Sabtu, 19 Desember 2015

Pekerjaan dan Kerja

Pekerjaan dan Kerja

Dinna Wisnu  ;  Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
                                                KORAN SINDO, 16 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kerja dan kerja adalah moto atau slogan yang selalu diucapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam setiap kesempatan berpidato di muka umum. Slogan ini kemudian juga menjadi slogan Ayo Kerja Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-70 pada Agustus lalu. Kendati demikian, tidak semua kerja membawa hal yangpositif. Ada kerja-kerja yang justru negatif. Kerja negatif itu antara lain seperti buruh anak, perbudakan, pekerjaan di bawah upah minimum, pekerjaan di lingkungan yang tidak menghargai hak asasi manusia (HAM) dan pekerjaan lain yang tidak memanusiakan manusia.

Keterangan tersebut adalah salah satu dari definisi Human Development Index 2015. Laporan ini membedakan antara kata jobs (pekerjaan) dan work (kerja). Kerja memiliki arti yang lebih luas dari pekerjaan. Apabila pekerjaan lebih diukur dalam konteks indikator ekonomi, maka makna kerja mencakup pekerjaan yang tidak dibayar seperti sukarelawan, pekerjaan merawat orang tua lanjut usia, atau pekerjaan di akar rumput.

Dengan kata lain, kerja dapat menjadi alat atau sarana untuk mengurangi kesenjangan sosial, menjamin keberlangsungan hidup dan memberdayakan manusia. Oleh sebab itu, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, laporan pada tahun ini memiliki indikator-indikator yang diperbarui sehingga urutan negara dalam laporan terbaru ini tidak bisa dibandingkan dengan laporan sebelumnya kecuali beberapa indikator seperti kelahiran dan pekerjaan.

Yang secara implisit menarik dari laporan ini adalah penegasan bahwa investasi dan pertumbuhan ekonomi adalah sarana untuk membangun kualitas manusia yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi tidak boleh hanya sebatas diukur dari banyaknya investasi yang masuk, uang yang berputar atau lapangan pekerjaan yang dibuka.

Namun, yang lebih penting apakah pertumbuhan itu telah menciptakan keadaan-keadaan yang dapat mendorong warga untuk lebih terlibat dalam pembangunan, terjamin hak asasinya, tercapai rasa keadilan dan kesetaraannya, memiliki kesehatan yang lebih baik, berpendidikan dan memiliki standar hidup yang layak.

Mengacu pada batasan atau kriteria tersebut maka tidak heran apabila China sebagai negara dengan ekonomi terkuat di dunia yang GNI per kapitanya sebesar USD12.547 ternyata lebih rendah prestasi pembangunan manusianya daripada Kuba yang hanya memiliki GNI per kapita USD7.301.

Salah satu alasannya, angka harapan hidup penduduk di Kuba lebih tinggi daripada penduduk di China walaupun di China pendapatannya lebih tinggi. Memang tidak berarti bahwa negara dengan pendapat perkapitayanglebihrendahtetapi memiliki indeks HDI lebih tinggi itu lebih baik. Apabila memperhatikan dengan saksama, negaranegara yang mencapai tingkat HDI paling tinggi adalah juga negara-negara yang memiliki pendapatan per kapita yang tinggi.

Negara-negara tersebut hampir memiliki pendapatan per kapita di atas USD20.000. Hal ini berarti bahwa pekerjaan yang dilahirkan dari investasi jutaan dolar harus berkesinambungan dengan pembangunan manusianya. Saat ini tidak dipungkiri bahwa pertumbuhan ekonomi di dunia memang telah menghasilkan perubahan-perubahanyang baik. Pendapatan negara-negara negara berkembang lebih baik pada tahun ini dibandingkan tahun 1990.

Masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan tahun ini telah turun sepertiga dibandingkan tahun 1990, yaitu dari 1,9 miliar menjadi 836 juta orang. Angka kematian bayi juga telah turun setengah dari 12,7 juta menjadi 6 juta bayi. Namun demikian, kemajuan itu ternyata juga disertai oleh ketimpangan pembangunan manusianya. Misalnya angka kematian pascakelahiran di negara-negara Asia Selatan masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara OECD yaitu 183 dan 21 untuk per 100.000 kelahiran.

Dari sisi gender, pendapatan perempuan masih 24% lebih rendah dari pendapatan laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama. Untuk mengatasi masalah itu, para ekonom umumnya hanya melihat perlunya modal atau investasi lagi untuk membuka lapangan pekerjaan agar dapat memberikan pendapatan yang lebih banyak kepada masyarakat. Namun, solusi ini telah dijalankan dan terbukti tidak mampu mengatasi ketimpangan tersebut.

Faktor lain yang sering kali luput atau dihindari adalah keberpihakan dari negara terhadap kelompok masyarakat yang terpinggirkan tersebut. Negara harus menutupi ketimpangan tersebut dengan kebijakan politik yang melindungi masyarakat yang rentan terhadap pertumbuhan ekonomi itu sendiri, misalnya memberikan upah layak agar para pekerja dapat menabung apabila terdapat ancaman PHK, atau memberikan akses kesehatan yang mudah dan murah bagi kelas menengah agar tidak menjadi jatuh miskin ketika mengalami penyakit kronis seperti jantung atau stroke. Bagaimana dengan Indonesia?

Laporan itu menempatkan Indonesia dalam urutan 110 bersama negara-negara lain yang masuk dalam kategori medium human development. HDI membagi pembangunan manusia negaranegara di dunia menjadi empat bagian, Very High Human Development, High Development, Medium Human Development, dan Low Human Development. Negaranegara ASEANlainyangadadalam kategori sama dengan Indonesia adalah Filipina (115), Vietnam (116), dan Kamboja (143).

Sementara itu Singapura (11) dan BruneiDarussalam(31) termasuk dalam kategori Very High Human Development; lalu Malaysia (62) dan Thailand (93) berada di High HumanDevelopment. Pencapaian HDI Indonesia sudah cukup baik apabila dibandingkan dengan rata-rata negaranegara yang masuk dalam kategori MediumHDI. Namunapabila kita bandingkan di tingkat regional Asia-Pasifik, posisi Indonesia masih tertinggal.

Di satu sisi, laporan ini dapat kita gunakan sebagai daya dorong untuk lebih memperbaiki kualitas pembangunan di Indonesia. Tujuan, gagasan, dan konsep yang melatarbelakangi laporan ini adalah untuk memperbaiki kualitas pembangunan ekonomi di dunia. Di sisi lain, laporan ini semoga membangkitkan dialog akademik tentang bagaimana indeks penilaian ”sangat tinggi”, ”tinggi”, ”medium”, dan ”rendah” ditentukan.

Jika dicermati, sejumlah negara yang dikenal kurang menghargai kebebasan HAM justru berada di klasifikasi sangat tinggi atau tinggi, misalnya sejumlah negara di Timur Tengah atau Eropa Timur. Cukup ganjil jika menjadikan kasus-kasus tersebut sebagai model pembangunan yang patut dirujuk.

Selain itu, laporan ini belum memberikan pencerahan tentang caranya mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi sambil memperbaiki kualitas pembangunan karena bagi mayoritas ekonom, kedua hal ini tidak bisa berjalan beriringan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar