yang lebih dikenal sebagai RUU Contempt of
Court (CoC) sungguh mengagetkan dan menjadi ancaman sangat serius bagi
demokrasi di negeri ini. RUU tersebut
lebih menyerupai produk legislasi yang bersifat tirani dan bakal mengancam
kebebasan pers maupun menjadi racun pembunuh demokrasi di negeri beradab ini.
Tengoklah beberapa ketentuan dalam
RUU CoC tersebut yang dikhawatirkan akan mengubah wajah peradilan yang selama
ini masih terlihat kusam dengan kejadian kasus-kasus korupsi peradilan (judicial corruption), menjadi berwatak
tiran, dan berwajah diktator. Entah apa yang menjadi latar belakang pemikiran
Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) sehingga sampai menelurkan RUU yang bisa
menjadi momok bagi demokrasi dan berpotensi menebarkan kebencian dari meja
hijau yang siap menyeret para pengkritik peradilan menjadi pesakitan di bui.
Setiap orang yang mengakibatkan
terganggunya peradilan diancam pidana enam tahun penjara dan denda Rp100
juta, demikian yang diatur pada Pasal 17 RUU CoC. Pasal 19 RUU CoC mengatur
bahwa setiap orang yang menghina hakim atau menyerang integritas atau sifat
tidak memihak hakim terancam pidana maksimal enam tahun penjara dan denda
maksimal Rp100 juta. Pasal 24 RUU CoC mengancam bagi setiap orang yang
memublikasikan proses persidangan yang bertendensi memengaruhi kemerdekaan
atau sifat tak memihak hakim dengan ancaman pidana maksimal 10 tahun penjara
atau denda Rp1 miliar. Ancaman pidana atau denda yang sama juga terdapat pada
Pasal 49 RUU CoC terhadap publikasi yang bertendensi dapat memengaruhi
penyelenggaraan peradilan dengan memublikasikan perkara yang sedang
berlangsung atau masih aktif.
Bahkan terdapat pengaturan
represif yang tak lazim dalam sistem hukum acara yang mengancam saksi yang
tidak mau menjawab atau menolak menjawab pertanyaan dengan ancaman penjara
maksimal lima tahun dan dengan maksimal Rp75 juta. Demikian pula setiap orang
yang tak datang sebagai saksi, ahli, atau juru bahasa atau tidak memenuhi
kewajiban yang harus dipenuhi diancam dengan penjara maksimal satu tahun atau
denda maksimal Rp7,5 juta.
Sejatinya, saat ini sudah ada
persebaran ketentuan “Contempt of
Court“ di beberapa aturan dalam KUHP. Hal itu menunjukkan bahwa
perlindungan terhadap wibawa hakim sesungguhnya sudah dijamin dalam KUHP.
Dengan demikian, RUU CoC tampaknya tidak mendesak untuk diatur, atau lebih
tepatnya RUU CoC hanya berisi peraturan yang mengatur ulang ketentuan KUHP.
Ketentuan-ketentuan dalam RUU tersebut alih-alih dapat meningkatkan wibawa
peradilan, justru bisa terjadi pemberangusan demokrasi yang kini seharusnya
dapat menjadi penopang tegaknya negara hukum demokratis.
Dengan masih banyaknya perilaku
koruptif di lingkungan peradilan yang menyeret sejumlah hakim maupun panitera
dalam kasus-kasus korupsi, RUU CoC justru akan menjadi perlindungan bagi para
koruptor yang bersembunyi di balik toga hakim maupun seragam panitera
peradilan. RUU CoC justru terkesan paradoks dengan berbagai upaya untuk
menyemaikan kehidupan demokrasi dan akuntabilitas peradilan.
Wibawa peradilan tak perlu
dibangun di atas pasal-pasal penebar teror semacam itu, namun seharusnya
dibangun melalui sikap dan perilaku para hakim serta kinerja peradilan yang
sungguh-sungguh dapat mewujudkan nilai-nilai keadilan, kepastian hukum, dan
kemanfaatan bagi para pencari keadilan.
Lembaga peradilan tak perlu
membangun “benteng” bagi diri mereka di tengah masih rendahnya tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan yang dinilai masih sarat
dipenuhi praktik-praktik korupsi peradilan oleh mafia peradilan. Peradilan
masih belum dilihat sebagai institusi yang mampu memberikan solusi keadilan
yang mampu menyelesaikan sengketa/konflik di masyarakat, namun justru masih
dilihat sebagai bagian dari permasalahan struktural yang harus diperbaiki
secara serius.
Seluruh larangan yang ada dalam
RUU CoC sudah diatur secara terpisah dalam KUHP yang saat ini berlaku.
Seperti Pasal 33 RUU CoC yang melarang saksi memberikan keterangan tidak
benar di muka sidang pidana, padahal aturan ini sesungguhnya sudah diatur
dalam Pasal 242 ayat (2) KUHP dengan ancaman pidana sembilan tahun penjara.
Tidak terlihat urgensi untuk melanjutkan legislasi RUU CoC yang justru
menjadi bagian dari permasalahan bangsa. Para oknum hakim yang “gatal”
telinganya karena banyaknya kritik atas putusan-putusan aneh yang
dihasilkannya dalam sistem peradilan yang masih sarat dengan berbagai
perilaku koruptif terlihat ingin memaksakan agar RUU CoC tersebut dapat
menjadi bagian dari Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2016.
Hakim yang baik tak perlu takut
putusannya dikritik oleh masyarakat asalkan yang bersangkutan dalam memutuskan
sungguh-sungguh bermahkota keadilan, bukan bermahkota gratifikasi.
Hakim yang memutus “demi keadilan
berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” seharusnya bisa menjamin tegaknya negara
hukum yang demokratis, bukan justru sibuk membentengi diri dengan pasalpasal
yang berpotensi mengkriminalisasikan pers maupun pengkritik peradilan.
Setelah sukses melucuti jangkauan kewenangan Komisi Yudisial dalam mekanisme
seleksi para hakim, kini semakin besar keinginan untuk melucuti jangkauan
pengawasan masyarakat terhadap kinerja peradilan dengan menebar pasal-pasal
teror demokrasi dan kebebasan pers. Jika RUU tersebut sampai diundangkan,
dunia peradilan akan semakin terlihat menjadi monster bagi demokrasi dan
tertutup yang bisa mengarah pada pembusukan peradilan. Alih-alih menguatkan
independensi hakim, RUU yang sudah ada di meja DPR itu malah bisa membuat
kekuasaan hakim tak terkontrol.
Konsep Contempt of Court tidak tepat digunakan dalam konsep peradilan
pidana di Indonesia. Di Indonesia hakim memegang kekuasaan yang begitu besar
yaitu hakim sebagai pengendali utama peradilan, kedudukan jaksa dan terdakwa
juga berbeda karena pembuktian sudah dimulai dari tahapan penyidikan. Di
Indonesia konsep ini tidak dibutuhkan karena hakim memiliki kekuasaan besar
yang tidak perlu ditutup dengan konsep CoC. Dengan RUU CoC ini, akibatnya,
tidak ada satu lembaga atau kekuasaan pun yang dapat melakukan kontrol
terhadap kinerja para hakim dalam menjalankan tugasnya.
Hal yang saat ini diperlukan
justru reformasi peradilan dan perbaikan sistem pengawasan bagi para hakim
serta kinerja peradilan dengan melibatkan kewenangan pengawasan Komisi
Yudisial sebagaimana diamanatkan oleh UUD Negara RI 1945. Konsep Trias
Politica menghendaki efektivitas sistem pengawasan institusi peradilan untuk
mewujudkan keadilan sejati dalam mengawasi pelaksanaan undang-undang oleh
lembaga eksekutif. Hal tersebut hanya dapat diwujudkan jika institusi peradilan
mampu mewujudkan asas-asas peradilan baik yang meliputi asas-asas: tidak
memihak, putusan yang adil dan dapat dikontrol pertimbangan hukumnya,
tenggang waktu putusan yang layak dan akuntabilitas institusi, maupun
personalia peradilan.
Peradilan yang baik hanya dapat
diwujudkan melalui reformasi peradilan baik secara institusional maupun
personal, bukan dengan cara membangun benteng-benteng perlindungan terhadap
serangan pengkritik peradilan melalui pasal-pasal penebar kebencian yang akan
merusak sistem demokrasi dan memberangus kebebasan pers. RUU CoC seperti memutar arah reformasi kembali ke zaman
tirani. Negeri ini saat ini telah memasuki
era konsolidasi demokrasi sebagai buah keberhasilan reformasi politik. Jangan
sampai dunia peradilan justru menjagal keberhasilan pembangunan demokrasi
dengan menebar pasal-pasal teror melalui meja hijau! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar